Food estate: Perkebunan singkong mangkrak, ribuan hektare sawah tak kunjung panen di Kalteng
Demi mencegah ancaman krisis pangan, Presiden Joko Widodo menggagas program Food Estate di berbagai wilayah, termasuk di Kalimantan Tengah.
Dua tahun berjalan di Kalteng, hasilnya: gagal. Perkebunan singkong seluas 600 hektare mangkrak dan 17.000 hektare sawah baru tak kunjung panen.
Penelusuran BBC News Indonesia bersama LSM Pantau Gambut menemukan proyek Lumbung Pangan Nasional di wilayah ini hanya memicu persoalan baru, bencana banjir kian meluas dan berkepanjangan, serta memaksa masyarakat Dayak mengubah kebiasaan mereka menanam.
Pejabat Kementerian Pertanian mengakui ada kekurangan dalam pelaksanaan program food estate. Tapi dia mengatakan lumbung pangan di Kalimantan Tengah tak sepenuhnya gagal.
Adapun pejabat Kementerian Pertahanan mengeklaim mangkraknya kebun singkong disebabkan ketiadaan anggaran dan regulasi pembentukan Badan Cadangan Logistik Strategis.
Namun, sebutnya, apabila sudah ada kepastian alokasi dana dari APBN Tahun 2023 maka pengelolaan kebun singkong akan dilanjutkan.
***
Saat BBC News Indonesia melihat kebun singkong itu, tak ada satu pun orang berjaga di sana. Warga sudah leluasa masuk dan keluar dari area tersebut.
Tujuh alat berat termasuk ekskavator teronggok dalam kondisi rusak.
Sepanjang mata memandang, kebun singkong seluas 600 hektare itu dibiarkan tandus.
Bekas gundukan tanah yang dipakai untuk menanam singkong hampir rata dan sudah ditumbuhi rumput.
Namun sisa-sisa tanaman singkong yang setahun ditelantarkan masih ada jejaknya.
Batangnya kurus dan pendek tak sampai satu meter. Padahal normalnya pohon singkong memiliki tinggi batang satu hingga empat meter.
Daunnya juga kecil-kecil dan sedikit.
Ketika dicabut, satu pohon hanya berisi dua atau lima singkong sebesar jari telunjuk mirip wortel. Jauh berbeda dari singkong umumnya yang bisa sebesar tangan.
Kepala Desa Tewai Baru, Sigo dan masyarakat sekitar bahkan mengaku tak pernah melihat pekerja memanen singkong-singkong itu.
Lahan kebun singkong tidak cocok
Sigo menyebut kebun singkong itu gagal lantaran kondisi tanah yang tidak cocok.
Di sana, kata dia, karakteristik tanahnya 70% adalah pasir.
Sementara lahan yang baik untuk menanam umbi kayu adalah tanah yang memiliki struktur gembur, remah, dan punya banyak bahan organik.
Seorang warga bernama Rangkap juga sependapat.
"Dari dulu saya bilang ini namanya Gunung Mas, jangan ditanam macam-macam. Jangan dibalik jadi gunung singkong," ujar Rangkap setengah berteriak.
Kalaupun mau digunakan untuk tanaman singkong, menurut dia, tanah itu harus diolah terlebih dahulu agar subur.
Sebab mustahil singkong tumbuh di atas tanah berpasir, katanya.
"Jadi kalau tanam singkong harus lihat kondisi tanah, benar tidak? Walau bodoh, masyarakat kan tahu kondisi tanahnya."
"Kalau kayak gini, tanam singkong mandek apa jadinya? Hutan habis, singkong enggak jadi. Siapa yang rugi? Masyarakat yang kena dampaknya."
Rangkap, warga Desa Tewai Baru, kesal karena lahan yang turun-temurun digarap keluarganya seluas empat hektare dipakai untuk kebun singkong.
Bikin banjir
Seorang warga Desa Tewai Baru, Dion Noel, jengkel karena rumahnya yang berada di pinggir sungai selalu kebanjiran.
Sejak hutan dibuka, kata Kepala Desa Tewai Baru, banjir di wilayahnya makin parah. Ketika hujan turun, air Sungai Tambun dan Tambi yang melintasi desa meluap.
Kalau sebelumnya hanya 50 sentimeter, sekarang bisa 1,5 meter lebih.
Ini karena hutan yang telah gundul itu letaknya berada di dataran tinggi dan berfungsi sebagai penyerap air.
Dion Noel, seorang warga Desa Tewai Baru yang rumahnya selalu kebanjiran ingin agar hutan itu dipulihkan.
"Banjir ini enggak enak, makan hati kami. Apalagi kalau banjir di malam hari. Waktunya tidur malah air naik," imbuhnya.
Bapak lima anak ini tinggal di dataran rendah Gunung Mas dan persis di pinggir Sungai Tambun yang bermuara ke Sungai Kahayan.
Ia berkata, hujan lebat selama dua jam saja langsung merendam sebagian rumahnya dan baru surut esoknya.
Sudah tak terhitung barang-barang perlengkapan rumah yang hanyut terbawa banjir.
"Kalau kami mau disetop saja kalau bisa, karena kami kena dampaknya."
Food estate padi yang tak kunjung panen
Selain singkong, pemerintah juga mengembangkan food estate atau lumbung pangan padi di Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau.
Sebagian besar atau sekitar 62.000 hektare area sawah padi yang masuk program itu berada di atas lahan eks-Pengembangan Lahan Gambut (PLG).
Wilayah tersebut dipilih karena statusnya bukan lagi kawasan hutan.
Data Kementerian Pertanian menunjukkan luasan lahan ekstensifikasi atau cetak sawah baru pada 2021-2022 di dua kabupaten di Kalteng mencapai 17.175 hektar.
Hanya saja, dari ribuan hektare itu belum ada sawah yang bisa dipanen.
BBC News Indonesia menemukan sejumlah persoalan mengapa lahan ekstensifikasi tak kunjung panen.
👉Baca Selengkapnya Liputan BBC: https://www.bbc.com/indonesia/articles/c2ez8gm679qo
Dua tahun berjalan program lumbung pangan nasional di Kalimantan Tengah, hasilnya: gagal. Kebun singkong 600 hektare mangkrak dan 17.000 hektare sawah tak kunjung panen.
— BBC News Indonesia (@BBCIndonesia) March 15, 2023
Ikuti penelusuran BBC Indonesia bersama @pantaugambut.https://t.co/zDT6QP59dl pic.twitter.com/ubp5rHf8JG
Begini. Tak kasiuh tau ya. Food estate ini bukan sekedar bercocok tanam di lahan. Ini membangun kawasan. Berarti mengubah ekosistem. Multidisiplin ilmu harus terlibat. Bukan brasbres nebang hutan terus kayunya dijual. Klo tak percaya ilmu pengetahuan ya krmbali saja ke jaman batu https://t.co/9Qyiy3IXW2
— Pemuda Idaman (@Amal_Alghozali1) March 16, 2023