Adakah Kisah Cinta Yang Lebih Dahsyat dari Cinta Zainab, putri Nabi Muhammad, dengan Abul Ash bin Rabi’?

Sebelum Nabi Muhammad saw diangkat menjadi rasul, Abul Ash bin Rabi’ menghadap beliau: “Saya ingin menikahi Zainab, putri sulung Anda”.

Nabi Muhammad menjawab: “Aku tak mau melakukannya sebelum meminta izin padanya”.

Nabi menyampaikannya pada Zainab, "Anak pamanmu mendatangiku dan menyebut-nyebut namamu. Apakah engkau rela ia menjadi suamimu?”

Wajahnya memerah dan ia tersenyum, malu-malu.

Nabi kemudian menikahkan Zainab dengan Abul Ash.

Bermulalah dahsyatnya sebuah kisah cinta....

Tiba masanya muncul sebuah masalah baru, yaitu, terkait diutusnya Nabi Muhammad sebagai Rasul Allah. Saat itu Abul Ash sedang bepergian berdagang. Ketika ia kembali, Zainab sudah memeluk Islam dan mengimani risalah yg dibawa ayahnya. Abul Ash pun mengetahuinya.

Zainab berkata : “Aku punya sebuah berita besar untukmu”.
Abul Ash berdiri, lalu meninggalkan Zainab. Zainab mengejarnya, kemudian ia berkata:
“Ayahku diutus sebagai nabi dan aku telah memeluk Islam.”
Abul Ash menjawab: "Bagaimana sikapmu beritahu aku!”
Zainab menimpali: “Aku takkan mendustakan ayahku. Karena ia bukan pendusta. Ia adalah orang jujur dan sangat dipercaya. Bukan hanya aku yg berislam kepadanya. Ibuku dan saudara²aku juga melakukannya. Ali bin Abi Thalib sepupuku juga beriman. Anak bibimu, Usman bin Affan juga memeluk Islam. Sahabatmu Abu Bakar juga menyatakan Islam”.

"Kalau aku….," kata Abul Ash "Aku tak mau nanti orang² mengatakan Abul Ash menghinakan kaumnya, kafir dengan nenek moyangnya demi istrinya. Ayahmu pasti akan tertuduh. Mohon maaf. Hargailah sikapku.”

Sebuah dialog cinta yg jauh dari memperturutkan ego dan gengsi.

Zainab tersenyum: “Jika bukan aku, siapa lagi yg akan memaklumimu? Tapi suamiku, aku adalah istrimu. Aku ingin membantumu dalam kebaikan hingga engkau bisa memutuskannya dengan benar.”

Zainab membuktikan kata²nya selama 20 tahun. Ia bersabar. Setia dengan cintanya. Setia dengan akidahnya. Abul Ash tetap berada dalam sikapnya hingga sampailah saat hijrah nabawi, Zainab menghadap ayahnya.

“Ya Rasulallah, mohon izin aku ingin menetap bersama suamiku.”

Bukti cintanya yg sangat dalam dan Rasulullah mengizinkan Zainab menetap di Mekkah.

Saat terjadi Perang Badar, suaminya memutuskan bergabung berperang bersama pasukan Quraisy, artinya suaminya memerangi ayahnya. Bermalam-malam ia menangis dan merintih, tenggelam dalam duka. Ia panjatkan doa dan bermunajat penuh kepasrahan.
“Ya Allah… aku takut jika setiap matahari terbit akan menerima kenyataan bahwa anakku menjadi yatim atau aku kehilangan ayahku…”.

Abul Ash bertempur masih dengan keyakinanya. Usailah pertempuran Badar. Abul Ash tertawan beritanya sampai ke Mekkah.

Dengan penuh cemas ia menanyakan tentang kabar ayahnya.
“Kaum Muslimin menang” ia mendapat kabar demikian. Ia bersujud pada Allah, mensyukuri karunia-Nya. Ia juga bertanya berita tentang suaminya.
Mereka menjawab, “Ia ditawan oleh mertuanya.”

Ia bergegas ingin menebus suaminya, ia kirimkan kalung perhiasan, ia tak punya apa-apa yg berharga selain perhiasan dari ibunya yg ia kenakan, perhiasan yg selalu melekat di dadanya. Kalung itu kemudian dibawa saudara kandung Abul Ash menghadap Rasulullah.
Rasulullah terhenyak ketika melihat kalung istrinya, Khadijah yg sangat dikenalnya.
“Tebusan siapa ini?”.
“Tebusan Abul Ash bin Rabi`”
Ada tetesan air mengalir dari pelupuk mata beliau, seraya berbisik pelan,
”Ini adalah kalung Khadijah.”
Sebuah ungkapan kesetiaan yg terpatri dalam hati, tak luntur meski jasad pemiliknya sudah bertahun-tahun terpendam dalam tanah.

