CACAT HUKUM PENGESAHAN PERPU CIPTA KERJA

Pembangkangan Konstitusi Pengesahan Perpu Cipta Kerja

Pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja merupakan bukti nyata adanya pembangkangan konstitusi. Bukan hanya terang-terangan menabrak norma pembentukan peraturan perundangan, Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah juga sudah tidak malu-malu lagi melanggar konstitusi dengan memaksakan aturan yang cacat formil sejak lahir.

Setelah DPR tak mengesahkannya menjadi undang-undang pada masa sidang ketiga, pertengahan Februari lalu, perpu tersebut sebenarnya sudah batal demi hukum. DPR baru mengesahkan perpu itu melalui rapat paripurna masa sidang keempat pada 21 Maret lalu. Dari sembilan fraksi, hanya dua yang menolak, yakni Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera. Adapun Presiden Jokowi meneken dan menyerahkan perpu itu ke Dewan pada 30 Desember 2022.

Dari sisi waktu, pengesahan itu tidak sah karena kedaluwarsa. Berdasarkan Pasal 22 ayat 2 Undang-Undang Dasar juncto Pasal 52 ayat 1 Undang-Undang tentang Penetapan Perpu, sebuah perpu bisa sah menjadi undang-undang jika disetujui DPR pada masa sidang berikutnya setelah rancangannya diserahkan kepada wakil rakyat. Jika tidak mendapat persetujuan dalam jangka waktu itu, perpu tersebut harus dicabut. Jadi, pengesahan Perpu Cipta Kerja pada sidang keempat jelas cacat hukum. Tapi, seperti sudah kehilangan urat malu, DPR dan pemerintah tetap mengesahkan perpu tersebut.

Persetujuan DPR terhadap Perpu Cipta Kerja menjadi undang-undang merupakan tindakan terbuka melawan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Dengan pengesahan tersebut, Dewan menghilangkan obyek Putusan MK Nomor 91/PUU-XVII/2020, yaitu perbaikan terhadap pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja. 

Dalam putusannya, MK menyatakan undang-undang tersebut cacat formil dan dinyatakan inkonstitusional bersyarat atau bertentangan dengan konstitusi jika dua tahun tak direvisi. Alih-alih mematuhi putusan MK, Presiden Jokowi memilih jalan pintas dengan menerbitkan perpu. Padahal sejumlah syarat penerbitan perpu, seperti kegentingan yang memaksa, tak terpenuhi. Dewan seharusnya menolak perpu ini karena merupakan bentuk pengkhianatan terhadap putusan MK, bukan justru menyetujuinya.

Perumusan omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja hingga akhirnya terbit perpu menunjukkan wajah otoritarianisme pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam praktik legislasi. Partisipasi publik dikekang dan suara masyarakat tak didengarkan. Alih-alih menggodoknya bersama publik, pembahasan produk legislagi tersebut sangat tertutup dan terkesan kejar tayang. Bahkan para akademikus, mahasiswa, serta aktivis yang kritis terhadap pembahasan rancangan Undang-Undang Cipta Kerja malah mendapat serangan siber. Salah satunya dialami Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI), Fajar Adi Nugroho. Penerbitan Perpu Cipta Kerja juga terkesan tiba-tiba dan waktunya di pengujung tahun. Sangat disayangkan, praktik otoritarianisme seperti ini didukung oleh wakil rakyat.

Presiden dan DPR seperti mengulang masalah pembentukan omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja dengan tidak memberikan ruang partisipasi publik yang bermakna dalam pengesahan perpu. Padahal konstitusi sudah jelas mengatur bahwa partisipasi publik yang bermakna harus dilakukan dalam tahapan pengajuan rancangan undang-undang. Dalam putusan MK, tak adanya unsur ini menjadi salah satu pertimbangan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja cacat formil. Praktik culas ini terulang dalam penerbitan hingga pengesahan perpu. Ada kesan pemerintah dan Dewan hendak memaksakan aturan demi kepentingan mereka semata. 

Jalan satu-satunya mengoreksi hasil pengesahan Perpu Cipta Kerja yang secara substansi bermasalah dan cacat prosedural ini adalah mengajukan uji materi ke MK. Kendati ada krisis kepercayaan terhadap kondisi MK saat ini—yang independensi dan kredibitas sejumlah hakimnya tengah disorot, salah satunya dalam kasus pengubahan putusan pencopotan hakim konstitusi Aswanto—langkah uji materi harus tetap dilakukan. Kita berharap masih ada hakim konstitusi yang waras untuk menganulir undang-undang sapu jagat jilid kedua tersebut. 

(Sumber: Editorial Koran Tempo, 24/3/2023)

Baca juga :