[PORTAL-ISLAM.ID] KABUL — Sudah hampir dua tahun sejak Taliban merebut kekuasaan dari pemerintahan Afghanistan yang didukung Amerika Serikat. Berbagai aspek kehidupan masyarakat pun berubah drastis di rezim Taliban, terutama setelah hukum syariat kembali ditegakkan.
Namun, ada satu perubahan yang tidak disangka-sangka juga akan dirasakan para pejuang Taliban. Hari-hari mereka membela agama dengan gagah perkasa kini tinggal kenangan. Sekarang, mereka mau tak mau harus beradaptasi pada dunia PNS yang membosankan.
Keluh kesah mantan pejuang Taliban yang kini bekerja di sektor pemerintahan terangkum dalam artikel panjang yang disusun oleh Afghanistan Analytics Network, lembaga riset nirlaba yang berbasis di Kabul.
Pada saat diwawancarai oleh peneliti Sabawoon Samin, sejumlah anggota Taliban blak-blakan mengaku jenuh dengan pola hidup pegawai negeri sipil yang monoton. Mereka lebih memilih berjihad di medan pertempuran.
“Saya senang mendapat pekerjaan ini, tapi saya tidak bisa bohong kalau saya amat merindukan masa-masa jihad. Segala hal yang kami lakukan dulu termasuk ibadah,” ucap Kamran, seorang anggota Taliban ketika diwawancara Samin, seperti dikutip dari Vice News (6/2/2023).
Menurutnya, mantan mujahidin seperti dirinya harus kuat menahan ujian, seperti jalanan macet, godaan perempuan, jabatan dan kekayaan.
Rutinitas kerja yang membosankan juga disampaikan oleh Abdul Nafi, yang terkadang merindukan masa-masa jihadnya di masa lalu.
“Sejak diterima bekerja di kementerian, saya sering ngecek Twitter karena kebanyakan waktu kosong,” tutur lelaki berusia 25 itu, “Jaringan WiFi di kantor kami sangat cepat, makanya banyak mujahidin seperti saya yang kecanduan main internet, khususnya Twitter.”
Mantan penembak sniper bernama Huzaifa menyebut melaksanakan tugas jihad jauh lebih gampang daripada mengurus negara.
“Kami dulu cuma memikirkan strategi ta’aruz [serangan] untuk mengalahkan musuh dan mundur. Tidak ada kewajiban untuk memenuhi tuntutan apa pun. Tapi sekarang, kami akan disalahkan kalau rakyat sengsara atau kelaparan. Kerjaan kami juga cuma duduk sepanjang hari di depan laptop seminggu penuh. Saya bosan mengerjakan itu-itu saja.”
Tak jauh berbeda dengan Omar Mansur, Omar mengeluhkan kondisi ibukota yang sangat macet dan biaya kontrakan yang tinggi sehingga memaksanya untuk menahan diri untuk bepergian.
“Uang saya tidak cukup untuk mengajak keluarga tinggal di Kabul. Biaya kontrakan sangat tinggi, tapi gaji yang kami terima kurang dari 15.000 afghani [setara Rp2,5 juta],“ kata Omar.
“Kami dulu bisa pergi ke mana saja sesuka hati kami. Tapi sekarang, kami harus sudah ada di kantor sebelum pukul 8 pagi. Kami baru boleh meninggalkan meja kerja setelah pukul 4 sore. Kamu akan dianggap absen dan gajinya dipotong kalau tidak datang ke kantor tanpa alasan.”
Rutinitas kantoran, yang mesti berangkat kerja sebelum matahari terbit dan baru pulang setelah matahari terbenam, membuat kombatan seperti Abdul Salam (26) pun ikut kesulitan untuk menyesuaikan diri.
Di masa lalu, saat ia masih menjalani tugas jihad, keperluan sehari-hari anak istrinya ditanggung keluarga besar. Tapi sekarang, ia wajib memikul tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga.
“Gaji kami bisa dipotong kalau tidak datang ke kantor, atau tidak menaati peraturan. Imarah bisa mencari penggantimu.”
(arrahmah)