"Baju" Amien Rais dan Anis Matta
Oleh: Mohammad Hidayaturrahman*
(Dosen FISIP Universitas Wiraraja, peneliti di Center for Indonesian Reform)
Saya tertarik menulis dua tokoh ini karena memiliki banyak persamaan maupun perbedaan. Saya memulainya dari kesamaan keduanya tersebut dulu, setelahnya saya akan menulis perbedaan mereka. Amien Rais dan Anis Matta sama-sama tokoh Islam, bahkan dibesarkan dari rahim organisasi Islam terbesar di Indonesia, yaitu Muhammadiyah. Amien Rais bahkan pernah menjadi tokoh sentral di pimpinan pusat Muhammadiyah pada masanya.
Anis Matta juga dibesarkan dari pusat pendidikan dan pengkaderan Muhammadiyah di Sulawesi Selatan bernama Darul Arqom. Anis juga pernah menjadi anggota majelis hikmah di Muhammadiyah. Keduanya, Amien Rais dan Anis Matta, juga sama-sama menjadi tokoh dan aktivis pendidikan, paling tidak sejak tahun 90-an. Amien Rais dikenal sebagai aktivis mulai dari kampus, bersama dengan Imaduddin Abdurrahim atau biasa dikenal dengan sebutan Bang Imad.
Amien Rais adalah salah satu pendidik yang mengajar bahkan sampai ke negeri jiran. Begitu pula dengan Anis Matta, juga dikenal sebagai tokoh aktivis yang banyak terlibat di dalam kegiatan dakwah kampus. Amien dan Anis sama-sama terlibat di dalam kegiatan keagamaan dalam bentuk ceramah-ceramah agama. Amien banyak mengisi mimbar Jumat di beragai daerah di Indonesia, Anis terlibat dalam mengisi pengajian-pengajian di berbagai forum. Ceramah dan pidato keduanya digandrungi oleh para mahasiswa kala itu. Amien digandrungi dengan pidato politiknya, Anis digandrungi karena ceramah asmaranya.
Pada saat reformasi bergulir, Amien Rais menjadi salah satu tokoh sentral yang terlibat aktif di dalam mendorong terjadinya reformasi di Indonesia. Saat itu, Amien sering menyampaikan pentingnya suksesi kepemimpinan di Indonesia setelah Soeharto terpilih kembali pada Pemilihan Umum 1997. Bahkan Amien yang getol menyuarakan "madeg pandita" bagi Soeharto yang dianggap sudah terlalu lama memimpin Indonesia, sekira 32 tahun.
Amien pula rajin berkeliling ke kampus-kampus di berbagai wilayah Indonesia menyuarakan tuntutan reformasi. Anis Matta bersama rekan-rekannya sesama aktivis kampus juga ikut terlibat di dalam mendukung reformasi di Indonesia, melakukan aksi unjuk rasa menuntut supaya reformasi dilakukan. Tuntutan reformasi yang digelorakan oleh Amien dan Anis bersama kawan-kawannya kemudian membuat lengser Soeharto pada Mei 1998.
Pascareformasi, Amien Rais dan Anis Matta sama-sama menjadi aktivis politik. Amien mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN). Sebagai salah satu tokoh Islam waktu itu, Amien seperti "digugat" oleh banyak kalangan Islam, mengapa mendirikan partai yang tidak berasaskan Islam. Amien tegas menjawab bahwa "baju Islam" terlalu sempit untuk menjadi dasar gerakan politik formalnya. Amien kemudian terpilih menjadi Ketua MPR pada tahun 1999-2004.
Anis Matta Bersama teman-temannya sesama aktivis kampus kemudian mendirikan Partai Keadilan yang berganti nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Anis pernah menjadi sekretaris jenderal dan ketua umumnya. Pada Pemilihan Umum 2009 Anis terpilih menjadi anggota sekaligus menjadi Wakil Ketua DPR periode 2009-2014. Amien dan Anis sama-sama keluar dari partai politik yang didirikannya. Amien keluar dari PAN, dan Anis keluar dari PKS yang ikut didirikannya.
