Tahun 1995, majalah Asia Money menganugerahi penghargaan kepada Mar’ie Muhammad atau Mr. Clean sebagai Menteri Keuangan terbaik.
Mar’ie Muhammad menjabat Menteri Keuangan pada 1993-1998.
Mar’ie Muhammad merupakan satu diantara para pejabat yang semasa dirinya menjabat, tak goyah oleh godaan, di saat semua orang menganggap ketiadaan integritas dimasa itu adalah suatu hal yang biasa. Ia tetap mempertahankan keteladanannya sebagai seorang pejabat yang bersih, meski berada di lahan yang “basah”. Perjuangannya dalam pemberantasan korupsi, di apresiasi oleh banyak pihak.
Menteri Keuangan yang mendapatkan julukan sebagai Mr. Clean ini lahir di Ampel, kota Surabaya pada tanggal 3 April 1939. Muhammad ayahnya, yang sempat menetap di Singapura sebelum hijrah ke Surabaya, merupakan anak pendatang asal Hadramaut – Yaman. Sedangkan ibunya Khadidjah, adalah wanita Melayu berdarah Tionghoa kelahiran Singapura.
Sebagai generasi ketiga yang hijrah ke Nusantara, leluhurnya Bin Mar’i Bin Sa’id berasal dari Hadramaut, mereka mendiami sebuah kawasan di sebelah barat al-Gurfah. Nasabnya tertulis Bin Sa’id Al Katsiri yang merupakan di antara Qabail Bani Syanfar Al Katsiri dari keturunan Sa’id bin ‘Ali bin ‘Umar bin ‘Amir bin Badar bin Muhammad bin Syanfar Al Katsiri yang selanjut nya di kenal dengan Bin Mar’i Bin Sa’id. (Catatan tentang Bin Said; oleh Dr. Hasan Albarqi).
Masa kecil Mr. Clean di Surabaya
Masa kecil Mr. Clean hingga tumbuh remajanya dihabiskan di Kampung Ampel, dalam kawasan jalan sasak di Kalimas Madya, sebuah pemukiman yang dihuni oleh banyak keturunan Arab. Islam dan arab culture dilingkungan tempatnya tinggal turut membentuk kepribadiannya, termasuk kebiasaannya bersarung saat waktu senggang di rumah.
Masih di kawasan Ampel, dalam lingkungan yang terbentuk oleh atmosfer faham pembaharuan Islam yang sudah ada sejak 1919 di Surabaya, Mr. Clean kecil disekolahkan oleh kedua orang tuanya di Perguruan Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Saat itu Indonesia baru saja merdeka dan tengah dipertaruhkan oleh kaum republiken sejati, karena Belanda yang memboncengi sekutu, sejak Jepang menyerah tanpa syarat dalam perang dunia II, menginginkan tanah jajahan kembali kepangkuannya.
Letak gedung sekolah Mr. Clean kecil saat untuk pertama kalinya belajar, bukan di Jalan Dana Karya No.46, atau yang pada masa Hindia Belanda masih disebut Ambach-schoolweg No.1. Melainkan di Ampel Maghfur 22 yang asalnya dipergunakan bagi murid puteri, karena gedung sekolah Al-Irsyad Al-Islamiyyah di jalan Dana Karya yang terkenal, setelah dikuasai Tentara Jepang dan dijadikannya Rumah Sakit Angkatan Laut, diduduki oleh Tentara Sekutu.
Perguruan Al-Irsyad Al-Islamiyyah yang berada di Ampel Maghfur saat itu, untuk sementara waktu dipimpin oleh al-ustadz Ali Balbeid, karena al-Ustadz Oemar Hoebeis sebagai tokoh central di perguruan itu, sedang berada dalam arus gelombang perjuangan revolusi kemerdekaan bangsa Indonesia, terutama sejak keterlibatannya bersama al-ustadz Ahmad bin Mahfudz dalam wadah Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), yang disusul kemudian setelah pembentukan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan November 1943, dan kedudukannya sebagai anggota Komite Nasional Pusat (1947).
Dalam masa perjuangan itulah, selama berkobarnya Revolusi Kemerdekaan Republik Indonesia, Mr. Clean menempuh pendidkan awalnya setingkat sekolah dasar di perguruan Al-Irsyad Al-Islamiyyah Surabaya. Ia diasah guna mendapatkan kemampuan kecerdasan intelektualnya oleh guru-guru Al-Irsyad yang mumpuni, antaranya berkat gemblengan al-ustadz Abdurrahman Bahalwan, al-ustadz Mohammad Balbeid, al-ustadz Said b. Oemar Alamudi, al-ustadz Ali Alhaddadi, al-ustadz Ahmad Ali Sungkar dan al-ustadz Muhammad Kun Syarwani.
Sentuhan dari al-ustadz Oemar Hoebeis, sebagai figur kharismatik Irsyadi Surabaya tetap dialaminya, terutama penguatannya pada pemahaman spirtual (mabda’ Al-Irsyad), akhlaq dan karakter. Salah satu dari kata-kata yang diingat dan diteladaninya dari ucapannya ialah, “Apabila seseorang tidak amanah dengan uang maka dia tidak akan amanah dalam hal yang lain.”
