"AS SULTHAN"

"AS SULTHAN"

Oleh: Irawan Santoso Shiddiq 

Siapa yang berwenang menetapkan dua hari Eid dalam Islam? Inilah tugas ulil amri minkum. Pemimpin kaum muslimin. Rujuklah Tafsir Al Qhurtubi. Penjelasannya tentang makna Al Quran Surat An Nisa:59. “Waatiullah waatiurassula waulilamrimunkum…..”. Disitu ada kata “Ulil Amri Minkum.” Sebagian muffasir menyebutnya bahwa ‘ulil amri minkum’ bermakna ulama. Tapi dialektika ini dulu tak pernah tajam. Hanya kala era modernisme mendera, dialektika ini berubah pandangan. 

Seliciknya Snouck Hurgronje, tak pernah mampu melencengkan makna ‘Ulil Amri Minkum’ itu diqiyaskan dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Karena sejak dulu, muslimin tahu, amalan ‘Ulil Amri Minkum’ itu terletak pada ‘As Sultan.’ Itulah sosok pemimpin muslimin. Makanya, Snouck hanya mampu berkilah pasal ‘syariat yang diletakkan dibawah hukum adat.’ Tapi tak mampu menggeser makna ‘Ulil Amri.’ 

Modernisme Islam, yang masuk melalui Mesir sejak abad 19, mulai berpikir lain. Makna ‘Ulil Amri’ kemudian pelan-pelan digeser. Karena beriringan merebaknya modernisme di barat. Yang dimulai pasca Revolusi Perancis, 1789. Sejak itu, ‘manhaj’ modernis mulai mendera dan menyebar seantero dunia. 

Imam Qhurtubi menjelaskan tentang makna dari ayat An Nisa:59. Ayat itu, kata Imam Qhurtubi, menjelaskan tentang kepemimpinan, dan perintah bagi mereka untuk menunaikan amanat. Begitu juga menetapkan hukum diantara manusia dengan adil. “Ayat ini ditujukan untuk umat, pertama-tama diperintah untuk taat kepada Allah Subhanahuwataala, yaitu dengan mengerjakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, dan mentaati Rasul-Nya dengan segala yang diperintah dan dilarang, kemudian taat kepada ulil amri, sesuai pendapat mayoritas ulama, seperti Abu Hurairah, Ibnu Abas dan selain mereka.” 

Sahl Bin Abdullah at Tusturi berkata, ”Taatilah perintah seorang pemimpin dalam tujuh perkara: pencetakan dinar (emas) dirham (perak), timbangan dan takaran, hukum, Haji, Jumat, penetapan dua hari Eid, dan penetapan jihad.” Sahl lalu berkata, “Jika seorang Sulthan melarang seorang ulama untuk berfatwa, maka hendaklah ia tidak berfatwa. Jika ia berfatwa, maka ia telah berbuat maksiat meskipun pemimpin itu seorang yang lalim.” 

Pada era Ummayah, sempat terjadi pemanfaatan atas hal ini. Hingga bergeser makna taat wajib pada Ulil Amri, meskipun seorang Sultan berbuat lalim. Dari sinilah pintu masuk filsafat kemudian mulai diterima kaum muslimin. Jadilah kaum mu’tazilah membahana. Dalam rangka mendefenisikan perihal kepemimpinan. 

Imam Malik, radiallahuanhu, sempat menerima hukuman perihal menolak fatwa tentang baiat. Karena Imam Malik bersikeras tentang baiat yang dipaksakan, itu dianggap tidak sah secara syariat. Alhasil dia mendapatkan cambukan. Tapi Imam Malik mempertahankan fatwa itu. Demi tegaknya syariat. 

Dalam Tafsir Qhurtubi, disebutkan pandangan Ibnu Khuwaizmandad mengatakan, “Ketaatan kepada seorang pemimpin adalah wajib, jika itu bentuk ketaatan terhadap Allah dan jika itu perbuatan maksiat, maka tidak wajib.” Dari sini, maka kepemimpinan yang kontra syariat, tentulah tak wajib ditaati, bagi muslimin. 

Imam Qhurtubi pun meletakkan syarat kepemimpinan Islam. Diriwayatkan dari Ali Bin Abi Thalib, Radiallahuanhu, bahwa ia berkata, “Kewajiban seorang pemimpin adalah berhukum dengan adil dan menunaikan amanat, jika itu dilakukan maka wajib bagi kaum muslimin untuk mentaatinya, karena Allah Subhanahuwataala memerintahkan kita untuk menunaikan amanat dan berlaku adil, lalu memerintahkan kita untuk taat terhadap mereka. “ Jabir bin Abdullah dan Mujahid berkata, “Ulil Amri adalah ahli Al Quran dan ahli ilmu.” Itu yang dipilih oleh Imam Malik, Radiallahuanhu. Sesuai pula dengan perkataan Adh-Dhahhak, ia berkata, “Yaitu ahli fiqih dan ulama dalam perihal agama.” Maka, dari sini nampaklah sesiapa yang layak disematkan sebagai ulil amri. 

Kesultanan Utsmaniyya, menjadi gambaran terakhir amalan sultaniyya ini. Pemimpin, itulah yang disebut Sultan. Di nusantara pun demikian. Dari Aceh hingga Tidore, kaum muslimin berhimpun dalam jamaah yang dipimpin ‘Sultan.’ Tak ada dialektika soal itu. 

Setiap Sultan, didampingi seorang ulama. Itulah Mursyid. Utsmaniyya menyebutnya sebagai ‘Syaikhul Islam.’ Ini terdiri dari beberapa ulama Mursyid. Mereka kaum sufi. Dan ini praktek yang telah berlangsung sejak era Sahabat. Amirul Mukminin, didampingi para alim ulama. Alim ulama inilah yang kemudian dikenal sebagai ‘ahlul ahli wal aqdi.’ 

