Revitalisasi Teori Radikalisme Usang
Oleh: Ahmad Dzakirin (Pengamat Politik Dunia Islam)
Dalam seminar kebangsaan, kepala BNPT, Boy Rafli Amar mengungkapkan ada pihak terafiliasi kelompok terorisme masuk menjadi anggota partai politik. (13/3/2023)
Untungnya, parpolnya tidak lolos verifikasi, sembari mengingatkan agar kelompok intoleran tidak memiliki kesempatan membuat partai baru karena seperti dikutip CNN, strategi from bullets to ballots (dari peluru menuju kotak suara) menjadi siasat kelompok intoleran masuk ke dalam sistem demokrasi.
Pertanyaanya, dari mana Pak Boy Rafli membuat kesimpulan seperti itu?
Sebagai pengamat politik, ingatan saya tidak pelak terlempar ke 15 tahun silam. Usai pemilu 2004, jagat politik di tanah air gempar oleh konfigurasi baru politik. PKS, partai yang mungkin diasosiasikan sekarang sebagai partai radikal dan intoleran memperoleh suara 7,45 persen, meloncat dari sebelumnya hanya 1,36 persen pada 1999.
Tidak pelak, pelbagai pengamat dan jurnalis asing berdatangan ke Indonesia menelisik partai pendatang baru yang didominasi kalangan muda ini pada waktu (sekarang tidak lagi). Mayoritas kesimpulannya negatif dan berbahaya, sebagaimana arus utama mereka yang melihat secara negatif dan berbahaya geliat Islamisme di dunia Islam.
Dimulai dari Olivier Roy pada 1994, yang menulis "The Failure of Political Islam". Simpulnya, kalangan Islamis akan mengalami kegagalan karena cara pandangnya yang lebih "Moral oriented, namun miskin program politik dan agenda ekonomi."
Seiring bangkitnya, PKS, pada 2006, Zachari Abuza menulis "Political Islam and Violence in Indonesia", yang membuat kesimpulan gegabah. Mengutip Sapto Waluyo, Zachari secara implisit menempatkan PKS, sebagai salah satu varian dari kelompok Islam politik, yang memiliki agenda tersembunyi untuk mendirikan negara Islam di Indonesia, bahkan lebih jauh lagi menghidupkan kembali kekhalifahan regional di Asia Tenggara.
PKS dimasukkan dalam kotak yang sama dengan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), bahkan Al-Jamaah al-Islamiyah (JI). Dalam amatannya, PKS hanya berbeda dari segi taktik dengan kelompok radikal karena tidak memakai cara-cara kekerasan.
Selanjutnya dalam perspektifnya yang lebih pop-culture, Sadanand Dhume, mantan wartawan The Asian Wall Street Journal dalam "Indonesian Democracy' Enemy Within" lebih jauh menstigmatisasi PKS sebagai "musuh demokrasi Indonesia dari dalam".
Dari konstruksi dialah, istilah strategi "from Bullet to Ballot" diperkenalkan. Katanya, penyusupan kelompok Islamis dalam praktik demokrasi lebih berbahaya karena sublim ketimbang kelompak radikal yang terang-terangan mengangkat senjata, seperti Al Qaedah dan Jamaah Islamiyah.
Persepsi yang meneguhkan ancaman Islamisme kemudian secara sistematik diamplifikasi di seluruh dunia oleh pelbagai pengamat dan lembaga think tank arus utama di ibukota-ibukota besar dunia, tidak peduli persepsi tersebut terbukti benar atau sebaliknya, dusta dan penuh rekayasa.
Pertanyaannya, hampir seperempat abad reformasi telah berlalu, namun pisau analisis kita, Islamisme sebagai ancaman, tidak pernah berubah. Apakah seperti itu, pak?
(fb penulis)