Di tengah meredupnya legitimasi pemerintah, untuk ketiga kakinya pada 14 Maret lalu, Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh dan Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan mengadakan pertemuan, yang nampak sebagai usaha terakhir pemerintah mempengaruhi hasil pilpres ketika gagasan perpanjangan masa jabatan presiden tak mungkin lagi.
Pertemuan tertutup dan terkesan urgen itu lagi-lagi menimbulkan kekhawatiran dari simpatisan bakal capres Anies Baswedan dan parpol-parpol pengusungnya kalau-kalau Nasdem balik badan meninggalkan Anies.
Memang bila Nasdem menarik diri dari Koalisi Perubahan, maka Anies kehilangan tiket untuk ikut kompetisi dalam pilpres mendatang. Yang berarti hilang pula harapan rakyat akan perubahan. Anies telah menjadi ikon perubahan di tengah situasi sosial-ekonomi negara yang sulit saat ini.
Kita tidak tahu apa yang dibicarakan Luhut dan Paloh, tapi pasti terkait Anies, pilpres, dan posisi Nasdem dalam koalisi parpol pendukung pemerintah. Apapun, kekhawatiran pada kemungkinan Nasdem berkhianat sungguh tidak beralasan, meskipun kecemasan itu ada argumennya.
Pertama, dalam pengambilan keputusan — sebagaimana parpol lain di negeri ini — sikap Nasdem berwatak pragmatisme, bukan istikamah pada platform partai. Nasdem akan mendukung calon pemimpin yang punya peluang menang paling besar berdasarkan insting politik Paloh.
Kedua, terkait dengan point pertama, Nasdem mendukung gubernur petahana Ahok dalam pilgub DKI Jakarta 2017 yang saat itu sangat populer menghadapi Anies yang berposisi sebagai kandidat underdog.
Dua media mainstream milik Paloh — MetroTv dan Media Indonesia — rajin mengangkat isu bahaya politik identitas, intoleransi, dan radikalisme yang merujuk pada kaum Muslim konservatif di mana Anies secara keliru yang disengaja dianggap bagian dari kelompok itu.
Keempat, Nasdem adalah partai pendukung pemerintahan Jokowi sejak 2014 dengan jatah tiga menteri kabinet. Paloh sendiri mengatakan berulang kali bahwa Nasdem akan konsisten mengawal pemerintah hingga mandatnya berakhir.
Kelima, Nasdem akan lebih memilih mempertahankan tiga menterinya di pemerintahan ketimbang konsisten mengusung Anies yang sedang diusahakan pemerintah untuk digusur dari arena pilpres.
Namun, menimbang resiko moral dan politik yang akan dipikul Paloh dan Nasdem bila meninggalkan Koalisi Perubahan pada tahap ini, kekhawatiran itu menjadi tidak berdasar.
Pertama, bila Nasdem berkhianat terhadap Demokrat dan PKS, Paloh dan partainya akan kehilangan kredibilitas yang sulit dipulihkan. Hal ini akan mengganggu kinerja dan wibawanya, serta Nasdem berpotensi menjadi partai “pariah”. Sebagai politisi senior, hal yang sederhana ini pasti disadari Paloh.
Dus, ini taruhan yang terlalu besar untuk dipikul Paloh dan Nasdem dibandingkan dengan mempertahankan tiga menteri yang jabatannya tinggal 1,5 tahun lagi.
Kedua, bargaining power Nasdem vis a vis parpol lain untuk membangun koalisi akan sangat lemah. Mengapa konsistensi sikap Nasdem harus dipercaya ketika ada preseden parpol itu mengingkari komitmen dengan parpol lain pada momentum yang krusial?
Ketiga, setelah meninggalkan Koalisi Perubahan, Nasdem terpaksa mendatangi parpol-parpol yang telah lebih dahulu membangun koalisi sehingga, sebagai pendatang terakhir, ia hanya akan kebagian sedikit kue. Belum lagi, ia akan dihukum publik sebagai partai oportunis.
Keempat, posisi Nasdem vis a vis pemerintah saat ini sangat kuat setelah legitimasi pemerintah anjlok diterpa skandal mega korupsi dan pencucian uang di kementerian keuangan.
Melihat Menkeu Sri Mulyani dipertahankan pemerintah, padahal dia menjadi episentrum skandal itu sehingga pemecatannya dapat meringankan tekanan publik terhadap pemerintah, mengindikasikan perampokan duit rakyat itu melibatkan pemerintah.
Maka, di saat pemerintah telah menjadi “bebek lumpuh”, tidak masuk akal kalau pemerintah rela kehilangan partai yang berjasa besar bagi kemenangan Jokowi pada dua pilpres terakhir dan juga punya pengaruh besar melalui dua medianya tersebut dalam menjaga citra pemerintah.
Bisa jadi pengusutan kasus korupsi yang melibatkan adik kandung Sekjen Nasdem sekaligus Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate — yang sangat mungkin melibatkan Johnny sendiri — dijadikan kartu tawar pemerintah untuk menekan Nasdem agar mengikuti kemauannya.
