SEORANG IBU TUNGGAL lima anak melaporkan dugaan pencabulan kedua putrinya ke Polres Baubau, sebuah kota di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara.
Diduga tanpa diberi akses pendampingan hukum yang memadai saat proses pemeriksaan, si ibu justru mendapatkan putra sulungnya dijadikan tersangka.
Menyadari penyelidikan polisi tidak beres, dengan membawa tekanan batin dan ekonomi rumah tangga, serta dalam bayang-bayang ancaman terduga pelaku sebenarnya, sang ibu mencari sendiri kebenaran dengan menyelidiki para tertuduh pelaku.
Para pelaku diduga tujuh laki-laki dewasa, orang-orang di sekitar lingkungan rumah. Peristiwa pencabulan diduga terjadi saat si ibu dan anak sulungnya sedang berjualan sayur di pasar, di hari ketika si ibu tidak seperti biasanya meninggalkan ketiga anaknya yang paling kecil di rumah.
Si ibu bersama putra sulungnya sehari-hari bekerja di pasar sejak pukul 6.00 hingga pukul 19.00. Jarak rumah mereka dan pasar sekitar 14 km, biasanya mereka naik angkot, kadang naik ojek. Rumah mereka berada di pinggiran Kota Baubau, di kompleks perumahan subsidi yang baru dicicil si ibu dan ditempati mereka selama dua bulan saat kekerasan seksual ini terjadi.
“Ya Allah, selama saya ngekos 25 tahun, anak-anak saya baik-baik saja. Saya menyesal tinggal di kompleks perumahan itu. Saya kira tinggal di situ lebih aman. Padahal, begini kejadiannya,” kata si ibu, bernama Ratih, bukan nama sebenarnya.
Ratih mengetahui kejadian yang menimpa kedua putrinya pada 24 Desember 2022.
Putri bungsunya mengeluh kemaluannya terasa perih saat buang air kecil. Ketika diperiksa, ia kaget melihat kondisi kemaluan putrinya. Keesokan hari, anak itu mengeluh kesakitan dan berkata seorang pria di lingkungan perumahan telah “memvaksin” lengannya.
Ratih memeriksa lengan putrinya. Ada bekas suntikan baru di lengan kanan dan di leher bagian belakang. Si anak mengaku bukan dia saja yang disuntik “vaksin”, melainkan juga kedua kakaknya yang masih di bawah umur 10 tahun.
Ratih melihat ada bekas suntikan di lengan dan leher putri pertamanya dan di sekitar area perut putra ketiganya. Ia menanyakan anaknya apakah ada pria asing yang datang ke rumahnya hari itu.
“Waktu itu saya tidur. Pas bangun, ada orang di depan tempat tidur sama di depan pintu,” kata putri pertamanya.
Pengakuan Korban
Pada hari Sabtu itu, 24 Desember, di masa libur sekolah, Ratih meninggalkan ketiga anak kecilnya di rumah, selagi ia dan anak sulungnya berjualan sayur di pasar. Biasanya mereka dibawa ke pasar. Tapi, tidak hari itu. Ketiga anak kecilnya masih di bawah umur 10 tahun, masing-masing dua anak perempuan dan satu anak laki-laki.
Di hari itu Ratih sempat pulang ke rumah dari pasar bersama temannya karena kurang enak badan. Ia tiba di rumah pukul 13.00. Ia melihat ada empat pria dewasa sedang minum-minum di salah satu rumah kosong depan rumah.
Di dalam rumah, Ratih hanya mendapati putri pertamanya, sementara anak laki-lakinya yang paling kecil terlihat bermain di depan rumah bersama temannya. Ia tidak melihat putri bungsunya.
Ratih tidur siang dan terbangun pukul 14.00. Saat terjaga, ia mendengar suara putri bungsunya menangis. Ia menyuruh putri pertamanya untuk mencari, yang menemukan adik bungsunya sedang menangis di samping rumah di salah satu penghuni kompleks perumahan. Si kakak membawa pulang adiknya ke rumah.
Sekitar pukul 14.30, Ratih kembali ke pasar. Ia berpesan kepada ketiga anaknya supaya mereka makan dan tidur serta jangan lupa mengunci pintu.
Sepeninggal ibunya, saat putri pertamanya mengambil air untuk mandi, kedua adiknya keluar rumah. Beberapa saat kemudian, ia mendengar adik bungsunya menangis dari arah sebuah rumah kosong. Ia memanggilnya, tapi tidak ada sahutan. Ia bertemu pria berkumis di sebuah rumah kosong itu dan bertanya apakah melihat adiknya. Namun, pria itu mengaku tidak melihat.
Karena tak menemukan adik perempuannya, si kakak pergi mencari adik laki-lakinya dan mengajaknya pulang ke rumah.
