SEORANG IBU TUNGGAL lima anak melaporkan dugaan pencabulan kedua putrinya ke Polres Baubau, sebuah kota di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara.
Diduga tanpa diberi akses pendampingan hukum yang memadai saat proses pemeriksaan, si ibu justru mendapatkan putra sulungnya dijadikan tersangka.
Menyadari penyelidikan polisi tidak beres, dengan membawa tekanan batin dan ekonomi rumah tangga, serta dalam bayang-bayang ancaman terduga pelaku sebenarnya, sang ibu mencari sendiri kebenaran dengan menyelidiki para tertuduh pelaku.
Para pelaku diduga tujuh laki-laki dewasa, orang-orang di sekitar lingkungan rumah. Peristiwa pencabulan diduga terjadi saat si ibu dan anak sulungnya sedang berjualan sayur di pasar, di hari ketika si ibu tidak seperti biasanya meninggalkan ketiga anaknya yang paling kecil di rumah.
Si ibu bersama putra sulungnya sehari-hari bekerja di pasar sejak pukul 6.00 hingga pukul 19.00. Jarak rumah mereka dan pasar sekitar 14 km, biasanya mereka naik angkot, kadang naik ojek. Rumah mereka berada di pinggiran Kota Baubau, di kompleks perumahan subsidi yang baru dicicil si ibu dan ditempati mereka selama dua bulan saat kekerasan seksual ini terjadi.
“Ya Allah, selama saya ngekos 25 tahun, anak-anak saya baik-baik saja. Saya menyesal tinggal di kompleks perumahan itu. Saya kira tinggal di situ lebih aman. Padahal, begini kejadiannya,” kata si ibu, bernama Ratih, bukan nama sebenarnya.
Ratih mengetahui kejadian yang menimpa kedua putrinya pada 24 Desember 2022.
Putri bungsunya mengeluh kemaluannya terasa perih saat buang air kecil. Ketika diperiksa, ia kaget melihat kondisi kemaluan putrinya. Keesokan hari, anak itu mengeluh kesakitan dan berkata seorang pria di lingkungan perumahan telah “memvaksin” lengannya.
Ratih memeriksa lengan putrinya. Ada bekas suntikan baru di lengan kanan dan di leher bagian belakang. Si anak mengaku bukan dia saja yang disuntik “vaksin”, melainkan juga kedua kakaknya yang masih di bawah umur 10 tahun.
Ratih melihat ada bekas suntikan di lengan dan leher putri pertamanya dan di sekitar area perut putra ketiganya. Ia menanyakan anaknya apakah ada pria asing yang datang ke rumahnya hari itu.
“Waktu itu saya tidur. Pas bangun, ada orang di depan tempat tidur sama di depan pintu,” kata putri pertamanya.
Pengakuan Korban
Pada hari Sabtu itu, 24 Desember, di masa libur sekolah, Ratih meninggalkan ketiga anak kecilnya di rumah, selagi ia dan anak sulungnya berjualan sayur di pasar. Biasanya mereka dibawa ke pasar. Tapi, tidak hari itu. Ketiga anak kecilnya masih di bawah umur 10 tahun, masing-masing dua anak perempuan dan satu anak laki-laki.
Di hari itu Ratih sempat pulang ke rumah dari pasar bersama temannya karena kurang enak badan. Ia tiba di rumah pukul 13.00. Ia melihat ada empat pria dewasa sedang minum-minum di salah satu rumah kosong depan rumah.
Di dalam rumah, Ratih hanya mendapati putri pertamanya, sementara anak laki-lakinya yang paling kecil terlihat bermain di depan rumah bersama temannya. Ia tidak melihat putri bungsunya.
Ratih tidur siang dan terbangun pukul 14.00. Saat terjaga, ia mendengar suara putri bungsunya menangis. Ia menyuruh putri pertamanya untuk mencari, yang menemukan adik bungsunya sedang menangis di samping rumah di salah satu penghuni kompleks perumahan. Si kakak membawa pulang adiknya ke rumah.
