"Surat" untuk Nenek Megawati
Oleh: M. Zainal Muttaqin
Sebenarnya emak-emak tidak perlu sewot mendengar celotehan Mega. Maklumlah nenek-nenek memang begitu. Kadang bicaranya tidak terkontrol.
Nenek merupakan kata yang sarat makna dan ungkapan cinta dari anak cucu. Istilah bahasa Indonesia untuk ibu dari ayah dan ibu kita atau bibi dari ayah dan ibu. Nenek adalah sosok wanita yang kenyang pengalaman hidup, sehingga umumnya arif dan bijaksana.
Setiap daerah punya panggilan khas masing-masing, ada yang menyebut Nyai (Betawi), Nini (Sunda), Mbah Putri (Jawa), Anduang atau Amma' (Padang), dan lain-lain. Apapun panggilannya semua mengisyaratkan rasa cinta dan hormat.
Berlibur ke rumah nenek dan kakek adalah idaman para cucu. Penulis sendiri saat kecil paling senang kalau berlibur ke rumah Abah dan Ipih (panggilan kami untuk nenek tercinta). Di Sana kami bisa naik delman sepuasnya, minum kelapa muda, riungan bersama kerabat sembari menyantap ikan bakar, pepes ikan mas atau goreng ayam kampung. Tentu saja sayur, lalapan, pete dan sambel. Pokoknya maknyuuss.
Nenek umumnya berusia 50 tahun ke atas, meski ada juga yang sudah bercucu di usia empat puluhan tahun. Di usia lebih dari 76 tahun, memiliki sejumlah cucu lelaki dan perempuan, maka tepatlah kalau kita memanggil mantan presiden Megawati dengan sebutan nenek.
Bernama lengkap Diah Permata Megawati Setiawati Soekarnoputri, kelahiran 23 Januari 1947, menjadi Ketua Umum Parpol terlama di Indonesia saat ini. Mantan Wakil Presiden 1999-2001 itu memimpin PDIP sejak partai itu didirikan 10 Januari 1999 di Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Berkali-kali Munas, Sekjen dan petinggi partai silih berganti, tapi bosnya tetap Mega.
Baru-baru ini nenek Mega membuat heboh publik. Dia mengaku heran dengan kelakuan emak-emak Indonesia yang doyan bener pengajian. "Kenapa toh seneng buanget ikut pengajian" celoteh nenek Mega saat jadi pemateri di acara BKKBN. "Maaaaf beribu maaf, saya sampai mikir gitu, iki pengajian iki sampai kapan toh yo. Anakke arep diapakke" sambungnya lagi.
Sebenarnya emak-emak tidak perlu sewot mendengar celotehan Mega. Maklumlah nenek-nenek memang begitu. Kadang bicaranya tidak terkontrol. Nenek saya juga begitu, omongannya susah dimengerti dan membuat anak cucunya senyum senyum sendiri. Maklum faktor U.
Bahkan omongan nenek yang suka ngelantur itu jadi penyedap obrolan dalam rariungan. Tapi itu omongan di ruang terbatas bersama anak cucu.
Masalahnya, Mega tidak bicara di depan anak cucu. Dia pidato di depan acara prestisius sebagai pemimpin politik dan Ketua Dewan Pembina BPIP dan pernah menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Tentu saja ocehan itu sontak bikin heboh.
Emak-emak yang dianggap nenek Mega tidak sempat urus anak karena terlalu doyan pengajian, boleh jadi memang berpendidikan rendah. Tapi nenek Mega lupa merekalah ibu dari orang-orang besar negeri ini, dulu dan sekarang. Mereka emak-emak yang melahirkan, membesarkan dan mendidik para dosen, rektor, wartawan, ulama, ustadz, guru, hakim, jenderal, pengusaha dan sejumlah tokoh-tokoh negeri ini.