Beliau kemudian berdiri dan berkata: 
“Wahai manusia… Lelaki ini tidak aku cela sebagai menantu.”
Sebuah narasi pengakuan dan sikap adil yg nyata.
“Mengapa kalian tak bebaskan ia dari tawanan? Mengapa kalian tak mengembalikan kalung tebusannya kepada Zainab?”
Para sahabat menjawab, “Labbaik, wahai Rasulullah”
Kesantunan dan ketaatan tertulis dalam sejarah.

Rasulullah kemudian memberikan kalung tersebut kepada Abul Ash dan berkata :
“Sampaikan kepada Zainab agar jangan mengabaikan kalung Ibunya, Khadijah.”

(Hadits jaminan Zainab kepada Abul Ash juga diriwayatkan ath-Thabraniy, al-Hakim, Baihaqi dari riwayat Ummu Salamah ra).

Sebuah pesan cinta dan kesetiaan yg dahsyat.

“Wahai Abul Ash aku sampaikan sebuah rahasia.”
Kemudian Abul Ash mendekati Rasulullah.
“Wahai Abul Ash, sesungguhnya Allah sudah memerintahkan kepadaku untuk memisahkan antara perempuan muslimah dan orang kafir. Maka, kembalikanlah putriku kepadaku!”
Dengan penuh penghormatan Abil Ash berkata, “Siap. Aku akan melakukannya!”
Zainab keluar rumah menuju gerbang kota Mekkah hendak menyambut jantung hatinya. Sabar ia tunggu kedatangan suaminya.
Abul Ash terlihat. Tak lama kemudian ia mendekat.
Suaminya membisikinya, “Aku akan pergi”
“Ke mana?” pendar mata binar Zainab kembali meredup
“Bukan aku, tapi Engkau yg pergi. Aku berjanji menyerahkanmu pada ayahmu.”
“Mengapa?”
“Untuk memisahkan antara aku dan dirimu. Kembalilah pada ayahmu!”
Abul Ash menepati janjinya.
“Mengapa engkau tak membersamaiku saja. Masuklah Islam”.
Zainab membujuk penuh harap, penuh cinta.
Dan Abul Ash tetap pada pendiriannya.

Zainab pun meninggalkan Mekkah, meninggalkan suaminya, menaati perintah Allah dan ayahnya. Ia hijrah ke Madinah membawa anak-anaknya.

Sejak saat itu, selama 6 tahun silih berganti para lelaki melamarnya. Namun, Zainab tak pernah berkenan menerima. Ia tetap setia menunggu cintanya yg tertinggal di Mekkah. Bersama sekeping harap agar mantan suaminya datang menghadap ayahnya dan membersamainya kembali seperti sedia kala.

Setelah tahun² sulit. Menjelang terjadinya Fathu Makkah, Abul Ash sebagaimana biasa ia melakukan perjalanan, berdagang ke negeri Syam. Dalam perjalanan pulang ke Mekkah ia bersama kafilah dagang Quraisy membawa 100 ekor unta dengan 170 orang. Mereka terendus oleh pasukan mata-mata umat Islam. Mereka pun akhirnya ditawan. Namun, Abul Ash berhasil kabur.

Abul Ash berlindung di balik kegelapan malam yg semakin gelap serta larut. Ia mengendap-endap memasuki kota Madinah. Bersembunyi beberapa saat. Menjelang fajar, ia semakin mendekat. Rumah Zainab yg ditujunya. Inilah tsiqoh, sebuah kepercayaan.
Zainab bertanya, “Apakah Engkau datang dalam keadaan muslim?”
Abul Ash menjawab, “Bukan. Aku kabur!”
“Mengapa engkau tidak berislam saja”
“Tidak”
Abul Ash meminta jaminan dan perlindungan. Dan Zainab bersedia melindungi. Menjamin dirinya.
“Jangan takut, anak bibiku. Selamat datang wahai Abu Ali dan Abu Umamah”.

Rasulullah berdiri di mihrab, mengimami kaum muslimin Shalat Subuh berjamaah. Beliau mengucapkan takbiratul ihram, para makmum di belakang beliau juga bertakbir.
Saat itu dari shaf jamaah perempuan, Zainab mengangkat suaranya. Ia berkata :
“Aku Zainab binti Muhammad, telah memberi jaminan kepada Abul Ash, maka lindungilah dia.”
Ketika selesai shalat, Rasulullah menoleh kepada para jamaah dan bertanya :
“Apakah kalian semua mendengar seperti yg aku dengar?”
Mereka menjawab, “Ya, wahai Rasulullah.”
Rasulullah bersabda : "Demi Dzat yg diriku ada dalam genggaman-Nya. Aku tidak tahu kecuali apa yg aku dengar, seperti yg kalian dengar. Sungguh orang yg paling lemah di antara kaum muslimin telah memberi perlindungan.”

