Smith Alhadar -Direktuf Eksekutif Institute for Democracy Education (IDe)
Orang-orang yang matang secara mental-spiritual, toleran, dan rendah hati, biasanya mereka yang, dalam perjalanan hidupnya, melintasi beragam simpul sosial-budaya yang bertingkat-tingkat. Anies Baswedan salah satunya.
Di rumah, ia dibesarkan dengan ilmu pengetahuan dan agama oleh kedua orangtuanya yang relijius dan terdidik. Artinya, agama yang ditanamkan kepadanya adalah Islam inklusif, yang memudahkannya menerima ilmu pengetahuan yang rasional. Bukankah Islam mewajibkan penganutnya menuntut ilmu untuk memfasilitasi jalan hidup mereka?
Seiring dengan itu, sejak dini Anies kecil telah dibuka wawasan nasionalisme oleh kakeknya, Abdurrahman Baswedan. Dalam salah satu kesempatan, Anies menyatakan sangat terkesan melihat kakeknya naik becak bersama dua tokoh Partai Katolik: Frans Seda dan Kasimo.
Dan ia mendengar sendiri percakapan mereka tentang permasalahan bangsa. Maka, ketika hari ini kita menyaksikan Anies akrab dengan semua komunitas agama dan politisi, itu bukan pencitraan untuk kepentingan politik, melainkan manifestasi penghayatannya pada agama yang dipeluknya bahwa perbedaan di antara manusia adalah kehendak Allah.
Sikap terbuka itu juga menggambarkan kesadarannya tentang keindonesiaan: bangsa muda yang masih bergelut dengan dirinya tentang postur kebangsaan yang mampu mengakomodir semua perbedaan secara dewasa, bukan nasionalisme picik yang dijadikan alat untuk menggebuk lawan debat.
Di luar rumah di Yogyakarta, Anies disusui oleh budaya Jawa yang paling matang. Bahasa Jawa yang bertingkat-tingkat adalah sebuah ikhtiar membangun struktur sosial-budaya yang dinamis di mana setiap anggotanya diajarkan menyesuaikan diri terus-menerus dalam interaksi sosial di masyarakat yang senantiasa berubah.
Ini membuat orang yang dilahirkan budaya itu menjadi toleran, sensitif, tawadhu, adaptif, dan terbuka pada perbedaan pendapat. Nilai-nilai ini melekat pada pribadi Anies. Seperti orang Jawa, ia tak meladeni debat kusir atau fitnah yang mengarah pada konflik, yang membuat manusia menjadi tidak produktif.
Bagi orang Jawa, manusia hanya dinilai dari adab, karya, dan cara dia berkomunikasi dengan orang lain. Memang interaksi sosial yang sehat, proporsional, dan bersifat tukar pikiran, akan melahirkan manusia yang berdaya dan menjamin keharmonisan sosial. Anies sering mengatakan, perbedaan di antara manusia adalah takdir, tapi persatuan yang terlahir dari kesamaan tujuan adalah pilihan.
Ketika kuliah di UGM, untuk pertama kalinya Anies menjadi orang Indonesia. Melalui interaksi intensif dengan teman-teman yang datang dari semua etnis, agama, dan budaya di negeri ini, membuka wawasan barunya tentang “Bhineka Tunggal Ika”.
Mau tak mau perangai dan komunikasinya mengindonesia untuk menjawab kebutuhan pergaulannya. Latar belakang budaya Jawa yang luwes dan internalisasi nilai-nilai Islam yang inklusif, memudahkannya berinteraksi dan beradaptasi dengan kehidupan kampus yang semarak.
Dan di kampus, nasionalismenya yang masih mentah menemukan wadahnya untuk berkembang. Ia pun mendapati sikap-sikap budaya dan pandangan keagamaan yang beragam, yang datang dari tradisi-tradisi lokal dan agama yang kaya. Bukan hanya Islam, melainkan juga agama-agama besar dunia.
Kenyataan ini meneguhkan keyakinannya bahwa pluralisme adalah jati diri bangsa yang hakiki. Dari sini ia memberikan penghargaan tinggi pada para founding father yang menemukan Pancasila sebagai ideologi/falsafah negara, yang merupakan sine quo non Republik Indonesia.
