Ummat
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
“Ummati…ummati.. ummati” itulah diantara desah terakhir dari Nabi terakhir itu.
Nabi Muhammad saw seperti sedang meneguhkan misinya. Ia bukan penguasa yang egois dan tiranik. Sumpah serapah Edward Gibbon (1737-1794) bahwa Muhammad adalah “pembohong dan akhir hayatnya cenderung pada seksualitas dan individualistis” adalah sampah. Nabi tidak menyebut “rakyatku…rakyatku… .” atau “hartaku…hartaku…” Padahal Nabi adalah seorang kepala dari sebuah Negara yang baru lahir.
Nabi Muhammad bukan raja yang ketika ajal sudah mempersiapkan pewaris. Bukan pula diktator yang setelah meninggal menuai hujatan dan pengadilan. Nabi terakhir itu bersih. Ia tulus ikhlas memikirkan keselamatan ummatnya.
Hujatan-hujatan dari Norman Daniel (Islam and the West), Alexander Ross (The Prophet of Turk and Author of the al-Coran 1653), Humphrey Preideaux (The Life of Muhammad, 1679) juga nonsense. Kata mereka bahwa Nabi terakhir itu “tokoh penipu yang cerdik dan munafik” tidak terbukti. Tidak satupun sahabat yang merasa tertipu. Dan tidak satupun dari ummatnya yang merasa dibohongi.
Lalu apa pentingnya ummat bagi seorang nabi yang juga kepala Negara Islam itu?
Kata ummat bukan hanya keluar dari bibir Nabi. al-Qur’an menyebut kata itu sebanyak kurang lebih 70 kali. Itupun bukan hanya ummat Nabi terakhir, tapi juga ummat nabi-nabi terdahulu. Maka ketika Nabi menyebut “ummatku” orang mestinya faham disana ada kelompok yang “bukan ummatnya".
Lalu apa arti ummat terbaik itu?
Bagi Sayyid Qutub artinya lebih dibanding ummat lain. Karena lebih maka bisa memberi. Memberi yang tidak dimiliki ummat lain. Memberi aqidah yang benar, konsep, aturan dan ilmu pengetahuan yang benar serta akhlaq yang baik kepada ummat manusia. Itulah makna rahmat bagi alam sesmesta. Buku Mu’jam al-Mufahras li Alfadh al-Qur’an bahkan memerinci bahwa kata khair yang berarti kelebihan (afdhaliyyhah) dan keunggulan (al-tafawwuq) terdapat pada 89 tempat.
Keunggulan ummat ini juga besumber dari keunggulan nabinya. Banyak keutamaan yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad dibanding nabi-nabi lain sebelumnya. Diantara keunggulan itu dalam haidth riwayat Jabir ibn Abdillah bahwa misi Nabi bukan hanya untuk orang Arab,tapi untuk seluruh ummat mansuia. Nabi juga dikaruniai haknya memberi syafaat.
Kriteria ummat terbaik bukan hanya sekedar berbaik-baik kepada ummat lain. Ummat yang terbaik menurut al-Qur’an adalah yang: menyuruh kebaikan (baik menurut akal dan wahyu), mencegah kejahatan dan beriman kepada Allah.
Ummat terbaik adalah yang menjaga kehidupan ummat manusia dari kerusakan (mafsadah) berarti mengedepankan kebaikan (maslahah). Kebaikan, dalam rumusan al-Syatibi ada lima: menjaga harta (mal), akal (aql), jiwa (nafs), keturunan (nasal) dan agama (din) manusia.
Jadi ummat terbaik mestinya bisa menjaga kelima kebaikan asasi manusia. Ummat Islam tidak perlu diajari doktrin HAM, kesetaraan gender, persamaan hak, berdemokrasi, melindungi anak-anak, perempuan. Konsep maslahat itu sudah cukup unggul dibanding konsep HAM dan lainnya.
Untuk menjadi ummat terbaik tentu ada syaratnya. Abd al-Kabir al-Humaidi, dalam Mafhum al-Ummah, merumuskan dua syarat: amanah dan kekuatan.
Amanah mengharuskan sikap kejujuran, keikhlasan, ketaqwaan dan istiqamah, aqidah, ibadah dan akhlaq yang sahih. Dengan sifat ini hubungan sosial ummat Islam (mu’amalat) menjadi lebih unggul dari ummat yang lain. Quwwah (kekuatan), berarti ummat Islam harus memiliki kekuatan materi, pemikiran, politik, ekonomi, social, budaya dan peradaban.
Dari makna filologis “ummah” dan dari konsep “khayra ummah” kita bisa mamahami desah terakhir Nabi “ummati…ummati”. Kalau itu doa berarti mohon ummatku selamat dunia akherat. Jika itu kegundahan berarti itu peringatan “awas hati-hati jaga aqidah dan syariahmu wahai ummatku”. Dan jika itu harapan bermakna pesan “jadilah ummat terbaik dengan amanah quwwah.
Wallahu a’lam