[PORTAL-ISLAM.ID] KASUS pembantaian 6 anggota Laskar FPI masih menggantung dan terus menjadi tuntutan untuk pengungkapannya.
Masyarakat mengetahui proses peradilan atas 2 (dua) personal anggota Polda Metro Jaya Fikri Ramadhan dan Yusmin Ohorella adalah peradilan sesat atau peradilan dagelan. Kedua terdakwa terbukti membunuh tetapi dilepas.
Boleh jadi Fikri dan Yusmin hanya "anak buah yang dikorbankan" pelaku sebenarnya masih berkeliaran.
Memang jumlah pelaku diduga lebih banyak dengan jabatan yang lebih tinggi. Ini utang pelanggaran HAM berat rezim Jokowi yang terus menjadi tagihan rakyat.
Untuk mengungkap kasus KM 50 ini maka dapat dilakukan sekurang-kurangnya melalui lima jalur, yaitu :
Pertama, jalur "Novum" atau bukti baru. Ini sesuai janji Kapolri di depan DPR RI. Novum konteksnya bahwa peradilan Fikri Ramadhan dan Yusmin Ohorella dinilai berkekuatan hukum pasti (inkracht) .
Adapun Novum yang telah ditemukan adalah "Acay ahli otak atik CCTV", "Sidang Bahar Smith dan luka-luka jenazah", serta "Obstruction of Justice".
Kedua, jalur "Belum tuntas penyidikan". Bukti yang tidak diungkap seperti "Saksi sopir derek Dedi Mardedi", "Penumpang mobil non Polisi penguntit dan penembak", "Penumpang mobil Land Cruiser", serta "Motif penghancuran TKP". Artinya banyak bukti yang belum ditarik untuk penyidikan dan fakta dalam persidangan.
Ketiga, jalur "Komnas HAM" yang telah salah jalur. Komnas HAM mendasari penyelidikan pada UU No 39 tahun 1999 tentang HAM semestinya adalah UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Oleh karenanya perlu desakan kepada Komnas HAM yang baru untuk memulai kembali penyelidikan berdasarkan UU No 26 tahun 2000. Kasus Km 50 adalah pelanggaran HAM berat.
Keempat, jalur "Internasional". Pengawalan dan desakan kepada lembaga HAM Internasional termasuk peradilan HAM untuk segera menindaklanjuti pelaporan Tim dan keluarga. International Criminal Court (ICC) di Den Haag dan Committee Against Torture (CAT) harus bergerak.
Kelima, jalur "Keputusan Politik". Sebagaimana kasus Sambo atas dasar instruksi atau perintah Presiden untuk menuntaskan, maka kasus Km 50 pun harus diperjuangkan agar ada penyikapan politik dari Presiden.
Jika Presiden Jokowi tidak memerintahkan, maka terpaksa harapan digantungkan pada pemerintahan yang baru nanti. Presiden pengganti.
Jokowi sendiri patut diduga turut terlibat sekurangnya atas dasar "Crime by Ommission". Pembiaran suatu kejahatan.
Sebagaimana pertanyaan Anggota DPR kepada Kapolri mengenai kelanjutan kasus Km 50, maka rakyat masih memandang bahwa kasus Km 50 itu masih menggantung dan harus dibuka kembali. Diusut secara jujur, transparan dan adil.
Proses hukum kemarin hanya main-main dan rekayasa yang kasatmata. Tontonan dari sebuah sandiwara hukum yang memalukan dan memilukan.
Oleh: M Rizal Fadillah
Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 7 Maret 2023