Sekitar pukul 14.30, Ratih kembali ke pasar. Ia berpesan kepada ketiga anaknya supaya mereka makan dan tidur serta jangan lupa mengunci pintu.
Sepeninggal ibunya, saat putri pertamanya mengambil air untuk mandi, kedua adiknya keluar rumah. Beberapa saat kemudian, ia mendengar adik bungsunya menangis dari arah sebuah rumah kosong. Ia memanggilnya, tapi tidak ada sahutan. Ia bertemu pria berkumis di sebuah rumah kosong itu dan bertanya apakah melihat adiknya. Namun, pria itu mengaku tidak melihat.
Karena tak menemukan adik perempuannya, si kakak pergi mencari adik laki-lakinya dan mengajaknya pulang ke rumah.
Dari pengakuan putri bungsu, saat ibunya sudah pergi lagi ke pasar, ia sedang bermain-main di kios tetangga saat digendong oleh seorang pria dewasa. Ia sempat melarikan diri tapi ditemukan pria lain, lalu dibawa ke sebuah rumah kosong, lokasinya berhadapan dengan rumah mereka.
Di rumah kosong itu, ia ditampar, disuntik, lalu dicabuli oleh sedikitnya empat pria dewasa.
“Dua orang kasih masuk lolo-nya (penis) di impo-ku (vagina). Dua orang lagi pakai tangan,” kata si putri bungsu.
Salah satu pelaku mengancamnya dengan pistol di mulutnya dan berkata akan membunuh ibu dan kakaknya jika melaporkan kejadian itu ke ibunya.
Sekitar pukul 15.00 lewat, si kakak perempuan mendapati adik bungsunya pulang dengan mata sembab.
“Saya tanya, ‘Kamu dari mana?’ Dia tidak jawab. Mukanya seperti habis menangis. Saya kira dia jatuh karena dia luka bagian pahanya. Seperti tergores,” kata si kakak.
Adik laki-lakinya minta makan, dan adik perempuannya ikut makan. Selesai makan, mereka tidur di kamar yang sama, yang posisi pintunya menghadap ke dapur.
Beberapa saat kemudian, si kakak perempuan terbangun karena mendengar seseorang membuka pintu. Ia melihat samar-samar seorang pria dewasa di dapur. Saat keluar kamar, ia tak melihat pria itu. Ia bergegas ke teras dan melihat pria itu. Tak lama, si pria itu masuk lewat pintu belakang rumah, lalu memanggilnya. Sampai di dapur, si pria menodongkan pistol ke kepalanya.
“Kamu dengar baik-baik. Jangan kasih tahu mamamu kalau saya pernah masuk di rumahmu ini. Kalau kamu kasih tahu mamamu, saya bunuh mamamu dengan kakakmu. Kalian semua saya bunuh di rumah ini,” kata anak perempuan pertama Ratih menirukan ucapan si pria tersebut.
Setelah si pria itu pergi, si kakak kembali tidur. Saat merasa kepanasan, ia terbangun dan melihat dua pria dewasa berdiri di depan pintu dan di depan kasur.
Saat hendak berteriak, salah satu pria itu menyumpal mulutnya dengan kain batik. Pria lain mengancamnya agar tidak menceritakan kejadian ini kepada ibunya.
Lalu, salah satu pria mengambil botol dan memencetnya, yang seketika mengeluarkan asap. Si pria segera mengenakan masker, sedangkan satu pria lain menghindar. Tidak lama kemudian, anak perempuan pertama Ratih pingsan.
Putri bungsu Ratih sempat terbangun buang air kecil. Ia melihat ada empat pria dewasa di dekat kakak perempuannya yang pingsan. Ia melihat salah satunya menyuntik bagian lengan dan leher belakang kakaknya.
