Pelukan Intel buat Natsir
Mengenang 30 Tahun wafatnya Sang Negarawan Raksasa
Oleh: YUSUF MAULANA*
Semasa menempuh jenjang sarjana di Al-Azhar, Dr Sohirin Mohammad Solihin beberapa kali diminta bertemu sang guru, Mohammad Natsir. Jamak diketahui, Natsir begitu menyayangi para kader-kader dakwah. Di forum-forum ilmiah, apalagi terbatas dan eksklusif, kebaikan Natsir mengajak anak didiknya bukan tanpa rancangan.
Seperti dijelaskan Sohirin dalam “Seminar Pemikiran Reformis — siri VIII Mohammad Natsir” yang diadakan Islamic Renaissance Front di Malaysia 23 Juli 2017, suatu ketika dirinya diminta datang ke Arab Saudi, tepatnya di Jeddah. Natsir tengah menghadiri pertemuan Rabithah ‘Alam Islami, organisasi yang turut didirikannya.
Sohirin tahu, di Arab Saudi ada mata-mata khusus pemerintah yang mengawasi Natsir. Sang intel seorang Muslim, yang tugasnya memantau pergerakan mantan politikus Masyumi itu. Sebabnya: Natsir dicurigai sebagai oposisi penguasa dalam dua rezim, Sukarno dan Suharto.
Sang mata-mata dikenali Sohirin sebagai sosok yang anti-Natsir. Entah dari sumber mana, Sohirin mendengar kabar sang intel tengah sakit amat parah. “Bah (Abah), ini ada berita kabar gembira,” kata Sohirin, “Intelijen di sini sedang koma.”
Sohirin bungah dengan sakitnya intel itu karena pergerakan sang guru bakal leluasa tanpa harus dicatat sebagai aktivitas “membahayakan” dalam perspektif rezim yang berkuasa.
Tak dinyana, bukan jawaban senang atau sekadar senyum puas. “Ayo kita tengok dia,” kata Natsir.
“Gimana Abah ini? Dia kan musuh kita?” terheran Sohirin dengan jawaban sang guru.
“Tapi dia kan Muslim?” balas Natsir meyakinkan.
Akhirnya Sohirin luluh. Setelah lokasi rumah sakit sang intel diketahui, mereka pun membesuk. Benar, sang intel tengah terbaring.
Kaget bukan kepalang begitu didapati sosok yang selama ini diawasi dan begitu dibencinya. Ketika Natsir mendekat, ia pun bangkit dan memeluknya seraya menangis tersedu sedan.
“Orang yang paling saya benci ternyata orang yang paling sayang pada saya,” ucapnya. “Sahabat-sahabat kami satu aliran tak ada yang berkunjung pada saya. Ini oposisi yang benci pada saya, dia yang paling sayangi saya.”
Begitulah luas dan luwesnya pergaulan Natsir. Tindak tanduk Natsir menyajikan adab islami, yang kadang kala para pembencinya salah paham atau tak hendak tahu. Natsir sering dilabel, dan berpuas dengan label itu.
Tak mau tahu bahwa label pada Natsir sebagai sosok “pemberontak”, pejuang fanatik negara Islam, pengubah Pancasila, dan banyak label tak sedap lainnya hanya tafsiran yang jauh panggang dari api.
Perlu bukti langsung di depan mata barangkali agar mata batin pembencinya terbuka, layaknya dalam kasus intel di Jeddah tadi. Hari ini pun nama Natsir masih membawa aura “angker” dan fobia bagi kalangan tertentu, yang paradoksnya di waktu lain mereka acap berkoar “saya Pancasila”, “NKRI harga mati” dan syair keindahan slogan kebangsaan semacamnya.
Sebabnya nama Natsir ada di peristiwa PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia). Mereka yang membidas tak mau tahu kalau keberadaan Natsir di PRRI justru agar tidak bertindak lebih gegabah. Kerangka oposisinya tidak sebagai gerakan pemberontakan.
Apa daya, narasi yang diedarkan pihak pemenang menempatkan PRRI dan Natsir dalam wajah penuh karut-marut. Seakan lebih hina dibandingkan yang beberapa kali jelas memberontak dan melenyapkan ratusan (ribuan?) nyawa anak bangsa.
