Firli Bahuri dan Intrik Formula E
Oleh: Kurnia Ramadhana
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW)
Untuk kesekian kalinya kontroversi kembali mencuat dari gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Direktur Penyelidikan KPK, Brigadir Jenderal Polisi Endar Priantoro, mendadak dipulangkan paksa oleh Ketua KPK Firli Bahuri ke instansi asalnya, kepolisian. Namun upaya Firli tak berjalan mulus karena Kepala Polri Listyo Sigit Prabowo menolak dan memerintahkan Endar tetap bekerja di KPK. Tingkah pongah Firli kemudian dibalas Endar dengan melaporkannya ke Dewan Pengawas KPK atas dugaan pelanggaran kode etik.
Mudah untuk menerka motif di balik penyingkiran Endar. Apalagi kejadian semacam ini bukan pertama terjadi di KPK. Jauh sebelumnya, Firli sudah berulang kali melakukan hal serupa terhadap pihak-pihak yang mencoba menentang keputusannya. Sebut saja Komisaris Polisi Rossa Purbo Bekti, penyidik yang dulu sempat ingin diberhentikan ketika sedang menangani perkara korupsi mantan calon anggota legislatif PDIP, Harun Masiku. Kala itu, Firli berdalih bahwa pemberhentian Rossa karena adanya permintaan Polri. Faktanya, Polri mengaku tidak pernah sekali pun mengirim surat penarikan Rossa dari KPK.
Firli lagi-lagi memperlihatkan sikap janggalnya saat memberhentikan puluhan pegawai KPK melalui Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Banyak pihak meyakini TWK sengaja dirancang Firli untuk menjegal pegawai-pegawai yang selama ini melawan kebijakannya. Latar belakang pemecatan massal itu juga tak lepas dari pengusutan perkara besar yang ditangani para penyidik, seperti korupsi bantuan sosial yang menyeret mantan menteri sosial Juliari P. Batubara.
Pola yang sama terjadi pada Endar. Penyebab jenderal bintang satu ini dipulangkan adalah ia diduga menolak perintah Firli untuk menaikkan status penanganan perkara dugaan tindak pidana korupsi Formula E dari penyelidikan menjadi penyidikan. Perkara yang sedang diselidiki KPK itu kental dengan nuansa politis. Apalagi hal itu dikerjakan menjelang perhelatan Pemilihan Umum 2024.
Penjabaran di atas lambat laun memberikan sinyal terhadap motif di balik rentetan pemberhentian pegawai KPK. Dapat disimpulkan bahwa jika penanganan perkara beririsan dengan unsur politik, besar kemungkinan Firli akan bermanuver dengan berbagai cara, termasuk pemberhentian pegawai secara paksa. Dari sana juga tergambar model kepemimpinan Firli yang kerap bertindak one man show. Ia seolah-olah melupakan mandat Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang KPK mengenai prinsip kolektif kolegial yang harus diterapkan oleh seluruh pimpinan KPK.
Berkaitan dengan pemulangan Endar, ada sejumlah masalah yang penting diuraikan untuk menegaskan bahwa tindakan Firli melanggar hukum.
Pertama, Pasal 30 Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2022 tentang Kepegawaian KPK dengan terang benderang menyebutkan bahwa anggota Korps Bhayangkara yang dipekerjakan di KPK dapat dikembalikan ke Polri apabila terbukti secara sah melakukan pelanggaran disiplin berat. Apakah Endar pernah melakukan pelanggaran kode etik? Faktanya, berdasarkan pengakuan Dewan Pengawas KPK, Endar belum pernah terbukti melanggar kode etik.
Kedua, tepat dua hari sebelum masa jabatan Endar habis, Kepala Polri mengirim surat kepada KPK yang isinya meminta lembaga antirasuah itu tetap mempertahankan Endar sebagai direktur penyelidikan hingga Maret 2024. Alih-alih mengikutinya, Firli malah mengabaikan surat tersebut dan berkukuh agar Endar hengkang dari KPK. Dalam konteks ini, kian terlihat sikap arogan Firli yang tidak mau menerima keputusan dari pimpinan instansi asal Endar. Bukan cuma itu. Tindakan sewenang-wenang Firli pun berimbas kepada sikap para penyidik KPK asal Polri yang mengancam akan "bedol desa" dari Gedung Merah Putih jika pemberhentian Endar tetap diproses.
Respons atas polemik Endar juga diutarakan oleh Presiden Joko Widodo. Presiden menegaskan bahwa proses mutasi haruslah berpijak pada aturan yang berlaku dan jangan sampai menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat. Sayangnya, kecil kemungkinan Firli akan taat karena sebelumnya pun ia pernah mengabaikan perintah Presiden. Peristiwa itu terjadi saat gonjang-ganjing TWK. Presiden mengatakan bahwa pengalihan status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara tidak boleh merugikan hak pegawai. Bukannya tunduk, Firli malah tetap pada keputusannya untuk memecat puluhan pegawai. Bukan tidak mungkin, dalam permasalahan Endar ini, Firli akan mengulangi pembangkangan tersebut. Padahal, berdasarkan Undang-Undang KPK yang baru, lembaga antirasuah itu sudah masuk dalam rumpun kekuasaan eksekutif. Semestinya segala keputusan pemerintah, terutama yang menyangkut ranah administratif, dapat ditaati oleh pimpinan KPK.
Harus diakui bahwa pada titik ini memang sulit untuk menaruh harapan pada Dewan Pengawas KPK. Namun perkembangan pelaporan Endar atas tindak-tanduk Firli tetap patut dicermati. Jika kemudian hal itu terbukti, purnawirawan jenderal bintang tiga itu akan memegang rekor sebagai pimpinan KPK terbanyak yang melanggar kode etik. Dalam empat tahun terakhir, Firli telah dua kali terbukti melanggar kode etik, yakni bertemu dengan pihak yang sedang beperkara dan menunjukkan gaya hidup hedonisme. Atas dasar itu, sanksi yang pantas dijatuhkan oleh Dewan Pengawas hanya tersisa satu, yakni hukuman berat berupa permintaan kepada Firli agar ia segera mengundurkan diri dan meninggalkan gedung KPK.
Polemik Endar tak bisa dipandang sebelah mata. Model kepemimpinan otoritarian sebagaimana diperlihatkan Firli harus dibendung sekuat tenaga. Ia mesti disadarkan bahwa KPK adalah lembaga penegak hukum, bukan panggung politik, dan tidak dikuasai oleh dirinya sendiri. Jika tidak, pada masa mendatang akan banyak Endar-Endar lain yang akan menjadi korban kesewenang-wenangan Firli.
(Sumber: Koran Tempo, Senin, 10/4/2023)