Karakter Muhammadiyah itu Memberi Tidak Meminta
YOGYAKARTA – Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Busyro Muqoddas menegaskan karakter atau jati diri Muhammadiyah itu memberi, tidak meminta apalagi mengemis kepada pemerintah.
Demikian tegas Busyro pada, Rabu (8/2/2023) menyinggung terkait dengan sikap kritis Muhammadiyah terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang kemarin disampaikan catatan kritisnya di Kantor PP Muhammadiyah, Jl. Menteng Raya, No. 62, Kota Jakarta.
Mengulangi atas yang disampaikannya di Jakarta beberapa waktu lalu, Busyro menegaskan, jika suatu produk kebijakan yang dihasilkan oleh pemerintah menyalahi atau malah menyengsarakan rakyat, maka wajib bagi Muhammadiyah untuk menyikapinya dengan kritis.
Sikap kritis Muhammadiyah terhadap pemerintah, imbuhnya, bukan berdasarkan pada kebencian apalagi niatan-niatan buruk, tetapi murni karena kecintaan dan semangat memberi yang telah ditanamkan dan diajarkan para pendahulu Muhammadiyah sejak lama.
“Kita itu bersikap kritis itu seperti itu, tidak meminta apalagi mengemis-ngemis itu tidak. Melainkan karakter Muhammadiyah itu memberi kepada pemerintah-negeri apa saja pemberian itu, daripada meminta-minta,” ungkapnya.
Karakter memberi ini, kata Busyro, bukan hanya dilakukan secara organisatoris, tetapi juga dilakukan secara individu oleh kader-kader dan warga Persyarikatan Muhammadiyah di setiap level kemampuan masing-masing.
Sikap kritis yang disampaikan oleh Muhammadiyah kepada penguasa bukan dengan inkonstitusional, melainkan selalu memakai jalur-jalur konstitusional sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang.
Termasuk dalam mendoakan penguasa dan negeri tercinta, Muhammadiyah selalu memanjatkan doa yang berisi permintaan-permintaan kebaikan. Bukan malah menghardik, dan meminta kecelakaan terhadap penguasa dan negeri tercinta.
“Kita berdoa bukan Ya Allah laknatilah, bukan. Melainkan Ya Allah berilah petunjuk, berilah peringatan dan berilah kekuatan pada kebaikan untuk para penguasa,” imbuhnya.
Pada kesempatan ini Busyro kembali mengingatkan kepada pemimpin negeri ini atas janji-janjinya dalam penegakan hukum, dan pemberantasan korupsi. Dalam pengamatannya, korupsi di Indonesia masih stabil dan angkanya masih konsisten tinggi.
Oleh karena itu, pemberantasan korupsi sebagai janji harus ditepati. Sebab janji yang telah disampaikan tanggung jawabnya bukan hanya saat di dunia, tetapi juga akan diminta pertanggung jawaban di akhirat kelak.
(Sumber: Muhammadiyah)