[Catatan: Agustinus Edy Kristianto]
Siapa saja yang menganggap Jokowi adalah pemimpin yang menumbuhkan harapan, rasanya kudu berpikir ulang. Coba perhatikan berita satu-dua tahun terakhir. Bisa jadi ia adalah pemimpin di dunia yang paling sering mengungkapkan kengerian.
Semuanya ngeri!
Covid-19 ngeri. Dipanggil Bawaslu ngeri. Resesi 2023 ngeri. Perubahan iklim ngeri. 42 negara katanya ambruk, ngeri. Perang ngeri. Terakhir, Silicon Valley Bank (SVB) cs bangkrut, ngeri. Credit Suisse gonjang-ganjing, ngeri.
Sebetulnya dunia tak semengerikan itu. Anda bisa baca salah satunya buku “Factfulness” (2018) yang dibikin Hans Rosling. Bill Gates menyebut buku itu adalah panduan yang diperlukan untuk berpikir secara jernih tentang dunia. Di situ ada banyak statistik yang menunjukkan kemajuan pencapaian manusia dalam berbagai bidang selama bertahun-tahun.
Indonesia juga tak semengerikan itu. Pejabat eselon masih bisa rangkap jabatan Komisaris BUMN berpenghasilan puluhan miliar; eselon III Pajak punya deposit Rp37 miliar; menantu presiden bisa pamer Hermes dll; bungsu presiden yang masih belia bisa beli saham PMMP Rp188 miliar; pejabat dan keluarganya bisa pamer harta…
Perbankan Indonesia juga aman-aman saja, tetap seperti biasanya menjadi sahabat segelintir orang superkaya yang memiliki gunungan aset sebagai kolateral dan tetap untung selama pandemi dari bunga—buktinya ada bank BUMN masih bisa kasih tantiem Rp13 miliar buat komisaris yang merangkap pejabat eselon kementerian selama pandemi.
Covid-19 tak mengerikan sebab penyelenggara negara justru mengalami kenaikan harta selama pagebluk. Lihat contohnya di status saya sebelumnya tentang pertambahan harta para pejabat Kemenkeu dan guyuran penghasilan sampingan sebagai komisaris BUMN.
Mengapa SVB hingga Credit Suisse goyang, Anda bisa baca di berbagai sumber. Tapi satu yang saya sering tekankan dari dulu adalah tentang bisnis unicorn—yang dulu jadi andalan Jokowi ketika kampanye.
Unicorn sekarang menjelma popcorn bin remah-remah jagung. Dari luar terlihat wah tapi fundamental bisnisnya rapuh. Mereka pandai membesar-besarkan valuasi agar menarik investor atau perbankan kasih uang. Gaya hidup dan penghasilan eksekutifnya selangit sehingga terlihat menggiurkan sekali di hadapan netizen. Mereka bakar duit. Mereka tidak pernah untung sejak didirikan hingga sekarang. Mereka terjerat kasus penipuan (Theranos, misalnya).
Bank bangkrut hal biasa. Duitnya habis. Kenapa habis, bisa karena kreditnya macet, orang tidak percaya lagi tanam duit di situ, dsb. Kenapa orang tidak percaya, banyak alasannya. Tapi yang jelas ada faktor penting di balik kebangkrutan bank-bank itu, yaitu adanya kesalahan internal perusahaan di mana risiko bisnis tidak diamati secara seksama (Kompas, 17/3/2023).
SVB mampus karena banyak membiayai bakar uang start-up teknologi yang adalah bisnis berisiko tinggi. “Aksi bakar uang tetap dua kali lebih tinggi daripada level sebelum 2021 dan para nasabah tak menyesuaikan diri dengan pendanaan yang sudah merosot,” kata pihak SVB (CNBC, 9/3/2023).
Pemodal ogah tanam duit di bank yang bakar uang begitu dan logis saja memilih berpindah ke bank atau instrumen lain yang menjanjikan untung lebih besar dengan risiko lebih kecil.
Tapi BUMN Indonesia agak lain.
Wahai Presiden Jokowi, ngeri Anda terlalu jauh mainnya. Lihat yang dekat dan nyata saja: skandal GOTO.
Kok Anda tidak bilang NGERI?
BUMN yang menurut UU seharusnya membantu pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat malah membantu perusahaan milik konglomerat kakak Menteri BUMN sendiri, yaitu GOTO sebesar Rp6,4 triliun. Duit sebesar itu bisa dipakai untuk membantu orang-orang miskin, seperti anak di Lampung yang menangis di makam bapaknya karena dagangan kuenya belum laku.
BUMN telekomunikasi lewat anak usahanya kasih pinjaman tanpa bunga yang kemudian dikonversi saham GOTO—perusahaan start-up yang sejak didirikan hingga sekarang rugi dan tidak bisa menjamin untung di masa depan; rugi terakhir per September 2022 sebesar Rp20 triliun dan rugi akumulatifnya hampir Rp100 triliun; sahamnya anjlok saat ini di kisaran Rp119; kerugian tercatat di laporan keuangan konsolidasi TLKM akibat investasi di GOTO itu mencapai Rp3 triliun lebih.
Lebih ngerinya lagi, pembantu presiden itu, yang seharusnya diperiksa karena dugaan afiliasi dan konflik kepentingan akibat transaksi tersebut, malah seperti ‘dibaptis’ sebagai anggota keluarga ‘kerajaan’ dengan menjadi ketua panitia pernikahan si bungsu; didukung sebagai ketua umum PSSI yang katanya akan memberantas mafia bola; dan—mungkin jika harga susunya cocok—dielus sebagai calon pilihannya di 2024.
Salam Ngeri.
(Agustinus Edy Keistianto)