Dari pengakuan putri bungsu, saat ibunya sudah pergi lagi ke pasar, ia sedang bermain-main di kios tetangga saat digendong oleh seorang pria dewasa. Ia sempat melarikan diri tapi ditemukan pria lain, lalu dibawa ke sebuah rumah kosong, lokasinya berhadapan dengan rumah mereka.
Di rumah kosong itu, ia ditampar, disuntik, lalu dicabuli oleh sedikitnya empat pria dewasa.
“Dua orang kasih masuk lolo-nya (penis) di impo-ku (vagina). Dua orang lagi pakai tangan,” kata si putri bungsu.
Salah satu pelaku mengancamnya dengan pistol di mulutnya dan berkata akan membunuh ibu dan kakaknya jika melaporkan kejadian itu ke ibunya.
Sekitar pukul 15.00 lewat, si kakak perempuan mendapati adik bungsunya pulang dengan mata sembab.
“Saya tanya, ‘Kamu dari mana?’ Dia tidak jawab. Mukanya seperti habis menangis. Saya kira dia jatuh karena dia luka bagian pahanya. Seperti tergores,” kata si kakak.
Adik laki-lakinya minta makan, dan adik perempuannya ikut makan. Selesai makan, mereka tidur di kamar yang sama, yang posisi pintunya menghadap ke dapur.
Beberapa saat kemudian, si kakak perempuan terbangun karena mendengar seseorang membuka pintu. Ia melihat samar-samar seorang pria dewasa di dapur. Saat keluar kamar, ia tak melihat pria itu. Ia bergegas ke teras dan melihat pria itu. Tak lama, si pria itu masuk lewat pintu belakang rumah, lalu memanggilnya. Sampai di dapur, si pria menodongkan pistol ke kepalanya.
“Kamu dengar baik-baik. Jangan kasih tahu mamamu kalau saya pernah masuk di rumahmu ini. Kalau kamu kasih tahu mamamu, saya bunuh mamamu dengan kakakmu. Kalian semua saya bunuh di rumah ini,” kata anak perempuan pertama Ratih menirukan ucapan si pria tersebut.
Setelah si pria itu pergi, si kakak kembali tidur. Saat merasa kepanasan, ia terbangun dan melihat dua pria dewasa berdiri di depan pintu dan di depan kasur.
Saat hendak berteriak, salah satu pria itu menyumpal mulutnya dengan kain batik. Pria lain mengancamnya agar tidak menceritakan kejadian ini kepada ibunya.
Lalu, salah satu pria mengambil botol dan memencetnya, yang seketika mengeluarkan asap. Si pria segera mengenakan masker, sedangkan satu pria lain menghindar. Tidak lama kemudian, anak perempuan pertama Ratih pingsan.
Putri bungsu Ratih sempat terbangun buang air kecil. Ia melihat ada empat pria dewasa di dekat kakak perempuannya yang pingsan. Ia melihat salah satunya menyuntik bagian lengan dan leher belakang kakaknya.
Si putri bungsu, dengan lugu, berkata ke salah satu pria itu bahwa ia ingin buang air kecil. Setelah kembali ke kamar, ia melihat salah satu pria memegang dua tangan kakak perempuannya. Sementara satu pria lain berdiri, pria satu lagi menampar-nampar wajah kakaknya. (Kemungkinan untuk memastikan dugaan efek obat bius apakah sudah bekerja terhadap tubuh anak perempuan pertama Ratih.)
Setelah itu, ia melihat pria yang sebelumnya memegang dua tangan kakaknya menggosok-gosok dengan tangan ke bagian bawah perut kakaknya. Ia melihat celana kakaknya sudah melorot hingga ke kaki. Para pria itu menyuruh putri bungsu Ratih tidur.
Saat terbangun, si kakak perempuan merasa badannya kesakitan, termasuk pada bagian lengan kanan dan leher bagian belakang, sedangkan kemaluannya terasa keram.
Pada pukul 20.00, Ratih dan anak sulungnya tiba di rumah. Di dalam rumah, Ratih mencium bau parfum yang tidak dikenalnya. Pintu rumah bagian depan dan dapur tidak terkunci. Anak-anaknya masih tidur. Malam itu, putri bungsunya mengeluh kemaluannya sakit saat kencing.
Kesaksian Ibu
Ratih melihat vagina putri bungsunya dalam kondisi menganga dan sobek sampai di dubur. Klitoris tidak terlihat di permukaan karena melesap. Kemaluan tampak pucat. Tidak ada bekas darah. Hanya ada bubuk putih kering seperti garam. Seperti cairan kering di sekitar bibir saat bangun tidur.
Saat ditanya apakah merasakan sakit di kemaluannya, putri bungsunya berkata tidak merasakan sakit.
Si ibu heran, dengan kondisi kemaluan itu, anaknya masih bisa berjalan, bahkan berlari dan bermain. Hanya mengeluh sakit saat buang air kecil. Barulah satu minggu kemudian, ia mengeluh kesakitan. Kondisi kemaluannya membengkak dan berwarna merah seperti udang rebus. Selain itu, berbau. Ratih sering mengompreskan air hangat.