Si putri bungsu, dengan lugu, berkata ke salah satu pria itu bahwa ia ingin buang air kecil. Setelah kembali ke kamar, ia melihat salah satu pria memegang dua tangan kakak perempuannya. Sementara satu pria lain berdiri, pria satu lagi menampar-nampar wajah kakaknya. (Kemungkinan untuk memastikan dugaan efek obat bius apakah sudah bekerja terhadap tubuh anak perempuan pertama Ratih.)
Setelah itu, ia melihat pria yang sebelumnya memegang dua tangan kakaknya menggosok-gosok dengan tangan ke bagian bawah perut kakaknya. Ia melihat celana kakaknya sudah melorot hingga ke kaki. Para pria itu menyuruh putri bungsu Ratih tidur.
Saat terbangun, si kakak perempuan merasa badannya kesakitan, termasuk pada bagian lengan kanan dan leher bagian belakang, sedangkan kemaluannya terasa keram.
Pada pukul 20.00, Ratih dan anak sulungnya tiba di rumah. Di dalam rumah, Ratih mencium bau parfum yang tidak dikenalnya. Pintu rumah bagian depan dan dapur tidak terkunci. Anak-anaknya masih tidur. Malam itu, putri bungsunya mengeluh kemaluannya sakit saat kencing.
Kesaksian Ibu
Ratih melihat vagina putri bungsunya dalam kondisi menganga dan sobek sampai di dubur. Klitoris tidak terlihat di permukaan karena melesap. Kemaluan tampak pucat. Tidak ada bekas darah. Hanya ada bubuk putih kering seperti garam. Seperti cairan kering di sekitar bibir saat bangun tidur.
Saat ditanya apakah merasakan sakit di kemaluannya, putri bungsunya berkata tidak merasakan sakit.
Si ibu heran, dengan kondisi kemaluan itu, anaknya masih bisa berjalan, bahkan berlari dan bermain. Hanya mengeluh sakit saat buang air kecil. Barulah satu minggu kemudian, ia mengeluh kesakitan. Kondisi kemaluannya membengkak dan berwarna merah seperti udang rebus. Selain itu, berbau. Ratih sering mengompreskan air hangat.
Sementara pada putri pertamanya, seminggu setelah kejadian, daging kemaluannya tampak keluar. Seperti seseorang yang habis melahirkan.
Melapor ke Polres Baubau
Pada 30 Desember 2022, membawa ketiga anaknya yang paling kecil, dengan naik ojek, Ratih melapor dugaan pencabulan ke dua polsek di Kota Baubau. Kedua polsek ini berada di satu wilayah kecamatan tetangga dengan kecamatan tempat tinggal Ratih, yang belum memiliki kantor polsek sendiri.
Tiba di polsek pertama, sekitar pukul 13.00, pengaduannya ditolak dengan alasan tidak menangani kasus seperti itu, lalu diarahkan ke polsek kedua.
Saat berada di polsek kedua, sekitar pukul 13.30, Ratih mendapatkan telepon dari developer alias pengembang kompleks perumahan yang menanyakan keberadaannya. Tak lama kemudian si pengembang datang mengendarai mobil.
Di polsek kedua itu, setelah menerima laporan dari Ratih, polisi mengarahkan ke Polres Baubau. Si developer mengantar Ratih dan ketiga anaknya dengan mobil ke Polres Baubau sekitar pukul 14.00.
Menurut pengakuan Ratih, si pengembang mengaku sebagai keluarga korban saat ditanya petugas di lobi Polres Baubau. Ratih kemudian diterima seorang polisi laki-laki dan menanyakan apa keperluannya. Ratih menceritakan dua anaknya telah dicabuli. Selang beberapa saat, seorang penyidik yang dikenal Ratih bernama Asrianto mengusulkan kedua putrinya divisum ke sebuah klinik terdekat, sekitar pukul 15.00.