Rasulullah berdiri menyeru : "Wahai para manusia. Sungguh terhadap lelaki ini sebagai menantu, saya tidaklah mencelanya. Menantuku ini telah berbicara denganku dan ia membenarkanku, ia memberi janji dan ia menunaikan janjinya terhadapku”.
Penuh khidmat dan hening para sahabat Nabi mendengarkannya.
“Bila kalian setuju untuk mengembalikan hartanya dan membiarkannya pulang ke negerinya, maka ini lebih aku sukai. Tetapi bila kalian menolak, maka semua urusan kuserahkan kepada kalian, keputusan ada di tangan kalian. Saya takkan memprotesnya.”
Inilah musyawarah. Beliau tidak menggunakan otoritas kepemimpinannya.
“Kami bersedia menyerahkan kembali hartanya.”
Para sahabat menyetujui Rasulullah. Dan inilah adab dan kesantunan sebagai balasan keteladanan dan tawadhu pemimpin.

Lalu Nabi bersabda :
“Wahai Zainab, kita telah memberi perlindungan kepada orang yg engkau beri perlindungan dan jaminan.”
Lalu Rasulullah membersamai putrinya ke rumahnya.
“Wahai Zainab! Hormatilah Abul Ash. Dia itu putra bibimu, dia adalah ayah dari anak²mu. Tetapi jangan dekati dia, itu tidak halal bagimu.”
Syariat dipraktekkan dan dipadu dengan akhlak mulia serta kasih sayang.
Zainab menganggukkan kepala, “Labbaik, wahai Rasulullah.”
Zainab menemui Abul Ash bin Rabi’ dan berkata,
“Perceraian kita telah menyulitkan kita. Maukah engkau masuk Islam dan tinggal bersama kami?”
Harapan dan cinta menyatu, keluar dari bibir putri manusia termulia. Namun, Allah belum mengabulkannya.

Abul Ash mengambil hartanya dan pulang menuju Mekkah. Sesampai di kota Mekkah ia berkata kepada penduduk Mekah,
“Wahai penduduk Mekkah, terimalah harta kalian. Apakah masih ada yg kurang?”
Mereka menjawab, “Semoga Allah membalas kebaikan kepadamu. Engkau telah menunaikan amanah dengan sangat baik.”
Abul Ash berkata, “Aku sungguh bersaksi bahwa tiada tuhan kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasul-Nya.” Bergegas, Ia pun pergi berhijrah menuju Madinah. Menjemput hidayahnya. Menyusun kembali kepingan cinta dan kesetiaannya.

Ketika waktu fajar, ia memasuki kota Madinah. Ia bergegas menghadap Rasulullah.
Dia berkata, “Wahai Rasulullah, kemarin Engkau memberi perlindungan kepadaku. Kini, saksikanlah aku datang dan bersaksi bahwa tiada tuhan melainkan Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan-Nya.”
Abul Ash melanjutkan, “Wahai Rasulullah, apakah engkau memberi izin kepadaku untuk kembali (ruju’) kepada Zainab?”
Rasulullah memegang pundak Abul Ash dan berkata, “Mari berjalan bersamaku.”
Beliau ke rumah Zainab, mengetuk pintu dengan penuh bahagia.
“Anakku, Zainab. Ini anak bibimu datang kepadaku. Dia meminta izin kepadaku untuk kembali kepadamu. Bersediakah engkau?”
Maka, nampak muka Zainab kemerahan seraya tersenyum, malu-malu. Pertanda rela, ungkapan persetujuannya. Seisi Madinah gegap gempita, menyambut bahagia. Merayakan pertemuan cinta dan kesetiaan. Langit cerah, seputih ketulusan cinta Zainab.
Namun, ini bukan akhir sebuah kisah… setahun kemudian, Zainab putri Rasulullah dipanggil oleh Allah, beliau meninggal sebab keguguran(sakit).
Isak tangis kesedihan Abul Ash terdengar menyayat siapa saja yg mendengarnya. Para sahabat menyaksikan. Rasulullah turut merasakan kesedihan yg mendalam.
Suara berat Abul Ash menyeruak, “Wahai Rasulullah aku tak mampu hidup tanpa Zainab”
Dan benar, setahun kemudian ia menyusul kekasihnya menghadap Allah.

Dialah Zainab, putri Nabi Muhammad dari istri pertama, Siti Khadijah binti Khuwailid radiyallahu'anha.

(Sirah Nabawiyyah)

-Musa Muhammad-
Baca juga :