Sementara pada putri pertamanya, seminggu setelah kejadian, daging kemaluannya tampak keluar. Seperti seseorang yang habis melahirkan.
Melapor ke Polres Baubau
Pada 30 Desember 2022, membawa ketiga anaknya yang paling kecil, dengan naik ojek, Ratih melapor dugaan pencabulan ke dua polsek di Kota Baubau. Kedua polsek ini berada di satu wilayah kecamatan tetangga dengan kecamatan tempat tinggal Ratih, yang belum memiliki kantor polsek sendiri.
Tiba di polsek pertama, sekitar pukul 13.00, pengaduannya ditolak dengan alasan tidak menangani kasus seperti itu, lalu diarahkan ke polsek kedua.
Saat berada di polsek kedua, sekitar pukul 13.30, Ratih mendapatkan telepon dari developer alias pengembang kompleks perumahan yang menanyakan keberadaannya. Tak lama kemudian si pengembang datang mengendarai mobil.
Di polsek kedua itu, setelah menerima laporan dari Ratih, polisi mengarahkan ke Polres Baubau. Si developer mengantar Ratih dan ketiga anaknya dengan mobil ke Polres Baubau sekitar pukul 14.00.
Menurut pengakuan Ratih, si pengembang mengaku sebagai keluarga korban saat ditanya petugas di lobi Polres Baubau. Ratih kemudian diterima seorang polisi laki-laki dan menanyakan apa keperluannya. Ratih menceritakan dua anaknya telah dicabuli. Selang beberapa saat, seorang penyidik yang dikenal Ratih bernama Asrianto mengusulkan kedua putrinya divisum ke sebuah klinik terdekat, sekitar pukul 15.00.
Petugas di klinik berkata bahwa ada biaya visum Rp300 ribu per orang, menurut cerita Ratih. Sang ibu cuma punya uang saat itu Rp300 ribu. Si developer turut membayar setengah lagi dari total biaya visum Rp600.000. Sampai pukul 16.00, dokter belum datang. Ratih pun memutuskan pergi ke pasar bersama ketiga anaknya, diantar dengan mobil si pengembang.
Setelah menutup jualan sayur di pasar, Ratih bersama ketiga anaknya yang paling kecil dan anak sulungnya, kembali ke klinik sekitar pukul 19.00. Jarak pasar dengan klinik itu sekitar 3 km. Mereka diantar mobil si developer. Mereka sekalian pulang ke rumah. Anak sulungnya menunggu di luar klinik. Di klinik itu juga ada penyidik Asrianto.
Di klinik, Ratih melihat kedua putrinya dibaringkan di tempat tidur, lalu diperiksa kemaluannya menggunakan senter. Ia mendengar seorang dokter berkata ke salah satu rekannya, “Sobek dua-duanya.”
Ratih menjelaskan ke penyidik Asrianto bahwa kedua putrinya disuntik. Tapi ia tidak melihat dokter memeriksa bekas suntikan itu.
“Setelah keluar dari klinik itu, Pak Asrianto cerita sama si developer perumahan kurang lebih setengah jam. Saya tidak tahu mereka cerita apa,” ujar Ratih, yang melihat mereka dari luar klinik.
Pada 1 Januari 2023, sekitar pukul 11.00, Ratih menelepon penyidik Asrianto mengabarkan akan datang ke Polres Baubau. Bersama kedua putrinya, Ratih tiba di polres sekitar pukul 14.00.
Ratih diminta keterangan oleh Asrianto sejak pukul 14.30. Ia ditanya mengenai kejadian yang menimpa kedua putrinya. Kapan kejadiannya, bagaimana sampai sang ibu tahu. “Saya juga ditanya tentang kegiatan sehari-hari,” ujar Ratih.
Setelah itu, Asrianto mengambil keterangan putri bungsu Ratih. Sementara putri pertamanya belum mau bicara, masih trauma.
“Lalu kami disuruh pulang,” ujar Ratih. Pemeriksaan berlangsung sampai pukul 15.30.
“Beberapa hari setelahnya, kalau saya tidak tanya perkembangannya [kepada Pak Asrianto], tidak ada juga panggilan,” kata Ratih.
Tanpa Pendampingan Dinas Perlindungan Anak
Pada 6 Januari 2023, atas rekomendasi seorang teman, Ratih melaporkan dugaan pencabulan kedua putrinya ke Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Baubau. Ia bertemu seorang wanita yang menanyakan apakah anaknya telah divisum, di mana lokasi visumnya, dan siapa yang mendampingi saat visum.
“Kata ibu itu, anak saya mungkin mengalami trauma. Katanya tidak apa-apa. Yang penting saya tenangkan diri. Nanti psikolognya sendiri yang periksa,” kata Ratih.
Sampai sekarang, tak sekalipun pihak dinas perlindungan anak memberikan pendampingan kepada kedua putrinya.