Petugas di klinik berkata bahwa ada biaya visum Rp300 ribu per orang, menurut cerita Ratih. Sang ibu cuma punya uang saat itu Rp300 ribu. Si developer turut membayar setengah lagi dari total biaya visum Rp600.000. Sampai pukul 16.00, dokter belum datang. Ratih pun memutuskan pergi ke pasar bersama ketiga anaknya, diantar dengan mobil si pengembang.
Setelah menutup jualan sayur di pasar, Ratih bersama ketiga anaknya yang paling kecil dan anak sulungnya, kembali ke klinik sekitar pukul 19.00. Jarak pasar dengan klinik itu sekitar 3 km. Mereka diantar mobil si developer. Mereka sekalian pulang ke rumah. Anak sulungnya menunggu di luar klinik. Di klinik itu juga ada penyidik Asrianto.
Di klinik, Ratih melihat kedua putrinya dibaringkan di tempat tidur, lalu diperiksa kemaluannya menggunakan senter. Ia mendengar seorang dokter berkata ke salah satu rekannya, “Sobek dua-duanya.”
Ratih menjelaskan ke penyidik Asrianto bahwa kedua putrinya disuntik. Tapi ia tidak melihat dokter memeriksa bekas suntikan itu.
“Setelah keluar dari klinik itu, Pak Asrianto cerita sama si developer perumahan kurang lebih setengah jam. Saya tidak tahu mereka cerita apa,” ujar Ratih, yang melihat mereka dari luar klinik.
Pada 1 Januari 2023, sekitar pukul 11.00, Ratih menelepon penyidik Asrianto mengabarkan akan datang ke Polres Baubau. Bersama kedua putrinya, Ratih tiba di polres sekitar pukul 14.00.
Ratih diminta keterangan oleh Asrianto sejak pukul 14.30. Ia ditanya mengenai kejadian yang menimpa kedua putrinya. Kapan kejadiannya, bagaimana sampai sang ibu tahu. “Saya juga ditanya tentang kegiatan sehari-hari,” ujar Ratih.
Setelah itu, Asrianto mengambil keterangan putri bungsu Ratih. Sementara putri pertamanya belum mau bicara, masih trauma.
“Lalu kami disuruh pulang,” ujar Ratih. Pemeriksaan berlangsung sampai pukul 15.30.
“Beberapa hari setelahnya, kalau saya tidak tanya perkembangannya [kepada Pak Asrianto], tidak ada juga panggilan,” kata Ratih.
Tanpa Pendampingan Dinas Perlindungan Anak
Pada 6 Januari 2023, atas rekomendasi seorang teman, Ratih melaporkan dugaan pencabulan kedua putrinya ke Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Baubau. Ia bertemu seorang wanita yang menanyakan apakah anaknya telah divisum, di mana lokasi visumnya, dan siapa yang mendampingi saat visum.
“Kata ibu itu, anak saya mungkin mengalami trauma. Katanya tidak apa-apa. Yang penting saya tenangkan diri. Nanti psikolognya sendiri yang periksa,” kata Ratih.
Sampai sekarang, tak sekalipun pihak dinas perlindungan anak memberikan pendampingan kepada kedua putrinya.
Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Perlindungan Khusus Anak DP3A Baubau, Yeti Muchtasar, saat ditemui di ruang kerjanya pada 27 Januari 2023, berdalih tak tahu sama sekali atas dugaan kasus pencabulan yang dilaporkan Ratih.
“Nanti saya konfirmasi ke UPTD (PPA). Dia ketemu siapa? Jangan sampai dia hanya datang tapi dia belum temui kepala UPTD atau sekretarisnya atau teman-teman UPTD. Dia bilang sudah sampai di sini. Padahal kami di kantor terus. Biasanya kalau ada yang melapor, kami arahkan ke UPTD untuk ditindaklanjuti. Nanti kalau UPTD memerlukan kami, kami ikut,” kata Yeti.
