SEBANYAK 19 orang meninggal dunia dalam peristiwa kebakaran Depo Pertamina Plumpang, Jakarta Utara, pada Jumat (3/3). Dugaan sementara berdasarkan keterangan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo adalah terjadi gangguan teknis saat pengisian atau penerimaan BBM jenis Pertamax dari Balongan yang diterima di Depo Plumpang. Gangguan itu mengakibatkan tekanan berlebih kemudian terjadi peristiwa kebakaran.
Adapun 19 orang yang meninggal adalah warga yang tinggal bersebelahan dengan Depo Pertamina Plumpang. Sebagian besar terlambat melarikan diri saat api dengan cepat membesar dan menyambar wilayah mereka.
Kini media sosial dipenuhi narasi yang mengarahkan seolah kesalahan terjadi karena ada gubernur yang memberi Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di daerah Tanah Merah, daerah yang berbatasan langsung dengan Depo Pertamina. Padahal pemberian itu hanya kelanjutan dari era kepemimpinan Joko Widodo di Jakarta yang membagikan KTP bagi warga Tanah Merah.
Fokus masalah harus ditujukan pada tata kelola yang dilakukan Pertamina. Apakah perusahaan plat merah itu sudah benar-benar profesional dalam melakukan pemantauan bahaya potensial, yang salah satunya adalah kecelakaan yang bisa menimbulkan kebakaran dan berimbas kepada warga sekitar.
Duet Nicke Widyawati dan Ahok
Dua nama beken yang selalu dicitrakan sebagai orang berprestasi dan bersih menghuni daftar pimpinan Pertamina. Keduanya adalah Nicke Widyawati dan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Nicke merupakan sarjana Teknik Industri Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 1991 dan melanjutkan magister di bidang Hukum Bisnis di Universitas Padjadjaran pada 2009.
Pada tanggal 30 Agustus 2018, Nicke didaulat menjadi Direktur Utama Pertamina, setelah sebelumnya menjadi Penjabat Dirut menggantikan Elia Massa Manik. Nasibnya mentereng, pada 3 Oktober 2022, dia kembali menjadi dirut melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Pertamina.
Sementara untuk Ahok, publik sudah barang tentu paham track recordnya. Dia adalah mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta yang mendampingi Joko Widodo pada Pilgub 2012. Setelah Jokowi memutuskan ikut Pilpres 2014 dan menang, Ahok naik pangkat menjadi gubernur. Namun tidak lama berselang, dia tersandung kasus penistaan agama dan harus mendekam di penjara selama dua tahun.
Nasib baik juga didapat Ahok. Usai keluar dari tahanan, Ahok langsung diangkat menjadi Komisaris Utama Pertamina. Pengangkatan dilakukan pada November 2019 atau sebulan setelah Jokowi dilantik untuk periode kedua. Sejak saat itu, Pertamina dipimpin oleh orang yang katanya berprestasi dan diawasi oleh orang yang dicitrakan paling vokal jika ada kejanggalan organisasi.
Idealnya, Pertamina bisa menjadi perusahaan yang bermanfaat untuk rakyat dan negara. Untuk rakyat bisa memberi subsidi besar dan untuk negara bisa memberi tambahan pemasukan untuk mencicil utang yang menggunung. Tapi apa mau dikata, yang terjadi justru sebaliknya. Justru secara konsisten harga minyak Pertamina naik dengan alasan ada kerugian akibat memberi subsidi.
Tidak hanya itu, kebakaran kilang minyak juga menjadi langganan semenjak duet ini memimpin. Mulai dari kilang Balongan pada 29 Maret 2021, Cilacap pada 11 Juni 2021, Cilacap lagi pada 13 November 2021, Balikpapan pada 4 Maret 2022, Balikpapan lagi pada 15 Mei 2022, dan terakhir Plumpang pada 3 Maret 2023. Catatan yang benar-benar bertolak belakang dari apa yang diharapkan publik selama ini.
Tidak Ada Budaya Mundur
Budaya mundur dari jabatan memang tabu di Indonesia. Nyaris kabar itu tidak pernah sampai ke kuping masyarakat, apalagi di era kekinian. Bahkan kerusuhan di Stadion Kanjuruhan yang menyebabkan ratusan orang meninggal saja tidak ada yang legawa menyatakan mundur. Seolah mundur dianggap sebagai sikap tidak bertanggung jawab karena tidak mau menyelesaikan masalah yang terjadi.
Perspektif ini tentu berbeda dengan negara maju. Seperti Perdana Menteri Inggris, Liz Truss mundur pada Oktober 2022 karena merasa gagal tangani krisis ekonomi. Atau PM Jepang Yoshihide Suga mundur pada September 2021 karena merasa gagal tangani pandemi Covid-19. Di negara maju, mundur dari jabatan adalah bentuk tanggung jawab dari ketidakmampuan mengurus lembaga. Artinya, mereka memberi kesempatan bagi orang yang lebih mampu untuk menjadi penggantinya, sehingga organisasi tetap bisa berfungsi dengan baik.
Menuntut Komitmen Erick Thohir
Kabar baik sempat didengungkan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir saat menjenguk korban kebakaran di Rumah Sakit Pusat Pertamina pada Sabtu (4/3). Dia sempat menyinggung pencopotan direksi perusahaan pelat merah ini.
Katanya, mencopot jajaran direksi bukan hal yang baru baginya. Jika memang perlu ada pencopotan, maka Erick Thohir tidak akan ragu melakukan hal tersebut. Apalagi jika tujuannya untuk membangun sistem yang baik. Tapi pernyataan Erick Thohir ini tampak setengah hati. Sebab dia menilai pencopotan direksi bukan solusi konkret. Menurutnya, kasus Pertamina Plumpang lebih pada memperbaiki model bisnis dan manajemen risiko perusahaan.
Tampaknya ada hal tertentu yang membuat Erick Thohir menjadi kurang tegas. Apakah itu karena relasi politik yang dimiliki pimpinan direksi Pertamina, apalagi jika keterpilihan mereka juga diduga “berbau unsur politis” dan bukan karena seleksi atau merit sistem? Hanya Erick Thohir yang tahu jawabannya.
Terlepas dari itu publik pasti ramai bertanya kenapa tidak ada punishment untuk jajaran Pertamina. Atau mau sampai berapa kali lagi Pertamina mengalami kebakaran kilang, untuk bisa dijadikan patokan memecat jajaran direksi Pertamina?
Setidaknya ekonom senior yang juga Menko Perekonomian era Presiden Gus Dur, DR. Rizal Ramli juga ikut bertanya, “Kok bisa tidak ada direktur yang dipecat atau mengundurkan diri? Padahal skala musibah ini adalah gross negligence atau kelalaian besar yang merugikan negara dan rakyat.
OLEH: WIDIAN VEBRIYANTO