Amien dan Anis kemudian mendirikan partai politik baru yang telah lolos dan dinyatakan sebagai peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Perbedaan antara Amien Rais dan Anis Matta saat ini adalah, Amien yang dulunya menjadi pendiri dan bergabung di partai nasionalis, kemudian mendirikan partai Islam, yaitu Partai Ummat. Sedangkan Anis dulunya adalah pendiri dan bergabung di partai Islam sekarang mendirikan partai nasionalis, Partai Gelora.
Tentu keduanya punya alasan tersendiri memilih jalan berbeda antara masa lalu dan masa kini. Tentu saja yang tidak bisa dibantah di dalam politik adalah alasan kepentingan. Salah satu alasan kepentingan terkuat di dalam politik adalah kepentingan untuk meraih kekuasaan. Amien dengan partai barunya yang berasas Islam, dan Anis dengan partai barunya berasas Pancasila, tentu ingin menang pada Pemilu 2024 dan mendapat kekuasaan.
Kepentingan kekuasaan di dalam politik sudah diramal oleh Laswell, yaitu siapa mendapatkan apa, bagaimana, dan kapan kekuasaan itu diraih (who gets what, how, and when). Pemilu 2024 dianggap menjadi momen penting bagi tokoh politik untuk tampil, sebab peluang bagi partai politik untuk ikut berkompetisi memang terbuka pada momen lima tahunan. Selain itu, kekuatan partai politik di Indonesia sebelum 2024 dianggap relatif berimbang satu sama lain.
Meski ada partai politik yang mendapat suara dan kursi lebih banyak, namun dalam menjalankan kekuasaan terjadi kerja sama di parlemen dan di kabinet yang sering disebut dengan koalisi, terutama dalam hal jatah kursi menteri. Partai politik pada pemilihan umum (pemilu) bisa tidak mendapat kursi sama sekali, karena ketatnya syarat ambang batas perolehan suara di parlemen (parliamentary threshold) sebesar empat persen.
Banyak partai lama yang dirilis lembaga survei tidak lolos, apalagi partai baru. Namun hal tersebut tentu tidak menghalangi partai politik baik yang lama maupun yang baru untuk mendapat kekuasaan, yaitu berupa jatah kursi di kabinet, bila pasangan calon presiden dan wakil presiden yang didukung menang para pemilihan presiden yang dilaksanakan secara serentak dan bersamaan dengan Pemilu 2024.
Akhirnya, selamat mengenakan "baju yang sempit" untuk Amien Rais dan "baju yang longgar" untuk Anis Matta. Seperti yang keduanya tahu dan pahami, baik baju yang sempit maupun baju yang longgar berada di dalam pasar demokrasi yang semakin ketat, permisif, transaksional, dan pragmatis. Siapa di antara keduanya yang mampu "menjual" bajunya ke pasar, dan diterima secara luas oleh pasar? Tentu tidak mudah.
Bersaing di pasar baju sempit, Amien Rais dan kawan-kawan akan bersaing ketat dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB), dan PKS. Sedangkan pada pasar baju longgar, tidak mudah bagi Anis Matta dan kawan-kawannya, karena tentu akan bersaing dengan pemain lama dan pemilik pasar besar, seperti PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Nasdem, Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan PAN.
Amien dan Anis perlu belajar banyak dari Muhammad Yunus di Bangladesh. Meski Yunus menjadi tokoh yang berhasil dalam perjuangan di bidang ekonomi, bahkan menjadi peraih Nobel Perdamaian 2006, namun Yunus pada 2007 gagal memimpin partai yang didirikannya yaitu Partai Kekuatan Warga (Nagorik Shakti) karena kurangnya dukungan rakyat.
Keduanya juga perlu belajar dari Sutan Sjahrir, tokoh terkenal pada masanya, pernah menjadi Perdana Menteri dan penasihat Presiden Soekarno. Sjahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI), kemudian partainya dibubarkan, karena banyak pengurus dan kader partainya yang terlibat dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) pada 1960.
*Sumber: Detikcom