Mengutuk realitas Indonesia ditengah negara dan bangsanya yang masif mengenyam sekulerisasi dan liberalisasi. Tak ada bedanya dengan beragama tanpa berTuhan, atau menjadi orang Islam tanpa ketaatan pada Allah yang Akbar. Wajar saja Indonesia jauh dari menjadi negara kesejahteraan, atau tak kunjung merasakan kemakmuran dan keadilan sosial. NKRI semakin dalam menuju kehancuran, terutama saat negara dikuasai penjahat berkedok pejabat.
Kenapa Indonesia sejak merdeka hingga saat ini tak pernah lepas dari tragedi dan musibah?. Pertumpahan darah dan kehilangan nyawa akibat konflik justru terjadi pada sesama anak bangsa. Nekolim begitu lihai menguras kekayaan negara sambil mengadu-domba rakyat. Pencurian dan perampokan besar-besaran telanjang dipertontonkan di depan mata rakyat. Pemimpin-pemimpin pemerintahan dan partai politik bersekutu dengan pemilik modal besar baik asing maupun aseng. Mereka mewujud rezim dan dikenal publik sebagai oligarki. Sementara peran ulama dan habaib serta para intelektual terus tertekan tak banyak pilihan. Rakus berlimpah materi dan manut pada kekuasaan atau di penjara dan wafat karena melawan kedzoliman dan penindasan. Rakyat bingung dan kalap menghadapi situasi negara yang tak menentu, harus bertahan untuk hidup miskin karena jujur, atau makmur ikut menjadi pelacur.
Ironi NKRI sudah tampak saat proklamasi kemerdekaan belum lama dikumandangkan. Mulai dari perdebatan bentuk negara, gejolak pemberontakan sipil dan militer, hingga posisioning dalam pergaulan internasional, menjadi warna betapa dominannya pembangunan politik ketimbang ekonomi. Sumber daya alam dieksploitasi membabi-buta untuk kepentingan bangsa lain, seiring itu kemiskinan semakin marak dan terus mewabah di dalam negeri. Panca Sila, UUD 1945 dan NKRI menjadi senjata ampuh guna melanggengkan kejayaan Kapitalisme dan komunisme global. Slogan dan jargon saya cinta Indonesia, saya Pancasila dan NKRI harga mati, menjadi selimut yang menutupi kematian Pancasila, UUD 1945 dan NKRI itu sendiri. Falsafah Pancasila dan gotong-royong berbusa-busa di ucapkan, namun tindakannya kapitalis dan komunis. Rakyat kebanyakan sengsara dan mengalami penderitaan hebat sepanjang berdirinya negara, sementara segelintir orang menjadi hedon dan sejahtera karena menjadi penyelenggara negara.
Kepalsuan terlalu kuat menyelimuti kehidupan bernegara dan berbangsa. Indonesia yang kental dengan religi kini mulai menggilai materi. Para pemimpin tak lagi memiliki rasa malu dan harga diri. Sementara rakyatnya juga egois dan mau menang sendiri. Saling bermusuhan dan diselimuti konflik sesama, sementara uang dan fasilitas rakyat terus dinikmati hanya oleh segelintir elit kekuasaan lokal dan kepentingan global.
Mungkin para pendiri bangsa dan pahlawan harus menderita dan mati kedua kali melihat negara yang dibangun dengan susah payah harus hancur dan berantakan oleh ulah generasi penerusnya. Pengorbanan tanpa batas hingga mampu meraih kemerdekaan Indonesia, hanya menghasilkan negeri yang terjajah kembali oleh neo kolonialisme dan imperialisme modern.
Selain oleh konspirasi internasional, Indonesia yang sejatinya negara kaya dan makmur harus terkubur dalam kemiskinan dan penderitaan berkepanjangan. Salah urus dan penyimpangan tata-kelola terus berlanjut dari rezim ke rezim. Menanggalkan Islam sebagai “the way of life” dalam kehidupan bernegara dan berbangsa, republik mendulang kemudharatan dan kebiadaban karena mengusung sekulerisme. Pemimpin tanpa moral dan tak layak mengemban amanah rakyat, justru menjadi kebanggaan dan panutan. Sampai kapan berakhir saat negara dilanda wabah penjahat berkedok pejabat?.
Dari pinggiran catatan labirin kritis dan relung kesadaran perlawanan.
Disampaikan Oleh Yusuf Blegur
Bekasi Kota Patriot.
15 Maret 2023/24 Syaban 1444 H.