Fikih Peradaban Anti-Khilafah
Oleh: Irfan S. Awwas
Puncak Resepsi Satu Abad Nahdlatul Ulama (NU) yang digelar di Stadion Gelora Delta, Sidoarjo, Jawa Timur, Selasa 7 Februari 2023 M bertepatan dengan 16 Rajab 1444 H, mengusung tema, “Mendigdayakan Nahdlatul Ulama Menjemput Abad Kedua Menuju Kebangkitan Baru,” terkesan megah.
Maklum Menteri BUMN Erick Thohir diberi amanah menjadi Ketua Pengarah Satu Abad NU, yang diakui sendiri oleh Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf, “Ada, pertimbangan pragmatis” menjadikan lelaki kaya raya, belasteran Melayu-Tionghoa itu sebagai Ketua Panitia pengarah.
Panitia mengklaim tiga jutaan warga nahdliyin datang ke area acara resepsi peringatan 100 tahun NU yang turut dihadiri Presiden Joko Widodo, Wakil Presiden KH Ma`ruf Amin, Presiden ke-5 RI Megawati Sukarnoputri, dan para ulama nusantara. Hadir juga Menkopolhukam Mahfud MD, Kepala Badan Intelijen Negara Budi Gunawan, Menkomarves Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri PPKUKM Teten Masduki dan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang dll. Tidak ketinggalan panggung rakyat dimeriahkan oleh Maher Zain, Rhoma Irama, Slank, dan ISHARI.
Di usia satu abad, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Tsaquf mengekspresikan kebanggaannya. Pada pidato resepsi -begitu pagelaran ini disebut- Yahya berteriak histeria, mengajak Banser, Muslimat, semua badan otonom NU, dan pecinta NU untuk terus berkhidmat ikhlas merawat dunia. Ia mengajak warga NU, dan pecinta NU menyongsong abad kedua Nahdlatul Ulama. “Indonesia selamat datang di abad kedua Nahdlatul Ulama. Dunia, selamat datang di abad kedua Nahdlatul Ulama,” teriaknya menggelegar.
Kemudian dilanjutkan dengan pembacaan Rekomendasi yang dengan tegas menolak pendirian negara khilafah. Sebaliknya, mendukung persatuan seluruh umat beragama di dunia di bawah naungan PBB. Sikap NU ini tertuang dalam rekomendasi Muktamar Internasional Fikih Peradaban I yang dibacakan oleh Mustasyar PBNU KH Ahmad Musthafa Bisri. Kyai penyair, alumni Universitas Al-Azhar Kairo itu membacakan rekomendasi dalam bahasa Arab dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Ketua Panitia Yenny Wahid:
“Nahdlatul Ulama berpandangan bahwa pandangan lama yang berakar pada tradisi fikih klasik, yaitu adanya cita-cita untuk menyatukan umat Islam di bawah naungan tunggal sedunia atau negara khilafah harus digantikan dengan visi baru demi mewujudkan kemaslahatan umat. Cita-cita mendirikan kembali negara khilafah yang dianggap bisa menyatukan umat Islam sedunia, namun dalam hubungan berhadap-hadapan dengan nonmuslim bukanlah hal yang pantas diusahakan dan dijadikan sebagai sebuah aspirasi. Sebagaimana terbukti akhir-akhir ini melalui upaya mendirikan negara ISIS, usaha semacam ini niscaya akan berakhir dalam kekacauan dan justru berlawanan dengan tujuan-tujuan pokok agama yang tergambar dalam lima prinsip, menjaga nyawa, menjaga agama, menjaga akal, menjaga keluarga, dan menjaga harta.
Dari pada bercita-cita dan berusaha untuk menyatupadukan seluruh umat Islam dalam negara tunggal sedunia, yaitu negara khilafah, Nahdlatul Ulama memilih jalan lain, mengajak umat Islam untuk menempuh visi baru, mengembangkan wacana baru tentang fiqih, yaitu fikih yang akan dapat mencegah eksploitasi atas identitas, menangkal penyebaran kebencian antargolongan, mendukung solidaritas, dan saling menghargai perbedaan di antara manusia, budaya, dan bangsa-bangsa di dunia, serta mendukung lahirnya tatanan dunia yang sungguh-sungguh adil dan harmonis, tatanan yang didasarkan pada penghargaan atas hak-hak yang setara serta martabat setiap umat manusia. Visi yang seperti inilah yang justru akan mampu mewujudkan tujuan-tujuan pokok syariah,” tutup keduanya.
Ulama Antikhilafah
Islam pernah mencatat sejarah kejayaannya, yang dimulai dari masa setelah Nabi hijrah ke Madinah, masa Khulafaurrasyidin, dan masa kekhalifahan dinasti. Kekhalifahan Islam berakhir seiring runtuhnya khilafah Utsmaniyah atau dikenal dengan Kesultanan Turki Utsmani pada 3 Maret 1924.
