Dilihat dari segi sosial, kata-kata diatas yang menjadi jadi jualan sehari-hari para petinggi negeri, dapat dilihat sebagai rasa ketakutan terhadap persatuan Islam, terutama pasca 212 tahun 2017 yang jumlahnya sekitar 8 juta orang. Rasanya yang selalu menjual kata-kata di atas merupakan ujaran kebencian. Apakah mungkin UU ITE diterapkan pada para penguasa ? Ataukan UU ITE hanya ditujukan untuk kelompok yang berbeda sikap dengan penguasa ? Silahkan direnungkan…….
Untuk mengurangi tekanan dari umat Islam, rezim bukannya mendengarkan aspirasi, tapi justru ulama dikriminalisasi, umat dipecah belah, bukannya dipersatukan. Kemudian agama dijauhi, komunis didekati, buzzer dipelihara. Entah apa yg ada dipikiran para petinggi negara ini. Yang jelas, mereka yang sudah masuk kolam, akan sulit keluarnya. Ibarat masuk kelompok mafia, jangan harap bisa keluar.
Kata-kata kebencian yang menyudutkan tersebut diatas terlihat dialamatkan kepada umat Islam lurus merupakan tanda Islamphobia. Lucunya yang melontarkan kata-kata di atas juga banyak beragama Islam juga. Dilain pihak, sebagai bangsa, kita memerlukan Identitas, Indonesia tidak akan merdeka tanpa identitas. Sunda, Jawa, Bugis, Batak, Papua, juga akan punah tanpa identitas. Islam sejak jaman dulu sudah jelas identitasnya, kristen, konghucu begitu juga. Identitas ini yg memperkaya Indonesia, makanya dibawah lambang Garuda ada tulisan Bhineka tunggal ika (Berbeda-beda tetapi satu).
Harus dicegah adalah adanya penyusupan/penyamaran, seperti non Islam pake identitas Islam atau sebaliknya. Pura-puran seperti imam/ustad padahal bukan. Nah oleh para petinggi Islamphobia, identitas tersebut disamarkan dan diarahkan bagi kelompok Islam dan dibesar besarkan dengan narasi negatif. Seingat saya cuma komunis yang gak suka Islam.
Ulama dan umatnya yg lurus dianggap sebagai tembok penghalang oleh para petinggi ini. Apakah karena selalu menolak keinginan memaafkan komunis ? Yang jelas mereka yg disebut radikal, intoleran, kadrun itu, sangat cinta pada negara dan agamanya. Ditangan merekalah Negara RI ini dijaga agar tetap utuh. Umat yang ingin Indonesia tetap kuat dan bermartabat malah dianggap menghambat. Apakah pihak penguasa punya maksud lain yang tersembunyi ? Silahkan jawab sendiri saja.
Salah kaprah atau disengaja entahlah, tapi toleransi beragama yang muncul seperti shalawatan di Gereja, ibadah non Islam pake identitas Islam, jagain gereja, dll memperlihatkan bahwa mereka sepertinya tidak paham arti toleransi. Islam sejak lahirnya, telah mengajarkan bagaimana menghormati agama lain dengan tata cara yang baik.
Tuduhan rasis dan intoleransi pada agama Islam, sudah salah alamat. Sebenarnya siapa ya rasis dan intoleran ? Bandingkan saja berapa banyak muslimin/muslimah yang sekolah di sekolah Protestan dan Katholik. Dan berapa banyak umat Protestan & Katolik yang belajar di sekolah Islam ? Begitu juga dengan Rumah sakitnya. Silahkan menilai sendiri. Jadi sebenarnya tidak ada masalah tentang toleransi ini, tapi ada saja yang membuatnya menjadi seolah “mengerikan” sebagai alat politik.
Dengan non pribumi ? Silahkan bandingkan pribumi yang belanja di toko2 dan supermarket milik non pri, bagaimana sebaliknya ? Uraian diatas sebenarnya sudah menjawab pertanyaan diatas. Pengusaha nin pri malah banyak yang menikmati dana milik pribumi lewat bank. Apakah ada kaum pribumi yang protes ? Rasanya belum pernah terdengar juga.
Masalah sosial antara pribumi dan non pribumi pada dasarnya, akibat adanya keinginan dari kelompok generasi muda non pri rakus untuk menguasai negara ini lewat berbagai cara, baik yang kotor maupun yang halus. Parahnya banyak oknum pribumi dari berbagai kelompok yang lemah Iman. Sulit dibayangkan adanya keberanian generasi muda non pri ini, mereka bisa membunuh/membantai seorang Letkol purn di Lembang dan mengeroyok Mayor purn di Tanggerang. Generasi muda non pri ini perlu berbaur dengan masyarakat pribumi jika ingin diterima.
Upaya mengurangi masalah sosial ini al.
1. Menegakkan keadilan
2. Mengurangi ketimpangan ekonomi/kesejahteraan.
3. Melakukan pembauran sejak di sekolah SD sampai mahasiswa, komunitas dan kelompok masyarakat.
4. Melaksanakan kebijakan yang berpihak pada pribumi.
Dengan demikian secara bertahap masalah sosial yang tercipta oleh para penguasa ini semakin berkurang.
Bandung, Februari, 2023.
Memet Hakim
Pengamat Sosial
Sumber : suaranasional