Anies dan Tradisi Sesat Demokrasi
Oleh: Yarifai Mappeaty
HAMPIR semua orang mempersepsi bahwa Anies Baswedan menjadi Gubernur DKI Jakarta, berkat andil Prabowo Subianto seorang. Mulai dari parpol pengusung hingga dana kampanye, semua ditanggung olehnya. Sedangkan Anies selaku calon gubernur, tinggal menjalani. Semua telah disiapkan. Pasangan pengantin Anies - Sandi, taunya hanya menurut kemana saja mereka diarak untuk berkampanye ke seluruh pelosok Jakarta.
Tetapi realitasnya tak benar-benar seperti itu. Sebab dalam surat pengakuan hutang Anies, mengungkap banyak hal yang selama ini samar. Terungkap bahwa ada sosok lain yang menjadi penyandang dana, yaitu, Aksa Mahmud. Tidak hanya itu, Aksa Mahmud bahkan juga sosok penting di balik terwujudnya koalisi PKS – Gerindra, yang kemudian mengusung Anies - Sandi.
Bahwa Prabowo dan Gerindra berjuang habis-habisan untuk memenangkan Anies – Sandi, tidak terbantahkan. Tanpa bermaksud mengecilkan yang lain, harus diakui kalau Gerindra memang tampil lebih spartan dan total. Sebab bagi Prabowo dan Gerindra, memenangkan Pilkada DKI 2017 adalah suatu keharusan, demi kepentingan yang lebih besar, yaitu, Pilpres 2019.
Hanya saja, sepanjang pilkada berlangsung, dana yang dijanjikan Aksa Mahmud tak kunjung turun. Hal itu membuat Anies dan Sandi serta tim pemenangannya gelisah. Sedangkan Prabowo yang disebut-sebut selama ini mensupport dana, ternyata tidak. Bagi Anies yang tidak punya lagi jalan mundur, mau tak mau, harus mencari jalan keluar. Solusi satu-satunya adalah mencari pinjaman.
Beruntung ada Sandi bisa mengatasi hal itu. Dari mana Sandi mendapatkan uang? Apakah uangnya sendiri atau dari pihak ketiga? Bukan itu soalnya. Tetapi terungkap bahwa Anies ternyata tidak dalam posisi tahu beres. Untuk membiayai tim pemenangannya, Anies terpaksa berhutang. Tercatat tiga kali menandatangani surat pernyataan pengakuan utang senilai 92 M. Sedangkan Sandi sendiri, konon, habis hingga ratusan milyar.
Surat pernyataan pengakuan utang tersebut, juga mengungkap kualitas integritas seorang Anies. Ia lebih memilih berhutang ketimbang menghamba pada pemodal, cukong. Padahal kalau Anies mau, antre cukong untuk membiayainya, terutama di putaran kedua yang sudah diprediksi menang secara mutlak.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa semenjak pilkada langsung diberlakukan, semenjak itu pula pilkada menjadi bisnis paling menggiurkan bagi para cukong. Sebab pada pilkada langsung, realitasnya, hasil akhir lebih banyak ditentukan oleh uang. Akibatnya, biaya politik menjadi mahal. Hal inilah yang mendorong para kandidat, mulai dari bupati, walikota, gubernur, mencari cukong. Capres? Mungkin juga. Hal ini sudah menjadi semacam tradisi sesat di dalam demokrasi kita.
Prakteknya, para kandidat mula-mula menyewa Lembaga survei agar dibuatkan laporan survei, di mana elektabilitasnya dibuat tertinggi. Berbekal laporan itu, mereka lalu mendatangi cukong, mengemis minta dibantu biaya mahar parpol pengusung, biaya kampanye, hingga biaya operasional tim pemenangan.
Bagi cukong yang sudah berpengalaman, tentu tak serta merta mengabulkannya. Tetapi terlebih dahulu menurunkan Lembaga survei. Jangan salah, cukong juga main survei, hanya tak pernah diekspose. Tetapi validitasnya jauh lebih bisa dipercaya ketimbang hasil survei yang dipamerkan. Kalaupun bocor, bocornya terbatas. Survei ala cukong inilah yang menemukan elektabilitas Anies tertinggi, sehingga jangan heran jika upaya menjegal Anies, tak akan berhenti.
Apa kompensasi yang diberikan kandidat kepada cukong jika terpilih? Tergantung seberapa besar bantuan yang diberikan oleh cukong. Mungkin kita kerap mendengar bahwa instansi semacam Dinas Pendidikan, PUPR, dan Kesehatan, diatur oleh “orang luar.” Itulah salah satu bentuk kompensasinya. Padahal kita tahu bahwa ketiga instansi itu berhubungan langsung dengan kemaslahatan rakyat.
Bagaimana pula jadinya bila seorang kepala daerah dikendalikan cukong? Lebih parah lagi. Ia hanya tampak berwibawa di depan umum, tapi bagi cukong, ia hanya boneka. Untuk menyembunyikan kebonekaannya, ia pun diberi sedikit kekuasaan untuk membuat kebijakan yang tampak pro rakyat.
Praktek tradisi sesat demokrasi di atas, coba dilawan oleh Anies pada Pilkada DKI Jakarta 2017 dengan bantuan Sandi. Konsekuensinya, Anies lebih memilih menandatangani surat pernyataan pengakuan utang ketimbang pergi mengemis pada cukong.
Padahal kalau mau, Anies tinggal memberi isyarat tak akan menghentikan proyek reklamasi Teluk Jakarta. Para pengembang yang telah memprediski kemenangan Anies, pasti tak segan datang menawarkan bantuan. Tetapi Anies beruntung memiliki Sandi. Sebab kalau tidak, Anies mungkin hanya bisa bertahan sembari menunggu kekalahannya diumumkan.
Oleh karena itu, meski hubungan politik Anies dan Sandi terkesan kurang baik belakangan ini, mari do’akan, semoga hubungan pribadi mereka berdua, tetap baik-baik saja.
(Sumber: FNN)