[PORTAL-ISLAM.ID] Pernikahan merupakan salah satu dari sunnah Nabi Muhammad SAW. Setidaknya, ada tiga tujuan dari pernikahan, yakni untuk memenuhi tuntutan syahwat, menghasilkan keturunan, dan menggapai ketenangan lahir-batin karena berteduh pada pasangannya dalam menjalani hidup.
Namun, pernikahan dapat menjadi terlarang atau bahkan dosa. Misalnya, nikah secara muhallil.
Muhallil adalah sebutan bagi orang yang menikahi seorang perempuan yang telah ditalak tiga oleh suami sebelumnya dengan niat bukan untuk membina rumah tangga. Niatnya hanya untuk menceraikan si perempuan itu setelah menggaulinya agar si suami yang pertama bisa menikahinya kembali.
*Seperti diketahui, Talak Tiga (atau talak ba'in kubraa) Talak jenis ini tidak dapat dinikahkan kembali kecuali apabila pernikahan itu dilakukam setelah bekas istri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba'da al dukhul dan habis masa iddahnya.
Nah, pernikahan Muhallil ini untuk ngakali syariat Islam (tipuan, pura-pura nikah dengan tujuan untuk dicerai dst).
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Rasulullah SAW suatu kali ditanya perihal muhallil. Maka, beliau menjawab, “Tidak, kecuali pernikahan atas dasar suka sama suka, bukan pernikahan tipuan, dan tidak pula (pernikahan untuk) memperolok-olok kitab Allah, hingga ia (si suami kedua) merasakan nikmatnya berhubungan badan.”
Dalam hadis lainnya, sebagaimana diriwayatkan Uqbah bin Amir, Rasulullah SAW bersabda, “Maukah kalian aku beri tahu tentang kambing pinjaman?”
Para sahabat menjawab, “Ya, wahai Rasulullah.”
“Ia adalah muhallil. Allah melaknat muhallil dan muhallal lahu.”
Muhallal lahu adalah sebutan bagi si suami sebelumnya (dari istri yang telah ditalak tiga) yang bermaksud agar bisa menikahi istrinya lagi setelah ditalak tiga oleh suami kedua yang menikahinya.
Dalam riwayat lain, dari Ibnu Mas'ud ra. berkata: "Rasulullah melaknat muhallil dan muhallal lahu."
Menurut Umar bin Khattab, hukum yang dapat dilaksanakan bagi pelaku nikah muhallil dan muhallal lahu adalah rajam. Ketika Umar ditanya ihwal pernikahan yang bertujuan menghalalkan seorang perempuan untuk si suami pertama (muhallal lahu), maka ia menjawab, “Itu perzinaan.”
Imam adz-Dzahabi dalam kitabnya, al-Kabaair, menggolongkan perbuatan nikah muhallil sebagai salah satu dosa besar.
(*)