Saya memastikan hal itu kepada Ratih. Ratih menjawab, “Saya di ruangan tempat perlindungan anak. Tertulis di situ perlindungan anak. Di situ saya ditanya-tanya tentang anak-anak. Mereka juga minta keterangan ke anak-anak. Habis itu kami diminta akan diinformasikan lagi.”
“Beberapa hari berikutnya, saya tanya tentang perkembangan kasus ini. Katanya belum ada kabar dari Polres. Tapi sampai sekarang saya tidak pernah dikabari,” kata Ratih, akhir Januari 2023.
“Kedua kalinya saya ke DP3A, mereka sedang rapat. Selesai rapat, katanya mau buang air kecil. Habis itu katanya dia mau ke Polres dulu. Setelah dari Polres, dia bilang belum ada keputusan. Disuruh lagi menunggu.”
Sekretaris DP3A Baubau, Fanti Frida Yanti, mengatakan pendampingan psikolog klinis baru dilakukan beberapa minggu belakangan, tapi dia tidak menyebut kapan waktu persisnya.
Disinggung mengenai lambannya penanganan korban kekerasan seksual, Fanti beralasan bahwa DP3A Baubau “keterbatasan kompetensi dan anggaran.”
Dino Rahia, psikolog klinis yang ditunjuk UPTD PPA Baubau untuk mendampingi korban, tidak memberikan tanggapan saat ditanya kapan mulai melakukan pendampingan.
Hal itu menguatkan dugaan pengacara korban, Safrin Salam dari Yayasan LBH Amanah Peduli Kemanusiaan, yang baru menjadi pengacara kedua anak Ratih sejak 3 Februari 2023.
Safrin berkata kliennya tidak didampingi psikolog klinis saat dimintai keterangan oleh penyidik Polres Baubau. Sehingga, keterangan korban sebagai subjek hukum pidana tidak sah secara hukum.
“Jika keterangan yang diminta oleh pihak berwajib dan konselor menganggap korban belum siap, maka korban belum bisa dimintai keterangan. Jika itu tidak dilakukan, ada pelanggaran etik oleh UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA),” kata Safrin.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Baubau, Wa Ode Muhibbah Suryani, saat dikonfirmasi via telepon pada 9 Maret 2023 mengenai progres pendampingan atas kasus ini, berkata tidak mau menjawab dengan alasan “sedang ada kedukaan.”
Kejanggalan Penyidikan Polisi
Beberapa hari setelah Ratih mengadu ke Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Baubau, Asrianto, seorang polisi wanita, dan seorang yang diduga petugas DP3A Baubau mendatangi rumah Ratih untuk meminta keterangan korban. Lalu, pada 10 Januari 2023, penyidik memeriksa saksi-saksi berbekal keterangan Ratih dan korban.
Pada 26 Januari, anak lelaki sulung Ratih dipanggil ke Polres Baubau untuk dimintai keterangan. Esoknya, Ratih kembali dimintai keterangan oleh penyidik. Di gedung kecil yang terletak persis di samping kantor Reskrim Polres Baubau, Ratih diinterogasi oleh sedikitnya lima polisi pria tanpa pendampingan penasihat hukum.
Di hari yang sama, Ratih dan anak-anaknya dibawa ke kompleks perumahan subsidi oleh tim penyidik. Di sana ada beberapa terduga pelaku. Dari dalam mobil, anak-anak Ratih diminta menunjuk pelaku.
“Mereka sudah cukur rambut. Anakku kebingungan,” kata Ratih.
Pada 28 Januari, Ratih dikejutkan kabar bahwa anak sulungnya telah ditahan setelah diperiksa dari pukul 20.00 sampai pukul 23.00.
Ratih yang tidak terima atas penahanan anaknya, sempat berdebat dengan penyidik. Ia meminta dipertemukan dengan anak sulungnya, tapi polisi tidak memberinya izin. Ia diberitahu polisi bahwa penahanan anak sulungnya dilakukan karena sudah mengaku sebagai pelaku. Polisi hanya memperlihatkan video pengakuan itu. Belum selesai menonton video itu, ponsel telah ditarik dari tangan Ratih.
