Bisikan Partner
30 tahun lagi publik baru akan tahu: apakah kunjungan Xi Jinping ke Rusia Senin pagi ini sudah diinformasikan ke Amerika (atau tidak).
Langkah Presiden Tiongkok itu begitu sensitif. Jinping ke Rusia di tengah suasana perang Rusia-Ukraina. Juga hanya tiga hari setelah Putin diputuskan sebagai penjahat perang yang harus ditangkap.
Presiden Rusia itu, Vladimir Putin, juga harus diajukan ke pengadilan internasional. Di Den Haag, Belanda. Kini Putin tidak bisa ke luar negeri. Ia bisa langsung ditangkap dan dibawa ke Belanda.
Tentu Rusia tidak mengakui keberadaan pengadilan internasional itu. Amerika Serikat sama saja: juga tidak mengakuinya.
Masih banyak negara lain yang tidak mengakui. Termasuk, Tiongkok, Iraq, dan Israel. Indonesia mengakui dan aktif di dalamnya.
Ada contoh di tahun 1999: Presiden Serbia Slobodan Miloลกeviฤ dinyatakan sebagai penjahat perang oleh pengadilan Den Haag tersebut. Ia diperintahkan untuk ditangkap. Tiga tahun kemudian Milosevic diadili.
Hakimnya 20 orang dari berbagai negara. Sidang itu berlangsung selama 2 tahun. Putusannya: Milosevic dinyatakan bersalah. Ia mendalangi perang di Kosovo dan melakukan pembunuhan masal terhadap lawan politik.
Dua tahun kemudian Milosevic ditemukan meninggal dunia. Di kamar tahanannya di Den Haag. Ia dinyatakan meninggal mendadak akibat serangan jantung. Umurnya, saat itu, 64 tahun.
Milosevic awalnya menjabat presiden Yugoslavia. Ketika negara itu terpecah-pecah ia menjabat presiden Serbia.
Putin bisa bernasib sama. Kalau akan keluar negeri ia harus yakin bahwa negara tujuan akan melindunginya.
Kalau kunjungan Jinping ke Rusia besok pagi itu tanpa memberi tahu Amerika lebih dulu, harus dicatat sebagai langkah yang luar biasa berani. Untuk berkunjung ke suatu negara penting, biasanya diberitahukan ke sahabat baik. Agar tidak menimbulkan sangkaan negatif.
Saya yakin Jinping juga memberi tahu Amerika. Lewat jalur rahasia. Jinping bisa beralasan kunjungannya ini sebagai misi perdamaian. Yakni akan meyakinkan Putin perlunya menghentikan perang.
Minggu kemarin Tiongkok mengutus menteri luar negerinya ke Ukraina. Tentu sang Menlu sudah lapor Jinping mengenai hasil pertemuannya dengan presiden Ukraina. Lalu hasil itu dibawa Jinping ke Putin.
Tiongkok selalu mengumandangkan pentingnya dialog untuk mengatasi ketegangan. Lewat dialog itu Tiongkok baru saja mencarikan jalan keluar atas ketegangan Iran dan Arab Saudi. Keduanya bersepakat di Beijing: membuka hubungan diplomatik kembali dalam dua bulan.
Amerika bisa saja curiga: Tiongkok justru akan menguatkan hubungannya dengan Rusia. Dalam kunjungan ke Beijing dua tahun lalu Putin menyatakan hubungan Tiongkok dan Rusia adalah hubungan sahabat segala musim. Dua bulan setelah itu Putin menyerbu Ukraina. Maka ada yang berspekulasi bahwa Putin sudah membisikkan rencana serangan itu ke Jinping. Maka Tiongkok sampai sekarang tidak mau mengecam perang itu. Sikap Tiongkok resminya netral, tapi Barat menilainya pura-pura.
Bahkan ada anggapan jangan-jangan Jinping ke Rusia melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan Putin di Beijing: berbisik bahwa dua bulan lagi akan menyerang Taiwan.
Rasanya itu tidak mungkin. Merayu Putin untuk mengakhiri perang lebih masuk akal. Tiongkok ingin menunjukkan, sekali lagi, bahwa dialog akan lebih menyelesaikan masalah daripada saling ancam.
Kalau saja misi Jinping seperti itu, dan berhasil, maka Tiongkok benar-benar telah menjadi pemimpin dunia yang baru. Dengan senjata dialognya. Bukan senjata perangnya.
Berhenti perang, itulah yang diharapkan dunia. Kalau tidak, maka dua tahun lagi pun perang masih akan terus berlangsung. Rusia tidak mau kalah. Amerika juga tidak mau kalah. Tapi keduanya juga tidak mau perang habis-habisan. Agar cepat selesai: siapa pun yang menang.
Rasanya tidak akan ada perang besar-besaran. Itu akan berkembang tidak terkendali. Masing-masing punya senjata nuklir.
Maka perang ini akan terus berlangsung secara begitu-begitu saja. Kecil-kecilan. Sampai ada juru damai yang bisa menghentikannya. Tiongkok punya modal untuk itu. Baik terhadap Rusia maupun Ukraina.
Teman saya, pengusaha, juga ingin agar perang di Ukraina cepat selesai. Ia punya kepentingan sendiri. Pribadi. Soal bisnis.
Tanahnya, sekitar 20 hektare, disewa perusahaan patungan antara orang Rusia dan orang Ukraina. Dua orang itu punya saham yang sama besar.
Mereka sudah membangun pabrik. Sudah mendatangkan mesin-mesin. Sudah selesai. Mesin sudah dites. Pun sudah mulai berproduksi kecil-kecilan. Tinggal memperlancarnya.
Hasil produksinya nanti akan diekspor ke Rusia dan Ukraina. Sudah pula sekali dilakukan ekspor itu. Sukses.
Lalu terjadilah perang di Ukraina. Keduanya, ikut bertengkar di Indonesia. Keduanya tidak bisa damai. Keduanya pulang ke negara masing-masing. Sampai sekarang. Tidak kembali. Atau belum.
Pabriknya ditutup begitu saja. Karyawannya sudah setahun tidak mendapat kejelasan.
Saya minta agar teman saya ikut mencari kontak mereka. Harus ada kejelasan bagaimana dengan pabriknya yang di Indonesia itu.
Perang ternyata juga menyebabkan dua orang partner bisnis ikut jotakan. Padahal uang itu, katanya, tidak beragama dan tidak punya batas negara.
(Oleh: Dahlan Iskan)