ANTARA ISLAMOPHOBIA DAN ISU ESG
Oleh: M Arief Pranoto
Simbol itu sesuatu hal atau mengandung maksud tertentu. Bisa juga dimaknai penyampaian pesan secara tak langsung. Semacam isyarat. Keduanya, baik simbol maupun isyarat merupakan bahasa tanpa bunyi. Ia hanya dimengerti oleh entitas tertentu, tidak semua orang bisa menterjemahkan simbol dan isyarat.
Nah, simbol alias isyarat politik yang diusung Dubes AS dalam kunjungannya ke Markas PKS, contohnya, tergolong bahasa simbol. Konkret isyaratnya seperti apa? Ya. Bahwa 'Islam kini bukan lagi musuh Barat'. Itu poin pokoknya. Hal ini sejalan dengan Resolusi PBB yang menetapkan tanggal 15 Maret sebagai Hari Internasional Menangkal Islamophobia.
Kenapa PBB mengeluarkan resolusi terkait antiislamophobia, menangkal kebencian berlebih terhadap Islam?
Islamophobia ialah bentuk lain rasisme yang mewujud dalam beragam bentuk di dunia. Dan sejak terbitnya Resolusi PBB dimaksud, islamophobia sebagai isu yang diproduksi oleh AS cq George Bush Jr sejak peristiwa 9/11 di New York (2001), kini agak mereda dan Barat mulai 'berdamai' dengan isu islamophobia.
Apakah kunjungan Dubes AS ke PKS terkait isu antiislamophobia, juga sehubungan pagelaran copras-capres pada 2024?
Saya berani pastikan: "Ya!". Selain merupakan kampanye politik antiislamophobia ala AS, juga di mata superpower -- Indonesia terlalu sexy jika dibiarkan sendirian berlenggak-lenggok di catwalk (panggung) global.
Dan agaknya, dinamika politik tanah air hari ini, masih mencerminkan konstelasi dimaksud, bahwa Indonesia adalah 'papan catur' alias medan pertempuran secara asimetris (proxy war) antara Adidaya Timur cq China melawan Adidaya Barat cq AS.
Lingkungan strategis memang tak harus ditelan mentah-mentah, tetapi mutlak dikunyah-kunyah terlebih dulu.
Isu ESG misalnya, ini isu baru di dunia bisnis dan investasi terkait Environmental, Social dan Governance (ESG). Isu ESG mengacu pada faktor-faktor lingkungan, sosial dan tata kelola yang dipakai oleh investor dan stakeholders untuk menilai kinerja perusahaan. Semakin para stakeholders dan investor mempertimbangkan faktor ESG saat pengambilan keputusan, maka ia dinilai dapat memiliki kinerja yang lebih baik. Demikian singkatnya.
Tampaknya, isu ESG kini sudah merambah ke dunia geopolitik kendati banyak negara kurang memperhatikan. Gilirannya, pengabaian terhadap isu dimaksud justru berisiko negara yang bersangkutan ditinggal oleh para investor.
Gagalnya investasi Tesla di Indonesia, ini salah satu contoh, kuat diduga akibat isu ESG terabaikan. Kenapa? Larry Fink, CEO Blackrock, telah menginstruksikan pada jajaran CEO dimana Blackrock berinvestasi pada perusahaan di pelbagai belahan dunia ---termasuk Elon Musk, pemilik Tesla--- agar menerapkan ESG Compliance. Atau, Blackrock bakalan mundur dari perusahaan tersebut?
Blackrock adalah perusahaan aset manajemen terbesar di dunia pimpinan Larry Fink. Boleh dibayangkan, nilai asetnya saja hanya kalah dari GDP-nya China dan Amerika (AS). Nah, sebagian saham Tesla itu dimiliki oleh Blackrock, dan semua investasi Blackrock harus ESG Compliance. Zero komplain.
Jadi, selama tambang nikel di Indonesia dikerjakan dengan tidak ramah lingkungan alias merusak alam, maka jangan berharap Tesla mau masuk Indonesia. Mimpi. Sebab, isu ESG kuat dianut oleh jajaran Tesla sesuai 'arahan' Larry Fink, CEO Blackrock.
Contoh lain. Gubernur NTT Viktor Laiskodat, misalnya, kemungkinan ---sekali lagi, ini mungkin ya--- Laiskodat coba mengakomodir Resolusi PBB dan isu ESG dengan meyerap syariat umat mayoritas (muslim) di Indonesia yang terbiasa bangun dini hari (sebelum subuh). Mungkin, ia hendak berpikir global bertindak lokal. Namun, wacana kebijakan sekolah dimulai jam 05.00 menuai kontroversi di publik. Kebablasan. Saya bukan pro, tak pula kontra atas wacana Gubernur Laiskodat, namun sebatas mengamati fenomena di NTT berbasis isu ESG dan Resolusi PBB. Tak lebih.
Mengakhiri ulasan, catatan ini hanya clue kecil guna membaca isu-isu strategis dan simbol politik yang dilempar oleh para elit di ruang publik, sekaligus mengamati jejak para kandidat 2024, siapa capres yang diplot oleh Barat, dan/atau siapa didukung China dalam pemilu mendatang, kalau memang ada pemilu.
Let them think let them decide!
Jakarta, 7 Maret 2023
(*)