✅️Tidak pernah menunjukkan attitude buruk
✅️Tidak pernah mengeluh ketika dibangku cadangkan
✅️Selalu berusaha mendapat tempat di starting lineup
✅️Selalu memberikan 100% ketika dimainkan
Puasa. Bertanding. Juara. Itulah yang dilakukan Riyad Karim Mahrez pada Ramadan 2019 lalu. Saat menjalani laga pemungkas Premier League 2018/2019 antara Brighton vs Manchester City, pesepakbola muslim andalan Timnas Aljazair ini tetap menjalankan ibadah puasa.
Alih-alih menjadi halangan, puasa yang tengah dijalani Mahrez justru berbuah berkah. Ia tampil brilian dengan menyumbang satu gol dan satu assist untuk kemenangan 1-4 Manchester City, klub yang dibelanya.
Hasil tersebut membuat skuad asuhan Pep Guardiola unggul satu poin atas Liverpool di klasemen akhir. The Citizens pun berhak atas trofi Premier League 2018/2019.
Rasa syukur dipanjatkan Mahrez setelah laga. Secara simbolis, ketaatannya pada Islam kerap ditunjukkan ketika melakukan selebrasi usai mencetak gol. Ia nyaris selalu mengangkat kedua tangan, menunjuk ke langit.
Mahrez memang pesepakbola muslim yang taat. Pemain yang turut berperan besar mengantarkan Leicester City juara Premier League 2015/2016 ini selalu menyambut datangnya bulan suci dengan suka-cita.
“Ramadan Mubarak untuk semua saudara dan saudari saya. Semoga Allah melancarkan puasa kita. Mari kita berpikir dan berdoa untuk semua orang yang mengalami kesulitan pada situasi saat ini,” kata Riyad Mahrez lewat Twitter.
Titik Balik Keislaman Riyad Mahrez Setelah Kematian Sang Ayah
Riyad Karim Mahrez lahir di Sarcelles, sebuah kawasan di pinggiran utara Kota Paris, Perancis, pada 21 Februari 1991. Kedua orangtuanya berkebangsaan Aljazair. Riyad juga memiliki darah Maroko dari sang ibu, Halima.
Meskpun lahir di Perancis, kecintaan Riyad Mahrez terhadap Aljazair tidak pernah hilang. Ia buktikan hal itu dengan memilih memperkuat tim nasional tanah air leluhurnya tersebut. Riyad Mahrez tidak memiliki kewarganegaraan Perancis.
Darah sepak bola pada diri Riyad terwarisi dari ayahnya, Ahmed Mahrez, yang merupakan mantan pemain Timnas Aljazair. Ahmed sangat mendambakan sang putra bisa mengikuti jejaknya.
Belum sempat menyaksikan harapannya itu, Ahmed meninggal dunia ketika Riyad berusia 15 tahun. Inilah titik kebangkitan Riyad untuk menggapai asa, mewujudkan cita-cita sang ayah, sekaligus menjadi seorang muslim yang lebih baik.
“Ayah selalu berada di belakang saya, dia menginginkan saya menjadi pemain sepak bola. Dia selalu bersama saya. Dia datang ke setiap pertandingan saya dan memberi masukan,” kata Riyad Mahrez seperti dikutip The Guardian.
“Saya tidak tahu apakah saya mulai lebih serius bermain bola, tetapi setelah kematiannya, segalanya dimulai. Mungkin di kepala saya, saya menginginkan sesuatu yang lebih baik,” lanjutnya.
Hal tersebut diamini oleh sahabat Mahrez bernama Youssef Ghani. “Dia [Riyad Mahrez] sangat religius, memilki keyakinan agama [Islam] yang kuat," sebutnya.
"Selama masa sulit itu, [setelah sang ayah wafat], yang menjadi titik balik dalam hidupnya, dia mulai beribadah dengan sungguh-sungguh dan secara teratur mengunjungi masjid,” imbuh Ghanmi.
“Kematian ayahnya membuatnya sadar akan banyak hal, ia mengambil lebih banyak tanggung jawab setelah itu,” lanjutnya.
(Sumber: Tirto)