Mengapa Banyak Korban di Kebakaran Plumpang?

Mengapa Banyak Korban di Kebakaran Plumpang

Korban tewas kebakaran Depo Pertamina Plumpang bertambah menjadi 19 orang. Pemerintah mendorong dua opsi untuk solusi.

Pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, mengatakan bahwa memindahkan Depo Pertamina bisa menjadi solusi tepat. Selain lebih mudah, biayanya relatif lebih murah ketimbang harus merelokasi permukiman penduduk.

***

Korban meninggal akibat kebakaran Terminal Integrated Bahan Bakar Minyak milik PT Pertamina (Persero) di Plumpang, Jakarta Utara, bertambah dua orang. Hingga semalam, korban tewas menjadi 19 orang, lima di antaranya merupakan anak-anak. Sementara itu, korban yang masih menjalani perawatan di rumah sakit tercatat sebanyak 49 korban, terdiri atas 46 orang dewasa dan 3 anak-anak.

Depo Pertamina Plumpang merupakan terminal bahan bakar minyak (BBM) yang setiap hari memasok 20 persen kebutuhan bahan bakar nasional. Pada Jumat, 3 Maret 2023, pukul 20.11 WIB, terminal bahan bakar ini terbakar. Belum diketahui secara pasti dari mana api berasal. Namun sejumlah saksi mata mengatakan sempat terdengar suara ledakan sebelum api berkobar dan melahap bangunan penduduk di Jalan Tanah Merah Bawah, yang berada di luar tembok depo. 

Paling tidak, ledakan itu didengar Nur Hasanah yang rumahnya persis berada di balik tembok Depo Pertamina. Awalnya, perempuan berusia 34 tahun itu mencium bau BBM yang menyengat. Begitu juga dengan Arifin, suami Nur, yang buru-buru turun dari lantai dua rumahnya, lalu membawa istri dan tiga anaknya menyelamatkan diri.  

Setelah mereka berada cukup jauh dari rumah, terdengar suara ledakan. Lalu terlihat kobaran api yang lidahnya menjulang tinggi hingga ke luar tembok depo. “Beberapa tetangga saya tidak selamat karena enggak sempat lari,” kata Nur, Sabtu lalu. “Jenazah mereka ditemukan di dalam rumah.”

Arifin mengatakan musibah pada Jumat malam itu mirip seperti kejadian pada 2009 ketika tangki Pertamina meledak. Kala itu, sebelum tangki meledak, juga tercium bau gas yang menyengat. “Makanya, saya buru-buru menyelamatkan istri dan anak-anak,” ujarnya. 

Tidak semua warga memiliki firasat seperti Arifin. Sebagian warga abai karena bau gas memang sering tercium dari Depo Pertamina. Mereka terlambat menyadari bahwa bau gas pada Jumat malam itu tercium lebih menyengat dari biasanya. “Kemudian banyak yang panik, lalu berusaha menyelamatkan diri ke arah Kelapa Gading (tenggara),” kata Arifin. Padahal arah yang mereka tuju justru makin dekat dengan sumber kebakaran. “Mereka jadi terperangkap api.”

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigadir Jenderal Ahmad Ramadhan, mengatakan tim Disaster Victim Identification (DVI) telah mengidentifikasi tiga jenazah korban kebakaran Depo Pertamina. "Tim DVI sudah mendirikan posko untuk mempercepat identifikasi,” katanya.

Menurut Kepala Rumah Sakit Polri Kramat Jati, Brigadir Jenderal Hariyanto, total ada 15 kantong jenazah yang dibawa ke RS Polri. Sembilan jenazah berjenis kelamin laki-laki, lima perempuan, dan satu belum diketahui karena anggota tubuhnya tidak utuh. RS Polri juga menyiapkan fasilitas postmortem dan antemortem untuk mengidentifikasi jenazah para korban.

Dua Opsi untuk Solusi

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menyatakan prihatin atas musibah yang terjadi pada Jumat malam itu. Musibah ini sebenarnya bisa diantisipasi bila standar keamanan di sekitar Depo Pertamina bisa dijalankan secara benar. “Buffer antara titik keamanan dan titik (permukiman) masyarakat masih terlalu dekat,” katanya. “Harus ada zoning ulang supaya ada batasan keamanan masyarakat yang tinggal.”

Erick mengatakan pihaknya akan berkoordinasi dengan PT Pertamina (Persero) dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta untuk mencari solusi agar kejadian serupa tidak terulang di masa yang akan datang. Ada dua opsi yang akan didorong pemerintah, yaitu memindahkan Depo Pertamina ke tempat lain atau merelokasi permukiman warga di sekitar Depo Pertamina. "Kalau dari di sisi permukiman warga, nanti kami membahasnya dengan pj Gubernur DKI Jakarta,” katanya. 

Presiden Joko Widodo kemarin mendatangi posko korban kebakaran di RPTRA Rasela, Rawabadak Selatan. Dalam kesempatan itu, dia mengatakan pembuatan buffer zone atau zona penyangga di Depo Pertamina Plumpang selama ini terhambat lahan. Area zona penyangga antara depo dan permukiman sebenarnya sudah pernah diusulkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Usulan itu disampaikan setelah terjadi ledakan di Depo Pertamina Plumpang pada 2009. 

"Dulu memang sudah direncanakan untuk dibuat air di kanan-kirinya sungai, tapi memang belum sampai pada titik mencarikan solusi untuk penduduk yang ada di situ,” kata Jokowi. “Tanah Merah ini kan padat dan penuh." 

Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman, mengatakan, jika mengikuti standar keamanan, zona penyangga Depo Pertamina seharusnya memiliki jarak minimal 50 meter. Sementara itu, saat ini jarak tembok terluar Depo Pertamina dengan permukiman penduduk hanya sekitar 4 meter. Sebagian ruang kosong itu digunakan untuk jalan umum. Bahkan, beberapa bagian lainnya sudah menjadi permukiman.

Pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, mengatakan bahwa memindahkan Depo Pertamina bisa menjadi solusi tepat. Selain lebih mudah, biayanya relatif lebih murah ketimbang harus merelokasi permukiman penduduk. Keuntungan makin bertambah bila terminal bahan bakar dipindah ke pantai. “Debit air yang tinggi bermanfaat sebagai buffer untuk pipa yang panas,” katanya. “Juga dekat dengan pelabuhan.”

(Sumber: KORAN TEMPO, 06-03-2023)
Baca juga :