Simpang Siur Transaksi Rp 300 Triliun
Teka-teki transaksi keuangan mencurigakan senilai Rp 300 triliun, yang disebut Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD terjadi di lingkungan Kementerian Keuangan, kini memasuki babak baru.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), yang menjadi sumber data Mahfud, belakangan menyatakan data tersebut bukan merupakan data dugaan penyimpangan ataupun korupsi di Kementerian Keuangan.
"Tapi lebih kepada kasus-kasus yang kami sampaikan ke Kementerian Keuangan dalam posisi Kementerian Keuangan sebagai tim penyidik tindak pidana asal pencucian uang yang diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 2010," ujar Kepala PPATK Ivan Yustiavandana setelah bertemu dengan Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara, Sekretaris Jenderal Kemenkeu Heru Pambudi, dan Inspektur Jenderal Kemenkeu Awan Nurmawan Nuh di kantor Kementerian Keuangan, kemarin (14/3/2023).
Kementerian Keuangan, menurut Ivan, adalah penyidik tindak pidana kepabeanan, cukai, dan perpajakan yang dapat menjadi pidana asal pencucian uang.
Karena itu, Ivan mengatakan, kasus-kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang terkait dengan kepabeanan dan perpajakan selalu disampaikan kepada Kementerian Keuangan untuk ditindaklanjuti.
Kasus-kasus kepabeanan dan perpajakan sepanjang 2009-2023 itulah yang memiliki nilai transaksi total Rp 300 triliun.
Kejanggalan Sikap PPATK
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menilai pernyataan terbaru PPATK aneh dan mencurigakan.
Menurut dia, PPATK tak seharusnya menarik kesimpulan terlalu dini soal tindak pidana asal (predicate crime) dugaan pencucian uang Rp 300 triliun.
"Ini seperti asap mendahului api, apalagi kesimpulan PPATK seolah-olah melokalisir kalau pidana asalnya adalah kepabeanan dan perpajakan," ujarnya.
Lagi pula, ia menimpali, PPATK bukan aparat penegak hukum. Tugas lembaga tersebut adalah menyediakan informasi intelijen untuk ditindaklanjuti penegak hukum. Selanjutnya kesimpulan mengenai kasus tersebut semestinya dilakukan oleh aparat penegak hukum, bukan PPATK.
Dengan adanya kesimpulan bahwa dugaan pidana asal pencucian uang Rp 300 triliun itu adalah kasus kepabeanan dan perpajakan, maka penanganan hanya bisa dilakukan Kementerian Keuangan--lantaran kasus-kasus tersebut di luar kewenangan KPK dan kejaksaan.
Herdiansyah khawatir proses penanganan kasus tersebut akan kehilangan obyektivitasnya.
"Soal keterlibatan internal Kemenkeu, itu yang harus didalami oleh aparat penegak hukum," ujar dia.
Herdiansyah juga mengaku curiga adanya upaya membatasi predicate crime hanya pada kasus kepabeanan dan perpajakan.
Peneliti dari Transparency International Indonesia, Alvin Nicola, mengatakan penyidik pegawai negeri sipil di Direktorat Jenderal Pajak dan Bea-Cukai memang termasuk penyidik tindak pidana asal dalam konteks kasus pencucian uang.
"Tapi karena perputaran uangnya yang amat besar, dan terjadi di lingkup internal lembaganya, agak prematur untuk mengatakan ini bukan korupsi atau TPPU," kata dia.
Alvin berpendapat, dalam persoalan ini semestinya Kementerian Keuangan melakukan penelusuran bersama penegak hukum, misalnya KPK dan Kejaksaan Agung, untuk membuat perkara lebih terang.
(Sumber: Koran Tempo, 15/3/2023)