Seorang tukang bangunan tiba tiba bertanya "asli jogja?"
Glagapan aku yang sedang memandang hujan sambil nikmati teh nasgitel jawab sekenanya, "njih pak namun kulo blasteran".
"Oooh" sahutnya tak menyangka.
"Jogja campur jatim pak" jawabku menerangkan...
Kita pun terkekeh bersama...
"Apa kamu memahami apa yang terjadi berapa hari ini diJogja mas?" aku menggeleng tak memgerti.
"Merapi batuk batuk, gempa bumi, hujan es, badai angin kencang merobohkan pohon pohon tua.." sambung bapak tukang itu
"Oh ya betul pak...beberapa hari ini semua terjadi beruntun"
"Jogja wes kakean duso mas" (Jogja sudah kebanyakan dosa) ujarnya sambil menatapku tajam.
"Waduh...maksudnya gimana pak ?" kaget agak tersinggung aku mendengarnya..
"Jogja wes kakean duso...kakean jadi penampungan dusone wong njobo".
"Maksudnya kita menampung dosa dari luar Jogja pak?" Tanyaku heran.
"Iyo mas".
"Kok iso?" penasaran aku dengan berngoko.
"Lha saiki Jogja ki dadi tujuan favorit wong wong ndelike duit haram je mas," jawab si tukang dengan ngoko juga.
"Oooh..." aku mulai paham..."money laundring to pak" tebakku... "yo kui maksudku mas" jawab bapak tukang dengan semangat.
"Saiki duit haram seko (dari) Jakarta seko Kalimantan seko ndi ndi (dari mana-mana) sing angel dilacak (yang sulit dilacak) kui playokene nang Jogja mas (sekarang dilarikan ke Jogja)" jelasnya lantang "itu salah satu bentuk keistimewaan kita" sambil mendengus sinis si tukang berkata.
Tiba tiba melintas di kepalaku wajah wajah Alun T Sambodo, Setyo Novanto, SriMul dan beberapa wajah para pejabat kotor lain yang punya aset di Jogjakarta...
"Alam Jogja muak mas dengan semua itu kemunafikan itu !" Ujar si bapak itu lagi...
Kali ini yang melintas adalah bangunan bangunan megah di beberapa fakultas kampusku yang katanya sumbangan dari si ini dan si itu dari Jakarta yang...ah bahkan KPK mundur sesaat setelah melakukan penyidikan di kampus itu beberapa tahun lalu.
"Merapi batuk batuk, angin ngamuk ngamuk, kilat nyambuk nyambuk, bumi ora anteng" bapak tukang menyambung dengan nada dalang...
"Bumi gonjang ganjing, langit kelap kelap, punokawan podo tiarap" sambungku dengan nada yang sama sambil sruput teh nasgitel yang mulai dingin itu...
(Budi Saks)