Setelah berakhirnya periode kekhalifahan yang ditandai meninggalnya khalifah ke-4 Ali Bin Abi Thalib (661 M), kepemimpinan Islam selanjutnya adalah kekhalifahan dinasti (pewarisan kekuasaan). Kurang lebih ada 1.263 tahun umat Islam menjalani kekhalifahan setelah Khulafaurrasyidin. Dimulai dari kekhalifahan Umayyah (661-750 M), kekhalifahan Abbasiyah (750-1258 M), dan kekhalifahan Fatimiyah (909-1171), hingga kekhalifahan Turki Utsmani.
Setahun setelah runtuhnya Khilafah Ustmani, Syekh Ali Abd ar-Raziq adalah ulama Muslim pertama yang memberikan pernyataan tertulis mengenai penolakannya terhadap munculnya khilafah kembali. Dan mendorong kaum Muslimin untuk mengadopsi sekularisme dan nasionalisme sebagai pedoman hidup mereka.
Kala itu Ali Abdur Raziq merupakan ulama yang menjabat Qadhi/Hakim Mahkamah Syariah sejak 1915 di Mansoura, ibukota Dakahlia, Mesir. Namun, jalan hidupnya sebagai ulama dan qadhi berubah setelah ia menulis kitab “al-Islam wa Ushul al-Hukm” pada 1925. Pada halaman 35 kitab tersebut, Abdur Raziq membantah pendapat para fuqaha dan politisi muslim tentang bentuk pemerintahan Islam. Ia menyatakan, “baik kepentingan agama maupun dunia, tidak memerlukan adanya khilafah.”
Abdur Raziq menilai, para fuqaha termasuk Ibnu Khaldun salah baca dalam menilik risalah Muhammad SAW karena berpendapat bahwa agama dan politik merupakan satu kesatuan. Ia menuntut pemisahan antara agama dan politik.
Dalam buku berbahasa Inggris berjudul “The Abolition of the Caliphate and Its Aftermath” karya Sylvia G Haim, pada halaman 236 menggambarkan kegemparan besar di Mesir untuk merespon pandangan Abdur Raziq. Sebuah sidang diadakan oleh Majelis Ulama Besar al-Azhar di bawah pimpinan Syeikh al-Azhar Muhammad Abi al-Fadl dengan 24 anggota ulama Korps Ulama al-Azhar untuk membahas pemikiran Abdur Raziq tersebut. Secara ijmak, mereka menyetujui keputusan pemecatan Ali Abdul Raziq dari Korps Ulama al-Azhar dan dari semua jabatannya. Keputusan ini dikeluarkan dengan konsideran yang mendetail dan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan pembelaan diri. Keputusan ini mulai berlaku 12 Agustus 1925, setahun pasca runtuhnya Khilafah Turki Utsmani pada 1924.
Pada waktu buku Abdur Raziq yang berjudul al-Islam wa Ushul al-Hukm (Islam dan Prinsip-prinsip Pemerintahan) itu diterbitkan di Kairo pada tahun 1925, Ziya Gokalp dan Musthafa Kemal Attaturk dari Turki serta Luthfi as-Sayyid dan Sa’ad Zaghlul di Mesir merasa berhasil menyelesaikan misi besar mereka, yaitu melenyapkan seluruh jejak pengaruh Islam dalam sistem pemerintahan di negeri-negeri mereka. Namun, satu hal yang pasti, bahwa para pemimpin sekular tersebut tidak memiliki kaitan dengan Islam dan dengan segala konsep yang muncul dari Islam.
Tidak pantas jadi Aspirasi
Dua tahun pasca runtuhnya Khilafah Turki, 3 Maret 1924, NU lahir pada 31 Januari 1926. Artinya, Satu abad runtuhnya Khilafah Ustmani, sebaliknya usia satu abad pula NU berkiprah mengembangkan sayap dakwah di bawah bendera Aswaja (Ahlu Sunnah wal Jamaah). Mengapa tiba-tiba pembela sunnah berubah jadi ingkar sunnah? Bukankah sistem pemerintahan Islam, Khilafah Islamiyah adalah sunnah Nabi Saw dan praktiknya telah dicontohkan oleh Khulafaur Rasyidin? Bahkan telah dinubuwahkan oleh Rasulullah akan munculnya kembali hilafah ‘ala minhajin nubuwah, dalam hadits beliau:
“Periode kenabian akan berlangsung dalam beberapa tahun, kemudian Allah mengangkatnya. Setelah itu datang periode khilafah ‘ala minhajin nubuwah, selama beberapa masa hingga Allah Ta’ala mengangkatnya. Kemudian datang periode mulkan adhdhan, selama beberapa masa. Selanjutnya datang periode mulkan jabbariyan dalam beberapa masa hingga waktu yang ditentukan Allah Ta’ala. Setelah itu akan terulang kembali periode khilafah ‘ala minhajin nubuwah. Kemudian Nabi diam.” (Hr. Ahmad).