“Saya khawatir karena anak ini sifatnya suka mengalah sama adik-adiknya. Saya tidak percaya dia pelakunya.”
Dugaan Polisi Merekayasa Tersangka
Pada 26 Januari itu, anak sulung Ratih mendapatkan panggilan dari Polres Baubau melalui ibunya. Ia yang tak tahu sama sekali alasan pemanggilannya, memutuskan ke Polres Baubau ditemani sang ibu dan dua adiknya.
Sampai di Polres Baubau, sekitar pukul 11.00, anak sulungnya ke lantai dua kantor Reskrim. Di sana, ia bertemu penyidik Rahmiyanti Ahmad dari Unit Pelayanan Perempuan dan Anak. Saat mengetahui anak sulung Ratih berusia 19 tahun, Rahmi berkata, “Sudah dewasa. Bisami tidak didampingi orangtua.”
Si anak sulung meminta ibunya pulang. Walau sempat ragu, Ratih akhirnya mengiyakan.
Setelahnya, penyidik Asrianto bertanya tentang kegiatan sehari-hari si anak sulung. Ia menjawab biasanya membantu ibunya berjualan sayur di pasar dari pukul 6.00 sampai pukul 19.00. Asrianto kemudian bertanya, “Kamu tahu apa masalahnya adikmu? Apa yang terjadi sama adikmu?”
“Kalau tidak salah saya dengar dari pembicaraan mamaku di pasar, pencabulan,” jawabnya. “Tapi saya tidak tahu detailnya bagaimana.”
Asrianto memastikan apakah ia mengetahui kapan pencabulan itu terjadi. Ia bercerita, pada akhir Desember 2022 sepulang dari pasar, ibunya marah karena adik bungsunya terluka di bagian paha. Saat menanyakan apa yang terjadi, ibunya tak menjawab. Saat itu ia tak tahu apa yang menimpa adiknya. Pemeriksaan ini selesai sampai pukul 14.00.
Dua hari kemudian, beberapa polisi menjemput anak sulungnya di pasar dan memintanya ikut ke Polres Baubau. Atas persetujuan Ratih, si anak sulung masuk ke mobil polisi.
Di tengah jalan, salah satu dari mereka berkata, “Kamu ini jangan terlalu kapatuli e (keras kepala). Kita tanya kamu, kamu jawab saja ya atau tidak.”
Mendengar itu, perasaannya tak enak.
Sampai di polres, si anak sulung dibawa ke gedung kecil di samping kantor Reskrim. Awalnya, ia ditanya mengenai kegiatan sehari-hari. Ia kembali menjelaskan seperti saat pemeriksaan pertama. Tapi, malam itu ia diminta menjelaskan secara rinci. Ia berkata tidak tahu.
“Masak kamu tidak tahu? Jangan kamu bohong,” kata seorang polisi.
Tidak lama kemudian, seorang polisi meminta ponselnya dan memeriksa isinya. “Oh sudahmi. Sudah dapatmi.”
Polisi itu berkata, “Ko bicara bae-bae e. Kalau tidak, saya pukul mulutmu. Saya kasih hancur gigimu. Kalau kita pukul kamu di sini tidak ada yang mau tolong kamu. Tidak ada siapa-siapamu di sini.”
“Apa yang sering kamu cari-cari di HP-mu?”
Anak sulung Ratih berkata biasanya membaca komik, menonton anime, dan menonton YouTube. Karena merasa malu, ia tidak menyebut juga membaca komik dewasa. Polisi kemudian mendesaknya mengakui perbuatannya.
“Ya, Pak. Saya baca komik-komik [dewasa] itu.”
Salah seorang polisi memukul meja dan berteriak, “Bukan itu. Apa yang kamu lakukan? Ah, kamu ini banyak mengelas.”
