Di Balik Maksiat Pun Ada Hikmah

Dr. Adnan Ibrahim, cendekiawan muslim asal Palestina yang saat ini bermukim di Austria, menceritakan... 

"Ada seorang artis bercerita pada saya. Suatu kali ia bersama ayahnya shalat berjamaah di masjid dan ikut mendengar ceramah dari imam masjid. Para jamaah yang hadir tentu mengenal artis tersebut dan berbagai film yang dibintanginya. Sebagian mereka mulai berpandangan sinis pada sang artis. Tapi ia berusaha cuek. Ironisnya, ketika memberikan ceramah, sang imam menggunakan bahasa-bahasa menyindir yang jelas diarahkan pada dirinya dan ayahnya. Artis itu berkata, “Hampir saja saya sekeluarga keluar dari Islam setelah mengalami peristiwa itu.”"

*** 

Terlepas dari apa film yang dibintangi sang artis dan bagaimana kehidupannya yang sesungguhnya, tapi persepsi masyarakat pada dunia artis memang cenderung negatif. Padahal profesi artis tidak selalu identik dengan dosa. Sebagaimana ‘profesi’ ustadz juga tidak selalu identik dengan ketakwaan. Namun yang sangat disayangkan adalah cara masyarakat, bahkan sebagian ustadz dan tokoh agama, dalam memandang sebuah maksiat. Seolah-olah orang yang melakukan maksiat adalah sosok yang kotor dan harus dijauhi. Padahal mereka tahu bahwa hati para makhluk hanya Sang Khaliq yang tahu.

Imam Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah رحمه الله, menguraikan ada 31 (tiga puluh satu) hikmah dibalik terjadinya sebuah maksiat ; kenapa Allah Swt membiarkan seorang hamba jatuh pada maksiat, kenapa tidak dihalangi antaranya dengan maksiat itu.

Diantara hikmah tersebut adalah:

Pertama, Allah Swt mencintai orang-orang yang bertaubat dan bergembira dengan taubat mereka. Karena gembira dengan taubat mereka itu Allah Swt menetapkan dosa terhadap hamba-Nya. Hamba yang mendapat ‘inayah dan hidayah akan bertaubat setelah maksiat itu.

Kedua, menyadarkan hamba akan kemahaagungan Allah Swt, bahwa kehendak-Nya juga yang akan berlaku.

Ketiga, menyadarkan hamba akan kebutuhannya kepada Sang Pencipta, bahwa tanpa penjagaan dari-Nya tentu ia sudah dirobek-robek oleh setan.

Keempat, Allah ingin menyempurnakan maqam (level) adz-dzul (kehinaan) dan al-inkisar (kerendahan) pada diri hamba-Nya. Karena ketika seorang hamba hanya menyaksikan kesalehannya saja maka ia akan merasa bersih dan mengira bahwa ia sudah sampai ke maqam ini dan itu. Tapi ketika ia diuji dengan dosa ia akan merasa hina dan rendah. 

(Dalam konteks inilah hikmah Imam Ibnu ‘Athaillah as-Sakandariy رحمه الله :

رُبَّ مَعْصِيَةٍ أَوْرَثَتْ ذُلاًّ وَانْكِسَارًا خَيْرٌ مِنْ طَاعَةٍ أَوْرَثَتْ عِزًّا وَاسْتِكْبَارًا

“Terkadang maksiat yang melahirkan rasa hina dan rendah lebih baik daripada ketaatan yang melahirkan ketinggian dan kesombongan.” ) 

Kelima, menyadarkan hamba betapa luasnya sayang, santun dan kasih Allah سبحانه وتعالى ketika dosa dan maksiatnya ditutupi. Allah bisa saja menyegerakan azab saat ia berdosa, atau membuat aibnya tersebar di kalangan manusia. Tapi itu tidak Dia lakukan.

Keenam, menyadarkan hamba bahwa tidak ada cara selamat kecuali dengan kemaafan dan ampunan Allah سبحانه وتعالى, bukan dengan amal dan kesalehannya.

Ketujuh, iqamatul hujjah ‘ala al-‘abd (mendirikan hujjah terhadap seorang hamba sehingga tidak ada lagi alasan yang bisa ia kemukakan); bahwa kalau Dia mengazab maka hal itu karena kemahaadilan-Nya, dan yang Dia maafkan jauh lebih banyak.

(Seorang tokoh tabi’in terkenal bernama Ahnaf bin Qais berkata :

اللهم إِنْ تَغْفِرْ لِي فَأَنْتَ أَهْلٌ لِذَاكَ وَإِنْ تُعَذِّبْنِي فَأَنَا أَهْلٌ لِذَاكَ

“Ya Allah, jika Engkau ampuni aku maka Engkau yang pantas untuk itu, dan jika Engkau azab aku maka aku memang pantas mendapatkan itu.” 

Kedelapan, Allah ingin mencabut akar kesombongan ketaatan dari diri seorang hamba dan menyelamatkannya dari penyakit paling berbahaya; al-kibr (sombong).

Rasulullah Saw bersabda:

لَوْ لَمْ تُذْنِبُوْا لَخِفْتُ عَلَيْكُمْ مَا هُوَ أَشَدُّ مِنْهُ ؛ الْعُجْبُ

“Kalau kalian tidak berdosa, sungguh aku mengkhawatirkan hal yang lebih berbahaya dari dosa; ‘ujub.”

Kesembilan, Allah ingin memunculkan dari dirinya sifat penghambaan yang hakiki dengan adanya al-khauf dan al-khasyah (rasa takut) serta dampak dari rasa takut itu; tangisan dan penyesalan.

Kesepuluh, maksiat membuat seorang hamba lebih waspada terhadap jerat dan perangkap setan dan hawa nafsu, karena ia pernah mengalaminya, sehingga ia akan lebih berhati-hati, ibarat seorang dokter yang pernah merasakan sakit lalu minum obat dan merasakan manjurnya obat itu. 

(Selengkapnya silahkan rujuk ke kitab Thariq al-Hijratain wa Bab as-Sa’adatain).

اللهم صلنا إليك وافتح علينا فتوح العارفين بك يا أرحم الراحمين

Oleh: Ustadz Yendri Junaedi

Baca juga :