[PORTAL-ISLAM.ID] Belakangan pekan terakhir ini Hamidah warga Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara (PPU) tak bisa tenang. Bahkan tidur pun susah. Bukan karena dia mengidap penyakit insomnia, melainkan karena terus kepikiran lahan yang dia punya. Seluas 155 meter persegi di RT 04 Kelurahan Pemaluan, Kecamatan Sepaku, PPU.
Lahan tersebut masuk dalam kawasan inti pusat pemerintahan (KIPP) Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Meski luasan hanya 155 meter persegi, Hamidah justru sangat kecewa dengan nilai ganti rugi yang disodorkan pemerintah untuk lahan yang sudah dikuasainya dengan alas hak sertipikat tersebut.
"Saya bertanya kenapa kok sertipikat diambil. Saya mau tahu harga rumah itu berapa per meter. Saya keberatan kalau memang rumah saya masuk IPAL," kata Hamidah dengan nada kecewa, dikutip Kamis (02/02/2023).
Yah, luasan lahan 155 meter persegi itu terdapat rumah yang ditempatinya. Dihargai sangatlah murah, jauh dari harapan yang diinginkan Hamidah. Yakni senilai Rp. 56.003.808,- dengan alasan tak ada sertipikat. Kawasan itu nantinya akan berdiri Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL).
Pun dengan yang dirasakan Sarina Natalina Gultom, warga RT 10 Desa Bumi Harapan. Dia memiliki lahan sekitar 28 hektare yang juga masuk di kawasan KIPP IKN. Meskipun belum dilakukan negosiasi, dia sangat khawatir lahan miliknya itu akan bernasib sama dengan warga lainnya. Dihargai dengan nilai Rp 200 ribu per meter.
"Warga RT 10 tidak menerima harga ganti rugi yang diluar dari yang ditentukan oleh ibu dirjen seperti yang dikatakan di podcast. Selama ini kami itu ditawarin Rp 200 ribu per meter. Padahal di podcast itu nilainya 650 sampai 1 juta per meter," terang Sarina.
Menurut pengakuan Sarina, selama ini warga dikumpulkan oleh pihak pemerintah. Mulai dari ATR/BPN, kelurahan, hingga kecamatan. Mereka dikumpulkan untuk mendengarkan pemaparan terkait ganti rugi lahan. Pertemuan itu terakhir berlangsung pada akhir tahun lalu.
Dari situ, satu-persatu warga diberikan penjelasan terkait nilai ganti rugi lahan. Berkas itu juga berisi surat yang menyatakan bahwa warga sepakat dengan nilai yang telah ditentukan. Setiap warga berbeda-beda. Tapi dikatakan Sarinah hampir bisa dipastikan nilainya sekitar Rp 200 ribu.
"Jadi kalau warga tidak mau atau keberatan akan dititipkan ke pengadilan berkas itu. Seperti dapat ancaman begitu," jelas Sarina.
Lahan milik Sarina berada di KIPP IKN Nusantara. Seluas 28 hektar dan ditumbuhi tanaman produktif. Lahan miliknya itu rencana menjadi jalan utama menuju istana kepresidenan di IKN Nusantara. Terletak di sumbu barat KIPP IKN Nusantara. Secara dukungan, Sarina sangat mendukung pembangunan IKN Nusantara.
"Hanya saja kami ini minta dihargai soal harga tanah, itu saja," singkatnya.
Warga lainnya, Edy Dalimunte sudah bernegosiasi dengan pemerintah terkait ganti rugi lahan. Desember lalu dia turut menghadiri pertemuan tersebut. Mulai dari ATR/BPN PPU, Kementerian PUPR, Kecamatan, Kelurahan hingga aparat keamanan TNI-Polri. Pada saat negosiasi warga dipanggil satu-persatu. Lahan Edy seluas 2500 meter persegi terletak di Desa Bumi Harapan. Dihargai Rp 225 ribu per meter.
"Kita dikasih amplop, disuruh tanda tangan kalau tidak, nanti uangnya dititipkan di pengadilan. Empat kali saya sudah negosiasi, jadi belum cocok. Kita merasa takut jadinya kalau uangnya dititipkan di pengadilan. Soal masalah pembayaran itu dipanggil satu-satu ke ruangan," ujarnya.
Memang dalam sosialisasi yang diterima warga sempat ada pilihan ganti rugi. Mulai dari diganti dengan lahan, bangunan, hingga uang. Tapi Edy bersama warga lainnya yang hadir saat itu sepakat dengan ganti berupa uang saja.
"Ternyata yang dibayarkan Rp 225 ribu per meter. Saya minta dinaikkan, mereka bilang tidak bisa karena nanti bisa bermasalah hukum," akunya.
Ganti rugi lahan dengan nilai uang yang rendah tentu sangat berdampak bagi warga. Mengingat di lahan tersebut mereka menggantungkan hidupnya. Sebagian besar punya lahan kelapa sawit. Meskipun tidak begitu luas, setidaknya bisa menjadi sumber pendapatan setiap bulannya.
Seperti yang juga dirasakan Teguh Prasetyo, warga di Desa Bumi Harapan, kawasan KIPP IKN Nusantara. Dia tak tahu harus bagaimana melanjutkan kehidupan bersama istri dan enam anaknya.
"Saya tadinya mau bangun kos-kosan. Setelah jual lahan kelapa sawit. Tapi ternyata kena KIPP IKN Nusantara. Ya tidak masalah, tapi kenapa kok cuma dihargai Rp 225 ribu per meter," kata Teguh.
Jeritan warga Kelurahan Pemaluan dan Desa Bumi Harapan, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara tersebut sangat berarti. Mereka bukan tidak mendukung pembangunan IKN Nusantara, melainkan hanya ingin kejelasan ganti rugi lahan yang sudah mereka huni bertahun-tahun dengan harga yang pantas dan berkeadilan. [suara]