Setelah itu, ia disuruh menulis di kertas soal konten yang biasa dibaca dan ditontonnya lewat ponsel. Ia menulis beberapa judul komik serta anime dan saluran YouTube. Lagi-lagi, karena merasa malu, ia tidak menulis tentang komik dewasa dan pornografi.
“Sudah dia pelakunya. Bukti-bukti ada di HP-nya. Ko bicara bae-bae. Kalau tidak, saya tembak kakimu,” salah seorang polisi mengancamnya.
Lalu datang seorang polisi lain, mengambil gantungan baju dan mengarahkan ke mulutnya, “Bicara bae-bae. Kalau tidak, habis gigimu ini.”
Merasa takut atas ancaman-ancaman polisi itu, ia memilih mengaku sebagai pelaku. Lalu, polisi memintanya menjelaskan detail pencabulan itu. Ia makin pusing karena tak tahu persis apa yang dimaksud dengan “pencabulan”. Ia menerka-nerka, pencabulan sama dengan yang pernah dibacanya dalam komik dewasa. Bermodalkan pemahaman itu, ia menjelaskan perbuatan yang tidak dia lakukan kepada penyidik Rahmi.
Seorang polisi masuk lagi ke ruangan, mengambil hanger, lalu memukul ke mulutnya. Satu polisi lain berkata, “adami pisau,” sambil menodongkan ke dirinya dan menyuruhnya mengaku.
Selama pengakuan itu, ia lebih banyak mendapatkan pengarahan dari penyidik Rahmi. Ia baru tahu saat itu dari omongan polisi bahwa kemaluan adiknya sobek. Ia juga baru tahu saat itu bahwa adik perempuan pertamanya mengalami hal serupa.
“Saya tidak tahu dampak pengakuan itu ke saya akan sebesar ini. Saya pikir, kalau saya mengaku lalu minta maaf, saya dibebaskan. Jadi saya ikuti saja apa yang mereka bilang. Tidak lama kemudian, datang satu polisi, dia rekam pengakuanku sama Bu Rahmi. Lalu saya dengar suara mamaku di bawah.”
Rahmi lantas bertanya, “Kira-kira kalau mamamu tahu masalah ini, dia akan percaya atau tidak?”
Saya bilang, “Pasti tidak percaya. Saya yakin sekali karena mamaku yang paling tahu saya. Dia tahu saya dari pagi sampai sore di pasar. Mamaku yang selalu pulang ke rumah, bukan saya. Tetanggaku di pasar juga tahu bahwa saya selalu di pasar.”
“Setelah itu saya diborgol dan dibawa ke sel.”
Sehari setelah ditahan, ia bertemu ibunya. Polisi menekannya agar mengakui perbuatan itu ke ibunya. Namun, ibunya tidak percaya begitu saja.
“Mama tahu dari pagi sampai sore kamu di pasar,” kata Ratih, yang kemudian melihat putra sulungnya dibawa lagi ke sel.
‘Bukan Kakak Saya Pelakunya’
Kedua putri Ratih secara konsisten berkata bahwa pada 24 Desember 2022, mereka baru bertemu kakaknya sekitar pukul 20.00 karena kakaknya seharian menjual sayur di pasar bersama sang ibu.
Tiga pedagang tetangga lapak jualan sayur di pasar juga menguatkan kesaksian anak-anak Ratih.
Seorang pedagang berkata: “Saya lihat dia dari 7.30 di pasar. Saya pulang dia belum pulang. Hari-hari lain begitu juga. Mamanya yang sering kasih tinggal jualan itu. Kalau dia di sini terus. Waktu tanggal 24 Desember itu, dia tidak ke mana-mana. Dia sayang sekali sama adik-adiknya. Biar dia tidak makan yang penting adik-adiknya makan. Kalau dia beli kue di pasar sini, biarmi dia tidak makan yang penting adik-adiknya makan. Menurut saya, dia itu anaknya jujur.”