Anak-cucu mereka dengan senyum tulus menjalankan tugasnya sesuai profesinya masing-masing, tentu jauh lebih baik dan mulia ketimbang sikap seorang pejabat tinggi negara, membagikan bantuan sambil cemberut. Padahal Nabi SAW mengatakan "Senyummu kepada saudaramu adalah shodaqoh".
Nenek Mega mengaku pernah ikut pengajian. Kata "pernah" menarik ditelisik, karena biasanya berkonotasi hanya sekali-dua kali. Untuk usia sudah 76 tahun, andaikata pun beliau pernah ikut pengajian di bawah hitungan jari tangan dan kaki, tergolong jarang sekali. Rata-rata cuma empat tahun sekali.
Kalaupun beliau setahun sekali ikut pengajian, mestinya nenek Mega sudah ikut lebih dari 50 kali. Jika begitu, bahasa yang benar bukan "pernah", tapi "kerap atau sering".
Kata pernah menyiratkan beliau jarang sekali ikut pengajian, kecuali mungkin sesekali saat musim kampanye. Maka wajar kalau nenek Mega salah menilai emak-emak.
Cobalah nenek Mega dua atau tiga bulan sekali ikut pengajian emak-emak di kampung-kampung untuk bisa memahami alam pikiran mereka. Syukur bisa tiap bulan. Pasti nenek Mega akan memperoleh nuansa yang berbeda. Seperti yang penulis rasakan saat mengisi pengajian emak-emak itu.
Pertama, emak-emak itu sadar pendidikannya rendah, ekonomi pas-pasan, amalannya sedikit dan sering berbuat salah dan dosa. Dengan mengaji mereka berharap bisa menambah ilmu dan mendapat pahala serta ampunan dari Allah.
Mereka percaya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Mereka percaya, dengan ampunan Allah itu mereka kelak akan bahagia di akhirat. Tapi jika nenek Mega tidak terlalu meyakini hal itu dan menganggap kepercayaan kepada hari akhirat seperti ramalan, ya terserah.
Kedua, mereka orang yang paling merasakan persoalan hidup yang semakin berat. Harga sembako yang terus meroket, gas melon yang susah dicari, minyakita yang langka di pasaran, tarif listrik dan transportasi yang selalu naik, dan lain-lain. Semuanya karena perekonomian dikuasai kartel, mafia dan oligarki yang berkolaborasi dengan politisi dan pejabat tamak.
Emak-emak itu hanya bisa merasakan, tapi tidak tahu cara mengatasinya. Satu-satunya yang mereka tahu adalah bersabar dan berdoa serta bertawakal kepada Allah. Pengajian adalah salah satu sarana terbaik untuk memupuk sikap itu. Jadi pengajian adalah salah satu bentuk terbaik membangun ketahanan mental rakyat dalam menghadapi berbagai kesulitan hidup.
Ketiga, setiap hari bergumul dengan urusan rumah tangga, maka pengajian bagi emak-emak merupakan rekreasi mental spiritual. Mereka bisa rehat sejenak dari belitan persoalan hidup sambil bercengkerama dengan sesama. Maka pengajian adalah wahana rekreasi sekaligus ruang pelepasan (healing). Sebagai orang yang pernah kuliah di jurusan psikologi, mestinya nenek Mega paham betapa pentingnya rehat dan healing dalam menjaga keseimbangan hidup.
Tampaknya Nenek Mega harus lebih berhati-hati dalam berbicara. Jangan sampai salah ucap. Apalagi mengingat usia yang semakin uzur. Mereka sepintas terlihat bodoh dan bersahaja itu sejatinya adalah emak-emak luar biasa, berjasa melahirkan pemimpin bangsa. Saya bahkan yakin ibu Fatmawati, ibunda nenek Mega tergolong wanita yang rajin pengajian, lantaran berasal dari keluarga aktivis Islam. Setidaknya semasa tinggal di Bengkulu. Wallahu a'lam bishawwab.
(Sumber: Sabili)