Suatu Hari di Bulan Ramadhan...
By Ferizal Ramli (sekarang tinggal di Jerman)
Mungkin ini terjadi di tahun 1994 atau 1995, aku lupa persis angka tahunnya tapi masih ingat peristiwanya. Dalam kubangan kemiskinan getir amat sangat aku saat itu masih nyantri di Yogyakarta (kuliah di UGM -red).
Sudah menjadi kebiasaan klo hidupku saat kuliah nomaden alias numpang tidur dari rumah teman satu, ke rumah teman lainnya karena ndak kuat bayar kost. Kala itu ada 2 “markas” bisa numpang tidur yaitu di Wiratama-Wirobrajan (rumah sahabatku Heru Kurnianto yang sekarang Professor Ekonomi, dosen Univ Muhammadyah) dekat RS. Ludira Husada serta di Candi Gebang utara Condong Catur.
Jika aku kuliah di Bulaksumur maka pulangnya jalan kaki ke Wiratama dan jika aku kuliah di Condong Catur maka pulangnya jalan kaki ke Candi Gebang. Tentu saja saat dari Bulak Sumur ke Condong Catur pun jalan kaki. Total jaraknya 11,5 km!
Jalur Napak Tilas jalan kaki favoritku misalkan gini: Pagi dari Wiratama ke Kampus Bulaksumur. Masuk jalan tikus, lalu seberangi Kali Winongo melalui jalur Kampung mengikuti Jalan Kementiran, lalu Tembus Jalan Malioboro. Dari Malioboro ke Utara menelusuri Jalan Mangkubumi sampai perempatan Tugu. Lalu ke Timur melewati Hotel Santika.
Proses yang paling “menyakitkan” saat jalan kaki yaitu ketika seberangi Jembatan Kali Code menuju Terban. Suasananya benar-benar amat terbuka dan amat ndak nyaman untuk jalan kaki. Klo ketemu temen naik motor sementara aku jalan kaki maka ketok buangat-buanget kere ne! Jalan kaki sendiri kayak orang ilang seberangi sungai sendirian di tengah lalu lalang kendaraan. Wakakakaka…
Lalu di Kampus Bulaksumur cilakanya bukannya malah kuliah tetapi justru asyik berdiskusi di Gelanggang. Sok jadi orang penting buanget yang mendiskusikan hal-hal tidak penting buangettt: masalah Negara, Demokrasi dan Kapitalisme disaat perut lapar, tidur nomaden plus kemana-2 jalan kaki berkilo-kilo meter!
Bosen diskusi di Gelanggang maka jalan kaki telusuri Selokan Mataram menuju Timur, lalu ke Utara menuju Kampus Condong Catur. Nah, disana pun melanjutkan diskusi yang juga sama sekali tidak penting. Biasanya dilakukan di Emperan Auditorium.
Lelah berdiskusi maka jalan kaki ke Candi Gebang. Ketemu temen disana, lalu numpang makan dan numpang tidur. Begitu seterusnya dan begitu sebaliknya dari Candi Gebang-Kampus Condong Catur-Kampus Bulaksumur-Wiratama PP jalan kaki berlangsung bertahun-tahun, sampai betis ini seperti betis tukang becak, wkwkwkw….
Suatu ketika Bulan Ramadhan menjelang Lebaran. Kampus libur dan kosong. Teman-teman pada pulang. "Markas“ temen-temen mahasiswa kumpul baik di Wiratama maupun di Candi Gebang kosong melompong. Temen-temen pada pulang mudik. Aku puasa saat itu dengan menu sahur seadanya. Saat mau buka, biasanya temen-temen datang ke "Markas“ bawa makanan atau sahabatku pemilik rumah yang bawa makanan.
Tapi semua pada mudik pulang kampung. Aku sendirian. Buka puasa terpaksa minum air putih. Malam tidur menahan lapar sampai sahur tetap tidak ada teman datang berkunjung. Akhirnya, sahur keesokan harinya terpaksa mengulang minum air putih saja. Kembali nasib apes sampai buka tidak ada temen datang.