Kendati telah berorganisasi sejak SD, baru di kampuslah ia terlibat dalam organisasi yang bercorak nasional ketika menjadi kader HMI dan Ketua Senat Mahasiswa. Di kedua organisasi ini ia mematangkan diri dalam leadership dan mengadopsi nilai-nilai sosial-budaya baru khas Indonesia.
Pada tahap ini juga ia menekuni sejarah bangsa sehingga, dalam perjalanan waktu, berlangsung proses dialektika nilai dalam dirinya, antara nilai-nilai agama, budaya Jawa, dan nilai-nilai keindonesiaan yang dipengaruhi kehidupan kampus.
Perjumpaannya dengan teman-teman Muslim dari berbagai aliran Islam menyadarkannya bahwa corak Islam yang dianutnya hanyalah salah satu subkultur Islam di negeri ini. Dan tak perlu diubah karena yang terpenting adalah nilai-nilainya yang substantif dan transformatif.
Karena nilai-nilai Islam inilah Anies tidak kikuk berada di tengah aliran Islam manapun. Dalam hal bentuk-bentuk lahiriah dari agama bisa jadi ia sedikit berbeda dengan kelompok lain. Tapi dari esensi Islam yang “rahmatan lilalamin”, Anies tak dapat dibedakan dari kelompok Islam manapun. Bahkan, dari sisi adab dan akhlak, Anies jauh lebih representatif sebagai sosok yang dicita-citakan Islam ketimbang mereka yang menuduhnya pro-khilafah.
Sekali lagi, terkait esensi Islam, siapa yang berani mengatakan Anies berbeda dengan tokoh NU dan Muhammadiyah yang paling terkemuka? Sayang sekali saya harus mengatakan, Anies satu di antara sedikit pemuka agama di negeri ini yang berada di garis paling depan dalam mengusung universalisme Islam, seperti kejujuran, keadilan, amanah, toleransi, moderasi, cinta ilmu, kerja keras, dan kepedulian pada orang tertindas.
Kalau ada ormas Islam yang belum berkenan atau mencurigainya, itu lebih terkait dengan sentimen yang bersifat historis, kepentiangan politik parsial, dan perbedaan ritual agama. Terlalu culas dan jahat orang yang mengaitkannya dengan radikalisme.
Ketika kuliah S2 dan S3 di Amerika Serikat, ia bertransformasi menjadi manusia kosmopolitan. Di tengah masyarakat sekuler multiras paling maju, ia belajar menghargai kebebasan berekspresi yang hampir-hampir tanpa batas, toleran terhadap anek sikap budaya manusia yang datang dari budaya-budaya agung dari seluruh penjuru dunia, dan menyesuaikan diri dengan kehidupan sosial mondial.
Di sana juga ia belajar praksis demokrasi, sejarah AS untuk memahami apa saja yang menjadikan bangsa ini menjadi yang termaju di dunia, belajar tentang kemalangan hidup manusia yang diproduksi sistem sosial-budaya yang mengagungkan pencapaian materialistik individu.
Bersama dengan seluruh nilai yang dibawa dari tanah air, kosmopolitanisme AS membentuk jiwanya yang luas, yang mampu menampung segala perbedaan dari dunia yang rumit dan kompleks ini, dunia yang terus berubah dalam tempo yang makin cepat untuk mendukung kebutuhan tanpa batas manusia.
Alhasil, tahapan-tahapan kehidupan sosial-budaya yang dijalaninya menjadikan dirinya putera semua bangsa yang dilahirkan Ibu Pertiwi. Tak heran, ia dikenali dan dianggap sebagai anggota keluarga sendiri oleh semua kelompok sosial-budaya yang ada di muka bumi ini, kecuali oleh orang-orang yang membencinya untuk alasan yang sulit dimengerti. Tak heran, ia diundang berbagaj negara maju dan institusi-institusi internasional untuk berbagi ilmu dan pengalamannya demi dunia yang lebih baik.