Ada pula sebagian anak bangsa di sini, dan mereka Muslim, memandang seolah Natsir lebih hina dan buruk dengan argumen ia sebagai pejuang anti-Pancasila. Sebuah penyimpulan yang gegabah.
Lupa siapa yang berjuang dalam perumusan dasar negara, mosi integral NKRI, sampai pemecah deadlock hubungan diplomatik RI-Malaysia. Lupa bagaimana "qaul qadim" Natsir soal Pancasila yang dibeberkan di pelbagai forum antarbangsa demi harumkan Indonesia.
“Tak saya dapati satu (pun) agenda tertulis Natsir ingin mendirikan negara Islam,” papar Sohirin, yang menulis buku laris Mohammad Natsir: Islamic Intellectualism and Activism in the Modern Age (2013) dan associate professor di International Islamic University Malaysia.
Demikian juga dalam tathbiq asy-syariah, impelementasi konstitusi syariah, Natsir bukan sosok yang berobsesi (formalis) ke sana.
Islam yang dipahami Natsir tak menanti hadirnya institusi formal demi tegaknya syariat. Sebab syariat pun tegak dalam keseharian melalui adab-adab sebagaimana dalam kasus di Jeddah di atas.
Di sisi lain, tanpa harus berbusa-busa mendaku diri paling Pancasilalah, cinta NKRI-lah, dan semacamnya, Natsir sudah lakukan misi-misi kebangsaan penting. Amat berbeda dengan sebagian kita yang masih kerap mencatut Pancasila sembari memukul pihak lain yang dianggap pesaing politik.
Kiranya ketiadaan dan kekosongan tauladan Natsir yang wafat 30 tahun lali tepat pada 6 Februari ini, harus segera dibenahi. Memperbaiki kehadiran para pahlawan yang mengikuti jalan Natsir. Tak mesti, karena tak mungkin, harus seperti Natsir.
Cukup beberapa jejak legasinya di banyak bidang. Memperbanyak pahlawan di sektor yang memerlukan keterlibatan anasir umat, jauh lebih urgen. Ketimbang kita menunggu raksasa besar serupa Natsir.
Terlalu keliru dan bakal kecewa apa yang sebagian pengagum Natsir perbuat. Benar apa yang diucapkan George McT Kahin (1993) kalau Natsir itu "Raksasa terakhir di antara para pemimpin nasionalis dan revolusioner Indonesia."
Tapi, sanjungan ini tak bermakna apa pun kalau sekadar buat titik pijak memimpikan secara komunal! Ayo, pujian dari mana pun bagi yang membaca manaqib Natsir harusnya jadi pintu masuk beramal, mempahlawankan kapasitas kita sesuai dengan yang diperbuat. Inilah ikhtiar hadirkan para pahlawan secara majemuk. Tak apa "kecil" tapi banyak aktor!
Sembari itu, kita tempa para pahlawan "kecil" yang agar menggerakkan apa-apa yang pernah dipikirkan dan diperbuat Natsir. Sebab, kepahlawanan itu kumulasi generasi bergenerasi. Bukan tetiba hadir dari langit.
Maka, omong kosong memimpikan Natsir tapi kita tak berbuat meneladani di satu aspek saja dalam keseharian kita. Bukankah kita masih ingat kalam Ilahi di al-Baqarah 249, "Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar. "
Jadi, kesabaran membentuk, membina, menempa kapasitas kepahlawanan kita itulah yang diperlukan tatkala kita mengenang Natsir. Bukan bertanya-tanya kapan serupa dia hadir lagi, dan begitu pada tokoh-tokoh lainnya.
Keraksasaan mereka harus dibangun dari hal kecil bahkan mungkin remeh. Toh Natsir juga tidak ujug-ujug muncul di pentas sejarah, ada proses yang itu harus dibaca dengan jernih dan objektif. Begitulah harusnya kita memeluk objektivikasi ketokohan Abah Natsir. Dingin dalam mengagumi, tetapi giat menggali dalam merindui.
*Yusuf Maulana adalah pensyarah Perpustakaan Samben di Yogyakarta dan penulis buku "Mufakat Firasat".
(Sumber: Republika)