Kemauan pemerintah inilah yang diduga kuat menjadi misi Luhut ketika datang menjumpai Paloh. Kemauan itu menyangkut Anies dan kelangsungan program pembangunan pemerintah pasca Jokowi.
Tetapi kalau misi itu masih seperti dulu, yaitu menekan Paloh agar mencampakkan Anies, tentu tidak mungkin berhasil. Mengapa juga kali ini Paloh harus mengalah ketika pemerintah telah menjadi “bebek lumpuh” sementara posisi Paloh dan Nasdem menguat? Kalau pada dua pertemuan sebelumnya — ketika pemerintah dalam posisi sangat kuat — Paloh bergeming, tentu tidak masuk akal kalau Paloh mengalah pada saat ini.
Melemahnya posisi pemerintah di hadapan Paloh terlihat dari fenomena berikut. Berbeda denga dua pertemuan Paloh dan Luhut sebelumnya, yang berlangsung di tempat netral — yaitu, pertemuan pertama di Wisma Nusantara pada Desember tahun lalu dan kedua di sebuah hotel di London pada awal Februari silam — kali ini Luhut datang ke Nasdem Tower, tempat Paloh berkantor.
Dalam konteks ini, Paloh berada dalam posisi superior dan Luhut dalam posisi sebaliknya. Artinya, Luhut yang membutuhkan Paloh. Dus, tidak mungkin dia datang untuk menekan Paloh. Sebagai wakil pemerintah yang telah “lumpuh”, Luhut datang hanya sebagai pengemis untuk mendapatkan keinginan minimal yang mungkin masih bisa diperoleh dari Paloh.
Keinginan itu adalah permintaan agar Anies bersedia melanjutkan program pembabgunan pemerintah kalau nanti berhasil keluar sebagai pemenang pilpres. Mungkin permintaan ini diminta ditandatangi hitam di atas putih. Permintaan ini cukup beralasan karena jagoan pemerintah, yaitu Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, terlempar dari arena kontestasi sebagai bakal capres karena tak didukung PDI-P.
Padahal tanpa dukungan PDI-P nilai jual Ganjar tidak signifikan. Sementara bakal capres lain — umpamanya Prabowo Subianto, Puan Maharani, Sandiaga Uno, dll — diprediksi akan kewalahan menghadapi Anies yang populeritasnya terus menanjak.
Ada pengamat yang mengatakan dalam pertemuannya dengan Paloh, Luhut menawarkan bakal cawapres untuk Anies sebagai jaminan pemerintahannya akan melanjutkan program pembangunan pemerintahan Jokowi. Tapi spekulasi ini lemah karena posisi wapres hanya sebagai ban serve.
Apapun itu, sepanjang misi Luhut berpotensi mempreteli independensi Anies dan komitmen bahwa pemerintahannya akan melanjutkan program pembangunan Jokowi, permintaan itu akan sia-sia.
Pertama, Anies tak bakal mau otoritasnya sebagai presiden dibatasi oleh pendahulunya yang tidak kompeten mengurus negara. Kedua, Demokrat dan PKS akan menarik diri dari Koalisi Perubahan karena akan ikut mengibiri wewenang dan visi mereka di pemerintahan.
Ketiga, branding Anies sebagai antitesa Jokowi akan lenyap. Dia tak beda dengan bakal capres lain yang mengaku mewakili kekuatan status quo. Padahal, branding antitesa Jokowi mestinya menjadi nilai jual Anies yang utama. Keempat, Anies adalah pemimpin otentik yang visioner.
Karena itu, tidak mungkin ia akan begitu saja melanjutkan program pembangunan Jokowi yang terbukti amburadul, meskipun tak menutup kemungkinan ia melanjutkan proyek strategis nasional pendahulunya.
Proyek yang tidak urgen, boros, tidak layak, jelas akan ia tinggalkan. Mana mungkin pemimpin dengan platform politik dan ekonomi sendiri berdasarkan pada visi Indonesia masa depan berbasis pada pembangunan yang inklusif, bersedia melanjutkan sistem ekonomi ekstraktif yang sangat destruktif bagi bangsa dan negara.
Kelima, begitu ia menyatakan berkomitmen sepenuhnya pada blue print pembangunan pendahulunya, maka pada saat itu juga harapannya memenangkan kontestasi pilpres tinggal mimpi.
Fakta bahwa Luhut dan Paloh tak memberikan konferensi pers pasca pertemuan, memunculkan dugaan misi Luhut gagal total, hal yang sudah bisa diprediksi sejak awal. Artinya, jurus terakhir “bebek lumpuh” untuk tetap berperan dalam pilpres dan pemerintahan pengganti berakhir menyedihkan.
Luhut pulang dengan tangan kosong.
Smith Alhadar, Penasihat Institute for Democracy Education (IDe)
Tangsel, 17 Maret 2023