Aku saat itu sudah gemetaran kelaparan amat sangat. Kuputuskan untuk jalan menuju Markas Candi Gebang sambil berharap nanti di kost-kost-an sekitar Kampus Bulaksumur Utara Fakultas Kehutanan ketemu temen sehingga bisa kasih nasi bungkus.
Sayang hampir semua kost-kost-an temenku juga pada melompong. Hari sesungguhnya sudah mendekati jam 10 malam. Terpogoh-pogoh akhirnya dengan susah payah mau pingsang berusaha menuju Candi Gebang. Berharap disana bertemu teman.
Di Candi Gebang lega. Aku bertemu dengan sahabatku Suyik kental yang suka guyon celelengek-an (saat ini Suyik adalah salah seorang Sutradara Sinetron Pendek Guyonan). Aku berpikir dia malaikat penyelamatku. Suyik salah satu sahabat terdekatku karena kita sama-sama kere. Sama-sama miskin abolut. Jadi senasib. Segera Suyik cerah menyapaku seperti aku juga begitu cerah menyapa dia. Wah, akhirnya perutku terisi juga nih pikir hatiku.
Suyik bilang gini: "Cal, aku uwes 2 hari belum makan je karena ndak punya uang untuk sahur dan buka. Saiki aku belum buka. Kowe ono duwit barang limang ngatus (kamu punya uang barang Rp. 500) untuk beli Indomie rebus!“. Kata Suyik dengan gaya berharap tetapi tetap penuh guyon. Seketika itu juga aku ngakak tertawa keras-keras sambil keluar air mata. Kujawab: "Yik, masalah kita ternyata sama!“ wkwkwkw…
Akhirnya, aku berdua Suyik putuskan untuk jalan ke rumah temanku Jihad Pustakawan (saat ini mantan Ketua Fraksi di DPRD Rembang kalau ndak salah) di belakang kampus STIE YKPN. Kira-kira hampir 3 km dari Candi Gebang. Kami sudah begitu amat sempoyongan menahan lapar.
Nah, di Candi Gebang menuju Condong Catur kami melalui jembatan dan terpaksa harus nanjak. Dikarenakan kami begitu lapar dan lelah, saat jalan nanjak tersebut terpaksa berangkulan untuk saling menahan agar tidak jatuh. Jangan ditanya deh perasaan saat itu. Meskipun, Suyik dengan gaya kocaknya selalu guyon di saat yang begitu amat sulit, tetapi aku tahu sudut matanya berair menahan perih seperti juga sudut mataku.
Sampailah kami di rumah Jihad sudah tengah malam. Disana disambut hangat oleh Jihad dan kedua orang tuanya. Jadilah kami makan besar saat itu. Nikmat tiada tara. Benar-benar karunia buka puasa yang terindah seumur hidupku. Tidak lupa juga Ibunya Jihad yang mulia hatinya “memarahi” kami; “kenapa ndak langsung kemari saja jika kalian butuh sesuatu. Kenapa harus ditahan lama-lama?”, kata Ibunya sahabatku.
Klo tidak salah kami dikasih bekal uang jajan masing-masing 10 ribu rupiah kala itu. Wah lumayan pikirku bisa dalam 2 minggu ndak mikir lagi besok makan apa dan lebih dari itu bisa untuk merayakan lebaran…
Ditulis: Di bulan Ramadhan beberapa hari menjelang Lebaran tahun 2012
(Dari Tepian Lambah Sungai Rhein-Main)
*Catatan: (Postingan ini pernah kuposting lebih dari 10 tahun yang lalu. Kuposting ulang menjelang Ramadhan. Saat jalan-jalan sore di Kota setelah memikmati Sungai Ruhr, mengenang memori indah masa lalu saat di Yogya dulu)