Kepindahan Mr. Clean ke Jakarta
Ayahnya wafat, saat Mr. Clean masih duduk dibangku SMP kelas 2. Anak ke-6 dari 8 bersaudara ini, selepas lulus dari SMA, oleh kedua kakanya yang sudah menikah diboyong ke Jakarta, bersama ibu dan semua saudaranya. Di Jakarta, arek Suroboyo ini menemukan dunia barunya menjadi mahasiswa dan aktivis kampus.
Saat Mr. Clean tiba di Jakarta dan menjadi mahasiswa pada Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada dekade 1960-an, pembangunan kota tengah gencar-gencarnya digalakan, salah satunya pembangunan Gelora Bung Karno sebagai persiapan menjadi Tuan Rumah Asian Games 1962. Proyek prestisius dengan menelan biaya sangat besar yang dibangun oleh Presiden Sukarno itu antaranya Patung Selamat Datang yang berada di tengah Bunderan HI, Wisma Nusantara, Hotel Indonesia dan Sarinah.
Sebagai aktivis kampus, Mr. Clean aktif dalam pergerakan mahasiswa, bahkan sempat jeda karena kegiatan perkuliahan dibekukan oleh Pemerintah. Ia terlibat dalam berbagai aksi demonstrasi mengkritisi pemerintah. Mr. Clean pernah menjadi Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan sebagai ketua Presidium Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI).
Periode pemerintahan Sukarno menjadi sangat penting bagi HMI di masa itu, hingga terancam dibubarkan oleh rezim yang berkuasa karena perseteruannya dengan Partai Komunis Indonesia.
Puncaknya pada saat Gerakan 30 September atau gestapu menjadi pecah, Mr. Clean kembali berjumpa dengan aktvis asal almamaternya Al-Irsyad Al-Islamiyyah, menyusun kekuatan bersama dalam kesatuan aksi para mahasiswa, pelajar dan pemuda dari berbagai golongan dan agama, sebuah perjuangan damai untuk membubarkan PKI dan mengadili dalangnya.
Lepas kuliah dan setelah berhasil meraih gelar terakhirnya sebagai Master of Arts in Economics, dari Universitas Indonesia, Mr. Clean mulai meniti kariernya di Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan Negara Kementerian Keuangan pada 1969 – 1972. Berlanjut kemudian pada 1972 – 1988, Ia mengabdikan dirinya di Direktorat Jenderal Pembinaan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) Kementerian Keuangan, dengan jabatan terakhirnya sebagai Direktur.
Meski kariernya sempat terganjal akibat tercium oleh pihak Istana yang mensinyalir dirinya merupakan aktivis Islam garis keras sebagai anggota HMI, akhirnya Ia menduduki jabatan pentingnya dalam pemerintahan Orde Baru, Ia pun akhirnya diangkat menjadi Direktur Jenderal Pajak 1988 – 1983.
Di masa periode kepemimpinannyalah, Ia berhasil mengubah nama Kantor Pajak menjadi Kantor Pelayanan Pajak. Perubahan nama yang dilakukannya itu adalah sebuah terobosan yang mampu menyadarkan masyarakat, bahwa pajak adalah alat pembangunan yang senantiasa dimanfaatkan untuk melayani segala kepentingan rakyat.
Karier terakhir dan tertingginya dalam birokrasi permerintahan adalah saat dirinya diangkat oleh Presiden Soeharto menjadi Menteri Keuangan pada Kabinet Pembangunan VI, 17 Maret 1993. Prestasi yang ditorehkannya selama 5 tahun menjabat sebagai Menteri Keuangan tersebut, Indonesia pernah dinobatkan sebagai pelopor di Asia Tenggara dalam bidang perekonomian.
Tahun 1995, majalah Asia Money yang berpusat di Hong Kong memberinya penghargaan kepada Mr. Clean sebagai Menteri Keuangan terbaik, karena kemampuannya dalam mempertahankan posisi indonesia di kondisi yang sangat sulit kala krisis ekenomi tengah mendera Bangsa Indonesia.
Penghargaan Bintang Maha Putra
Atas pengabdian jasanya terhadap negara, pemerintah memberinya anugerah Bintang Maha Putra, sebuah penghargaan tanda kehormatan tertinggi kedua yang diberikan oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Saat akan menerima penghargaan itu di istana negara, Mr.Clean datang dengan mengendarai mobil kijang bututnya, sontak penjaga istana menghadang tapi seketika itu juga tersentak, dari balik jendela kaca mobil butut yang dibukanya, dihadapannya adalah seorang pejabat negara sekelas menteri yang menjadi tamu khusus, sebagai penerima Bintang Maha Putra yang akan disematkan langsung oleh Presiden Republik Indonesia.
Wafat
Dr. H. Mar’ie Muhammad M.Si, alumnus SD Al-Irsyad Al-Islamiyyah cabang Surabaya ini, wafat di Rumah Sakit Pusat Otak Nasional Jakarta, Ahad, 11 Desember 2016, pada pukul 01.37 WIB, usia 77 tahun
Mantan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong tahun 1971 ini, dimakamkan di TPU Tanah Kusir, padahal negara sudah mempersiapkan agar jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata. Tapi permintaan itu ditolak, sesuai permintaan almarhum semasa hidupnya.
(Sumber: Hidayatullah)