Spanduk Klandestin Anti-Anies di Jatim
*Klandestin adalah kegiatan yang dilakukan secara rahasia atau diam-diam dengan tujuan tertentu.
SPANDUK-spanduk anti-Anies Rasyid Baswedan kembali marak terpasang di beberapa daerah. Seperti biasa, warna spanduk sangat menyolok. Cat dasar merah-putih, seolah hendak memberitahu publik, bahwa pemrakarsa spanduk adalah sosok paling patriotis. Paling nasionalis. Sangat Indonesia. Kontras dibanding orang yang disebutnya dalam spanduk.
Jika sebelumnya, spanduk selalu dihiasi lambang negara Garuda Pancasila. Kali ini, spanduk hanya berlogo tertulis ''Pejuang Nusantara Indonesia Bersatu'', disingkat PNIB. Entah organisasi ini nyata atau gaib, hanya pembuatnya dan Tuhan yang tahu. Sebab, PNIB ini ibarat slogan baheula ''Muncul Kalau Ada Musuh''. Ia mendadak muncul begitu harga pesanannya sudah cocok. Langsung bikin spanduk lalu diam-diam taruh di lokasi-lokasi yang mudah terlihat publik.
Mirip peredaran selebaran gelap atau konten gelap yang diviralkan lewat akun-akun bot. Tak berani muncul terang-terangan ke publik, tak bernyali bicara lantang di hadapan publik. Maklumlah, namanya juga spanduk gelap. Jati diri pun dibuat gelap. Cukup pasang nama, PNIB. Terbit kalau ada musuh. Maksudnya, musuh yang dibuat atau dicitrakan ke sosok tertentu. Itulah operasi cipta kondisi bernuansa klandestin. Jenis operasi intelijen. Menciptakan kondisi secara klandestin. Bukan kondisi alamiah, tapi kondisi yang diciptakan. Direkayasa.
Taktik Adu Domba
Operasi Cipta Kondisi gaya klandestin bagian dari Perang Urat Saraf (PUS). Operasi ini biasanya diajarkan dalam kelas-kelas pelatihan intelijen dan kontra-intelijen. Mirip-mirip pelatihan branding dalam marketing. Tujuannya, mengaduk-aduk emosi publik lalu mengarahkannya untuk kepentingan tertentu. Namun, berbeda dari pelatihan branding marketing yang tak bertujuan mengadu-domba publik.
Operasi cipta kondisi justru mengadu-domba publik. Pertama, membelah publik. Kedua, memilah mana kawan, yang lain lawan. Ketiga, intensifkan provokasi kawan seiring agar membenci yang lain, yang tak seiring. Ini pola ''hatred by design'' (kebencian yang didesain). Sebuah pola yang dilahirkan para fasis yang berbahaya bagi kesatuan bangsa. Oleh karena itu, patut diduga perekayasa spanduk-spanduk penolakan berasal dari kaum fasis yang berbahaya, karena mereka telah melawan sila ketiga Pancasila. Persatuan Indonesia.
Dalam monograf bertajuk ''Understanding the Form, Function, and Logic of Clandestine Cellular Networks: The First Step in Effective Counternetwork Operations'' yang diterbitkan Sekolah Kajian Militer Lanjut AS, Fort Leavenworth, Kansas, pada tahun 2009, Mayor Derek Jones menyebut operasi klandestin selalu memakai komunikasi impersonal. Bukan komunikasi tatap muka seperti jamak terjadi di publik.
Tujuannya, agar aspek kerahasiaan terjaga sekaligus memutus kecurigaan bahwa satu pelaku berhubungan dengan pelaku lainnya. Namun, tulis Jones, selalu ada kurir yang menghubungkan antar pelaku operasi klandestin. Kurir ini penyampai pesan. Walau ia mungkin bukan sosok penting dalam rangkaian pelaku operasi klandestin, namun kurir tak boleh disepelekan. Apalagi jika pesan yang dibawa kurir berujung timbulnya ketegangan sampai konflik.
Pemasang spanduk klandestin anti-Anies adalah kurir. Ia menyampaikan pesan dalang di balik spanduk. Dalang berkepentingan mengadu-domba publik. Membenturkan publik melalui pembelahan masyarakat. Sampai kini, hanya kurir yang selalu tampil ke publik. Sedangkan dalang, itulah yang juga wajib dikejar publik.
Oleh: Rosdiansyah
(Pemerhati Dinamika Sosial)
*Sumber: RMOL