Oleh karena itu, segala paham, ucapan, dan perbuatan yang menyalahi Syariat Islam, tidak pantas dan tidak berhak menjadi aspirasi, apalagi menjadi keputusan Muktamar organisasi Ulama, hanya berlandaskan apriori dan provokasi tokoh sekuler.
Khilafah adalah ajaran Islam. Istilah khalifah termaktub di dalam Al-Qur`an:
“Wahai Muhammad, ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sungguh Aku akan menciptakan manusia sebagai pengelola di muka bumi.” Para malaikat berkata: “Apakah Engkau akan menciptakan makhluk yang akan berbuat dosa, kezaliman dan menumpahkan darah di muka bumi? Padahal kami selalu taat kepada-Mu dengan memuji-Mu dan memuliakan-Mu.” Lalu Allah berfirman: “Wahai malaikat, Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 30).
Sebagai khalifah Allah di muka bumi, manusia mempunyai peranan penting dalam mengelola bumi ini, yang akan dijalankan hingga akhir zaman. Pada ayat lain Allah berfirman:
“Wahai Dawud, sungguh Kami telah menjadikan kamu khalifah di muka bumi. Karena itu, putuskanlah perkara antar manusia dengan benar dan adil. Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu. Karena kamu akan sesat dari jalan Allah. Sungguh orang-orang yang sesat dari jalan Allah, akan mendapatkan azab yang berat. Sebab mereka melupakan hari perhitungan di akhirat.” (QS. Shad [38]: 26).
Istilah khalifah yang disebut dalam Al-Quran, adalah kata benda yang berarti pemimpin, penguasa, pengelola bumi dan seisinya. Sedangkan khilafah, kata sifat yang berarti sistem pemerintahan Islam yang berdasarkan Al-Quran dan Sunnah. Ringkasnya, khalifah berarti pemimpin. Sedang khilafah, kepemimpinan, pemerintah dan pemerintahan.
Sebagai khalifah di muka bumi, pasca wafatnya Rasulullah para shahabat melaksanakan amanah Ilahi untuk mengelola bumi sesuai dengan yang dikehendaki Allah. Sistem khilafah ini pertama kali digunakan dalam politik Islam setelah Nabi Muhammad wafat, yaitu pada masa khalifah Abu Bakar. Dalam pidato inagurasinya Abu Bakar menyatakan dirinya sebagai Khalifah Rasul Allah, “Pengganti Rasulullah” yang bertugas meneruskan misi beliau.
Sistem pemerintahan yang dijalankan khalifah rasyidah, Abu Bakar Shidiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Ali Thalib. Itulah praktik sistem khilafah untuk menjalankan syariat Allah yang dijalankan oleh khalifah melanjutkan kepemimpinan Rasulullah.
Berdasarkan hadits di atas, sistem khilafah jelas bukan karya ulama yang terikat dengan situasi dan kondisi zamannya. Bukan ijtihad atau pun rekayasa para ulama, melainkan sistem pemerintahan warisan Nabi.
Khalifah rasyidah merupakan praktik dari amanah Quran bahwa manusia dijadikan khalifah di bumi. Tidak mungkin pelaksanaan sistem khilafah merujuk pada pola hidup kaum Yahudi, Nasrani, Komunis. Sistem khilafah merujuk pada Quran dan Hadits, bukan pada sekularisme, liberalisme, ataupun demokrasi. Praktik khilafah untuk mengamalkan syariat Islam terdapat dalam sistem pemerintahan yang dijalankan khalifah rasyidah.
Sejarah membuktikan, adalah “hil yang mustahal” -pinjam istilah pelawak Jojon- bisa meraih tujuan Islam (maqashidus syariah) untuk menjaga nyawa, menjaga agama, menjaga akal, menjaga keluarga, dan menjaga harta, di bawah naungan PBB.
Sebagai penjaga gawang Aswaja, mengapa organisasi para ulama lebih mempercayai ucapan Ziya Gokalp, Musthafa Kemal Attaturk dari Turki serta Luthfi as-Sayyid, Sa’ad Zaghlul, dan Ali Abd ar-Raziq, yang menjerumuskan negerinya pada racun sekulerisme, daripada mengikuti sunnah Rasulullah Saw? ISIS yang dibenci, mengapa khilafah yang dimusuhi?
Dalam kaitan ini, sungguh tepat dan relevan ucapan Khalifah Umar bin Khathab: “Dulu kita hina, lalu Allah memuliakan kita dengan Islam. Maka barangsiapa mencari kemuliaan selain Islam, maka Allah benar-benar akan menghinanya kembali”.
(Arrahmah)