Sebelum menjadi tokoh di negeri sendiri, Anies sudah lebih dahulu dikenal dunia melalui karya tulis di jurnal internasional. Ini karena pemikirannya menembus sekat-sekat primordialisme global, yang masih bertahan di negara paling maju sekalipun.
Sebelum memasuki dunia politik, Anies adalah aktivis sosial untuk mengeluarkan bangsanya dari kebodohan dan kemiskinan. Ia mendirikan “Gerakan Indonesia Mengajar” untuk membuka akses pendidikan bagi anak-anak miskin dari Sabang sampai Merauke karena ia yakin pendidikan adalah kunci untuk memajukan bangsanya. Konsistensinya mentransfer ilmu kepada masyarakat membawanya menjadi rektor di Universitas Paramadina dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Setelah itu, ia memperoleh kekuasaan politik lagi. Berdasarkan pertimbangan kapasitas intelektual dan integritasnya, parpol-parpol mengusungnya untuk diperhadapkan dengan gubernur petahana yang sangat populer. Anies menjadi simbol pikiran dan kearifan melawan Ahok yang jadi simbol otot dan arogansi. Hasilnya kita semua tahu.
Selama lima tahun memimpin Jakarta, Anies sebagai putera semua bangsa justru terlihat lebih menonjol. Ia menghadirkan keadilan bagi semua, termasuk seluruh agama minoritas yang dulu tidak memilihnya. Juga mengentaskan kemiskinan, mengharmoniskan hubungan antaragama, dan membuka ruang kebebasan berpendapat secara lebih luas. Demokrasi dipromosikan dan HAM ditegakan. Semua isu ini diperbincangkan komunitas internasional karena menjadi sumber pertikaian, penindasan, konflik, dan perang di berbagai negara.
Dalam konteks ini, Anies lebih maju dari pemimpin negara-negara besar yang mengklaim dirinya paling beradab. Seperti Presiden AS Donald Trump, Presiden Perancis Immanuel Macron, PM Hongaria Victor Orban, Presiden Cina Xi Jinping, dan PM India Narendra Modi, yang masih berpikir parochial dengan menolak dan menindas identitas budaya kaum Muslim.
Anies membangun Stadion Internasional Jakarta (JIS) dan sirkuit Formula-E untuk mengintegrasikan Indonesia ke dalam pergaulan internasional melalui sport, karena event-event olahraga internasional di Jakarta akan mempromosikan peradaban Indonesia ke selurun dunia. Ia memandang puncak-puncak kebudayaan daerah — yang merupakan kebudayaan Indonesia — layak disejajarkan dengan kebudayaan bangsa lain. Toh, kebudayaan Indonesia adalah persenyawaan tradisi-tradisi seluruh agama besar dunia dengan kebudayaan lokal Nusantara.
Walakin, ia menyadari bahwa upaya memajukan bangsanya akan lebih maksimal kalau ia memiliki kekuasaan politik yang lebih besar. Maka kini ia siap bertarung dalam politik elektoral 2024. Menjadi presiden Indonesia akan memungkinkannya merealisasikan gagasan-gagasan besarnya — yang hanya mungkin datang dari pribadi kosmopolitan yang cerdas — demi Ibu Pertiwi yang belum juga makmur dan belum mendapat respek yang wajar dari bangsa-bangsa lain.
Memang sumber daya alam dan sumber daya manusia kita yang melimpah tak sebanding dengan tingkat kemajuan yang kita capai. Penyebabnya adalah rezim ekstraktif, melayani oligarki, pemimpin yang tidak kompeten, tak punya visi, bertahannya spirit feodalisme, dan korupsi yang makin membudaya.
Anies diharapkan mengonsolidasi demokrasi yang merosot, merestorasi kerusakan ekonomi-politik, merukunkan kembali masyarakat yang terbelah, memulihkan fungsi-fungsi lembaga negara, merumuskan kembali politik luar negeri yang hanya melayani kepentingan nasional, bukan kepentingan negara asing, serta menegakkan wibawa bangsa di panggung internasional. Inilah isu-isu mendasar yang sampai sekarang masih diusahakan oleh semua pemimpin dunia.
Tangsel, 15 Februari 2023