Apa yang salah dari twit 'ucapan selamat' Presiden Komisi Eropa, Ursula Vonderleyen kepada PM Israel, Benjamin Netanyahu yang diselingi harapan untuk meningkatkan kerjasama dalam menciptakan perdamaian di Timur Tengah dan menghadapi invasi Rusia atas Ukraina?
Bagi orang yang miskin konteks, ucapan ini seperti tidak menjadi masalah karena merupakan standar diplomasi dan harapan positif.
Namun lihat bagaimana respon etis publik yang teredukasi? Hingga pagi ini, twit Ursula dikomentari 3134 netizen dan 1366 retwit yang dengan pernyataan.
Jika anda scroll dengan sabar, maka saya 'pastikan' 99,9% tanggapan atas twitnya adalah kecaman dan sumpah serapah dari netizen di seluruh dunia. Karena dia adalah Presiden Komisi Eropa, maka asumsinya mayoritas penanggapnya adalah orang Eropa sendiri.
Coba anda simak beberapa kutipan komentar:
"Mempromosikan perdamaian kepada pemimpin politik yang punya catatan ribuan pembunuhan atas rakyat Palestina selama berkuasa adalah pernyataan hina dan memalukan".
"Mempromosikan perdamaian sama saja dengan pembasmian etnik."
Mengapa harapan 'baik' ternyata dikecam hebat dan ditanggapi secara negatif? Alasannya sederhana: Presiden Komisi Eropa kehilangan konteks.
Dalam standar 'public policy', mengutip Francesca Albanese, penyelidik khusus PBB, di tengah gelombang kekerasan dan pembunuhan harian atas warga Palestina, pengusiran dan perampasan tanah mereka serta ucapan rasis Netanyahu untuk menjadikan Palestina sebagai wilayah permanen Israel, maka sebagai Presiden Uni Eropa, dia seharusnya mengecam dan memberi sanksi Israel karena melanggar prinsip dan nilai Uni Eropa.
Karena derasnya kecaman, Grace O Sullivan, partnernya di parlemen Uni Eropa menasehati lewat twitnya, "Hapuslah twit anda."
Grace tampaknya paham, jika Ursula tidak menghapus twitnya di tengah arus deras kecaman, orang akan semakin berprasangka jika di balik egoisme presiden Komisi Eropa tersimpan pesan dari alam bawah sadarnya, supremasi dan diskriminasi kulit putih.
Sehingga Doc Martin, twips asal Irlandia menyindir: "Mengapa tidak terus terang saja, anda sedang mempromosikan ideologi supremasi kulit putih."
Memang faktanya, Eropa dulu mendukung pemerintahan Apartheid kulit putih di Afrika Selatan sebelum digulingkan Nelson Mandela, dan kini tanpa malu tetap mendukung pemerintahan apartheid kulit putih di Timur Tengah (Israel).
Dalam konteks di atas, maka setiap ucapan, tindakan dan kebijakan yang 'mempromosikan' pemerintahan Zionis Israel, apalagi negara Islam yang mengklaim urusan Palestina menjadi bagian dari kebijakan luar negerinya pasti akan dicap sebagai kontra-produktif, mengabaikan akal sehat dan melukai umat manusia.
Salam Akal Sehat.
(Ahmad Dzakirin)