Salah satu dari tiga pertimbangan mengapa dua terdakwa kasus Tragedi Kanjuruhan divonis bebas oleh Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Jawa Timur, Kamis (16/3/2023), adalah angin yang mengubah arah gas air mata yang ditembakkan. Artinya, angin yang bersalah. Angin yang seharusnya menjadi “terdakwa”.
Dua polisi yang divonis bebas itu adalah AKP Bambang Sidik Achmadi, mantan Kasat Samapta Polres Malang, dan Kompol Wahyu Setyo Pranoto, mantan Kabag Ops Polres Malang, saat tragedi di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jatim, itu terjadi pada 1 Oktober 2022 usai laga Arema FC melawan Persebaya Surabaya. Tragedi itu menewaskan 135 orang dan melukai 600 orang lainnya. Adapun majelis hakim yang menyidangkan perkara kedua terdakwa diketuai oleh Abu Achmad Sidqi Amsya. Kedua terdakwa sebelumnya dituntut 3 tahun penjara.
“Penembakan yang diperintahkan terdakwa pada saksi-saksi tersebut mengarah ke tengah lapangan dekat gawang sebelah utara. Dan asap dari gas terdorong angin ke arah selatan hingga ke tengah lapangan,” kata Abu Achmad Sidqi Amsya saat membacakan pertimbangan di Ruang Cakra PN Surabaya, Kamis (16/3/2023), seperti dilansir banyak media.
Adapun tiga terdakwa lainnya dalam kasus yang sama divonis penjara. Ketua Panitia Pelaksana (Panpel) Arema FC Abdul Haris divonis 1,5 tahun penjara. Security Officer Arema FC Suko Sutrisno, selaku Security Officer saat pertandingan Arema FC versus Persebaya Surabaya, divonis 1 tahun penjara.
Begitu pun Komandan Kompi (Danki) 1 Brimob Polda Jatim AKP Hasdarmawan divonis 1,5 tahun penjara. Sedangkan Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru (LIB) Akhmad Hadian Lukita masih belum dibawa ke pengadilan hingga saat ini, karena kepolisian masih melengkapi berkas sebelum dikirim lagi ke Kejaksaan Tinggi Jatim. Akhmad Hadian sudah dilepaskan dari tahanan.
Melihat proses hukum kasus Tragedi Kanjuruhan, kita seperti disuguhi dagelan lucu ala Srimulat. Para terdakwa hanya dituntut sekitar 3 tahun, dan vonisnya pun sangat ringan, ada yang 1 hingga 1,5 tahun bahkan ada yang bebas.
Bandingkan dengan kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat yang melibatkan mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri Ferdy Sambo dan istrinya, Putra Candrawathi serta ajudannya Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu dan Briptu Ricky Rizal Wibowo, dan asisten rumah tangganya, Kuat Ma’ruf.
Ferdy Sambo dihukum mati, Putri dihukum 20 tahun penjara, Ricky dihukum 13 tahun penjara, dan Kuat dihukum 15 tahun penjara. Hanya Eliezer yang divonis ringan, yakni 1,5 tahun penjara karena statusnya sebagai “justice collaborator”. Bahkan dalam kasus ini, Majelis Hakim PN Jakarta Selatan berani menjatuhkan vonis yang jauh lebih berat daripada tuntutan jaksa.
Padahal, jumlah korban dalam Tragedi Duren Tiga itu hanya 1 orang, yakni Brigadir J. Sedangkan jumlah korban dalam Tragedi Kanjuruhan adalah 135 orang meninggal dan 600 orang lainnya luka-luka.
Aneh Bin Ajaib
Vonis bebas atas dua terdakwa Tragedi Kanjuruhan itu pun aneh bin ajaib. Bagaimana bisa fenomena alam seperti tiupan angin dipersalahkan alias dijadikan “terdakwa”?
Maka, analoginya, jika ada seorang penyeberang jalan tertabrak sepeda motor karena pengendara gagal melakukan pengereman mendadak akibat jalan licin karena habis diguyur hujan, misalnya, sang pengendara motor pun tak bisa dipersalahkan meskipun korbannya meninggal dunia. Yang patut dipersalahkan adalah hujan yang merupakan fenomena alam.
Analog pula misalnya dengan perlombaan memanah. Jika ada seorang pemanah gagal membidik titik target karena anak panahnya melenceng tertiup angin, bisa saja ia mengklaim sebagai juara, karena jika anak panahnya itu tidak tertiup angin maka akan mengenai titik sasaran. Bukankah demikian?
Sejak awal proses hukum Tragedi Kanjuruhan ini memang banyak mengundang tanda tanya. Misalnya, mangapa hanya enam orang yang dijadikan tersangka. Itu pun di tengah jalan Akhmad Hadian Lukita dikeluarkan dari sel tahanan dengan dalih masa penahanannya sudah habis dan juga berkas perkaranya dikembalikan jaksa ke polisi karena dianggap belum lengkap atau P19.
Kalau sudah begini, lalu di manakah keadilan bagi para keluarga korban Tragedi Kanjuruhan? Alasan hakim bahwa “gas air mata tertiup angin” merupakan sesuatu yang mengada-ada dan diada-adakan.
Kini, entah kepada siapa kita berharap Tragedi Kanjuruhan ini akan diselesaikan secara hukum dengan adil. Karena pengadilan tempat mencari keadilan saja sudah tidak bisa adil!
Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Mantan Komisioner Komite Perubahan Sepakbola Nasional (KPSN)