Drama terakhir bisa dilihat dari kisah Sultan Abdul Hamid II. Benteng terakhir Kesultanan Utsmaniyya. Beliau didampingi Mursyid tariqah. Dan kaum sufi memang berada dibelakang Kesultanan. Kala Utsmaniyya, diserbu dari dalam: kelompok modernis dan wahabi, kaum sufi inilah yang menjadi bentengnya. Sementara kelompok eksternal, kaum kuffar, merongrong Utsmaniyya dengan desakan pinjaman utang berbunga. Riba. Jadilah Sultan Abdul Hamid II dikepung dari dua arah. Internal dan eksternal. 

Tapi sejak era sultaniyya itulah, tugas dan kewajiban umat tak pernah lalai. Perihal penetapan dua hari Eid, itu menjadi tanggungjawab Sultan. Tak pernah ada muslimin berbeda perayaan Idhul Fitri. Seperti saat ini. Karena fatwa yang dikeluarkan ulama, kemudian dititahkan menjadi ‘qanun’ oleh Sultan. Qanun itulah yang menentukan kapan hari Eid ditentukan. 

Dari situ tampaklah bahwa derajat ‘qanun’ itu menopang syariat. Tanzimat di Utsmaniyya, membaliknya. Tahun 1840, terjadi prahara besar. Pihak modernis Islam, berkolaborasi dengan kaum barat, mendesak Supaya Sultan Abdul Aziz I mengeluarkan titah. Qanun. Isinya Supaya syariat Islam diganti dengan ‘code Napoleon.’ Ini tiga kitab hukum yang berlaku di Republik Perancis. Yang dikodifikasi ulang dan diberlakukan masa Napoleon Bonaparte, memimpin Perancis. Tentu pasca revolusi berdarah di Paris, 1789. Itulah moment diletakkannya modern state. 

Tapi kemudian Sultan Abdul Hamid II naik tahta. Dia membatalkan ‘qanun’ yang salah kaprah itu. Qanun itu dibatalkan. Syariat kembali diberlakukan di belantara Utsmaniyya. Sejak itulah kaum sufi menjadi ‘musuh bersama’ modernis Islam, wahabbi dan kaum barat. Makanya kemudian selepas Sultan Abdul Hamid II dikudeta, sufi-sufi dikejar dan diburu. Tekke, zawiya, tempat pelaksanaan dzikir, ditutup paksa. 

Ini juga berlangsung kala pasca Perang Diponegoro di tanah Jawa. Ini perang terakhir yang ditopang kaum sufi, melawan kolonialisme. Karena sejak dulu, hikayat sufi adalah berada digaris depan menentang kebathilan. Makanya sufi kemudian “dibonsai” di era modern. Menjadi sebatas hanya urusan ‘kebathinan’ belaka. Tanpa dibolehkan lagi masuk belantara ‘syariat.’ Karena seolah urusan ‘syariat’ bukanlah urusan kaum tariqah. Karena fakta historis berkata, bangkitnya kaum sufi, disitu pula kebangkitan Islam. Melemahkan kaum sufi, disitu pula melemahnya Islam. 

Fakta tanah Jerusalem bisa menjadi parameter. Direbutnya kembali Jerusalem dari kekuasaan kerajaan Baldwin, adalah berkat perjuangan kaum sufi, yang menopang Sultan Salahuddin al Ayyubi. Murid-murid dari Imam Ghazali, Maulana Shaykh Abdalqadir al Jailani, menjadi penopang besar pasukan muslimin dalam merebut Jerusalem. 

Tahun 1924, tanah Jerusalem kembali lepas dari muslimin. Ini selepas kudeta pada Kesultanan Utsmaniyya. Kudeta Utsmaniyya, didahului dari penyingkiran kaum sufiyya. Selepas itu, maka Jerusalem dengan mudah diambil alih bangsa Yahudi, tanpa perang. 

Dari sinilah tampak Bagaimana pelemahan kepemimpinan Islam, menjadi muasal ‘jatuhnya’ Islam. Karena makna ‘Ulil Amri’ kemudian digeser. Modernisme, membuat terjadi dialektika besar bagi umat: apakah pemimpin modern state dianggap sebagai Ulil Amri, atau bukan. Disini diskusi tajam, yang tak berkesudahan. 

Tapi sejak itu pula dampaknya terasa. Penetapan dua Eid, menjadi terbengkalai. Tak ada lagi Sultan, tak ada otoritas yang berwenang menentukan kapan hari Eid ditetapkan. Alhasil terjadi perbedaan pandangan. Perbedaan dalam perayaaan. Karena tak ada Sultan, yang memaksakan berlakunya hukum. 

Begitu pula dengan rukun Zakat (mal). Ini menjadi terbengkalai. Karena Zakat mal menjadi tak bisa ditegakkan dengan benar, tanpa kehadiran As Sultan. Karena Allah Subhanahuwataala memerintahkan: “Qhudz min amwalihim shadaqatan…”. Tariklah zakat….! 

Artinya, Zakat itu bukanlah merupakan sedekah sukarela. Melainkan ibadah yang sifatnya memaksa. “Tarik!!”. Siapa yang berhak menarik itu? Itulah Ulil Amri Minkum. Pemimpin kaum muslimin. 

Maka dari sini pentingnya kembali menghadirkan as Sultan. Karena as Sultan, menjadi tegaknya syariat. Kehadiran Sultan, tentu didahului dengan hadirnya jamaah. Kehadiran jamaah, itulah kumpulan kaum ber-Tauhid. Jalan menuju Tauhid, itulah tassawuf. Insha Allah.

(*)
Baca juga :