Sesat Subsidi Kendaraan Listrik
KEPUTUSAN pemerintah memberikan subsidi kendaraan listrik merupakan contoh kebijakan yang keliru. Selain menjadi beban baru bagi anggaran negara, subsidi untuk mendorong penjualan sepeda motor dan mobil listrik ini lebih banyak menguntungkan produsen.
Pemerintah menetapkan sejumlah program untuk mendorong transisi dari kendaraan berbahan bakar fosil ke kendaraan listrik pada tahun ini. Mula-mula subsidi untuk 200 ribu sepeda motor listrik, masing-masing Rp 7 juta per unit. Subsidi dengan nilai yang sama berlaku untuk 50 ribu sepeda motor hasil konversi mesin berbahan bakar fosil ke sepeda motor bertenaga listrik. Program lainnya berupa insentif untuk 35.900 mobil listrik dan 138 bus listrik, tapi bentuk dan nilainya belum ditentukan.
Subsidi dan insentif hanya berlaku untuk kendaraan listrik dengan kandungan lokal minimal 40 persen. Pihak yang berhak membeli kendaraan listrik bersubsidi adalah usaha kecil dan menengah penerima kredit usaha rakyat (KUR), penerima bantuan produktif usaha mikro (BPUM), dan pengguna listrik 450-900 VA atau rumah tangga kelas menengah ke bawah. Subsidi senilai total Rp 1,75 triliun ini disalurkan melalui produsen yang memenuhi syarat minimal kandungan lokal. Ada tiga merek yang masuk kategori ini, yaitu Gesits, Selis, dan Volta.
Otoritas Jasa Keuangan juga memberikan insentif untuk mempermudah bank dan lembaga keuangan menyalurkan kredit kendaraan listrik. Kemudahan ini berupa penurunan bobot risiko kredit, keringanan penilaian kualitas kredit, penyediaan dana untuk debitor, hingga pengecualian batas maksimum pemberian kredit. Insentif ini memberikan keleluasaan kepada bank dan lembaga keuangan untuk menyalurkan kredit kendaraan listrik.
Sepintas berbagai kebijakan tersebut seperti berpihak kepada calon pembeli kendaraan listrik. Dalam hal skema subsidi, misalnya, diskon yang nilainya seperempat dari harga rata-rata sepeda motor listrik ini tampak menguntungkan konsumen. Program ini juga terkesan apik jika dihubungkan dengan pengurangan emisi karbon di sektor transportasi, termasuk dari kendaraan pribadi.
Namun subsidi ini menimbulkan risiko pemborosan belanja negara karena tujuan-tujuan tersebut besar kemungkinan tak tercapai. Subsidi untuk 200 ribu sepeda motor listrik tidak akan berpengaruh pada pengurangan emisi karbon jika pemerintah tak memastikan adanya transisi dari penggunaan sepeda motor berbahan bakar fosil. Tidak ada syarat bagi pembeli sepeda motor listrik bersubsidi untuk meninggalkan atau melepas kepemilikan sepeda motor berbahan bakar minyak. Hal yang pasti terjadi adalah tambahan populasi sepeda motor yang akan membuat lalu lintas jalan kian macet, sedangkan emisi karbon tak berkurang.
Pemberian subsidi dan insentif pada akhirnya hanya menguntungkan produsen kendaraan listrik. Padahal pemerintah mesti mengotak-atik anggaran untuk menambal subsidi ini.
Pernyataan Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata bahwa anggaran subsidi belum ada dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) menunjukkan perencanaan yang tidak matang.
Tak sepatutnya pemerintah menambal sulam anggaran demi memenuhi subsidi, yang akhirnya hanya dinikmati segelintir orang. Apalagi kondisi anggaran masih serba cekak setelah pandemi Covid-19.
Agar tak salah sasaran, subsidi lebih baik diberikan kepada operator angkutan publik bertenaga listrik. Dorongan bagi mereka penting untuk menekan emisi karbon dan mengurangi kemacetan lalu lintas di kota-kota besar. Dengan cara ini pula, kendaraan listrik berbiaya rendah bisa dinikmati oleh semua orang.
(Sumber: EDITORIAL Koran Tempo, Rabu, 8 Maret 2023)