‘No eternal allies, no perpetual enemies’ (Tidak ada sekutu abadi, tidak ada musuh abadi), salah satu quote yang paling terkenal dan akurat dalam menggambarkan hubungan internasional. Quote ini pertama diucapkan oleh mantan Perdana Menteri Inggris Henry Palmerston di Parlemen Inggris pada tahun 1848.
Quote itu mungkin juga secara akurat menggambarkan keadaan hubungan luar negeri Turki saat ini. Beberapa minggu yang lalu Presiden Recep Tayyip Erdogan mengutip quote tersebut ketika membicarakan keinginannya untuk membuka kembali hubungan dengan Suriah. Media-media memberitakan bahwa tawaran Presiden Erdogan untuk pertemuan dengan Presiden Bashar Al Assad ditolak oleh Suriah.
Namun lagi-lagi kalau berbicara tentang kepentingan nasional, kalaupun harus berjabat tangan dengan musuh, so be it!
Kemarin tanggal 29 Desember 2022, banyak orang dikagetkan dengan pertemuan trilateral di Moskow, antara Menhan Turki plus Kepala Intelijennya, dan Menhan Suriah plus Kepala Intelijennya serta Menhan Rusia.
Setelah 11 tahun lebih Suriah dan Turki “gontok-gontokan”, akhirnya ujung tombak militer dan keamanan kedua negara bisa “didudukkan” di satu meja oleh Rusia, sebuah harapan besar minggu depan atau depannya lagi Menlu kedua negara bisa bertemu dan dilanjutkan oleh Presiden kedua negara. Guna mengakhiri konflik yang sedang terjadi di Suriah, karena untuk saat ini kendala terbesar adalah hubungan Suriah-Turki yang menghalangi berakhirnya konflik, bukan lengsernya Presiden Assad, karena itu bukan lagi opsi, begitu pengakuan Barat.
Sebenarnya, setelah 10 tahun lebih intervensi Turki dalam konflik Suriah, telah menciptakan sejumlah problematika yang tidak bersifat bilateral, dalam artian bisa diselesaikan dengan normalisasi hubungan Suriah-Turki. Tetapi sebagian besar adalah problematika multilateral rumit yang melibatkan banyak pihak dan diperlukan jalur negosiasi yang sulit dan panjang, tentunya dengan sejumlah konsesi dari berbagai pihak.
Presiden Assad mungkin tidak yakin pada komitmen Presiden Erdogan terhadap perjanjian apa pun, terutama kesepakatan yang mungkin bisa ditunda sampai Pilpres Turki selesai, meskipun Rusia menjadikan dirinya sebagai penjamin implementasi komitmen Presiden Erdogan. Buktinya perjanjian sebelumnya yang ditandatangani presiden Erdogan dengan presiden Putin di Sochi pada Maret 2020, banyak yang tidak diimplementasikan oleh Turki.
Tampaknya Rusia dan Iran, selaku sekutu utama Presiden al-Assad, lebih memilih presiden Erdogan menang kembali dalam pemilihan presiden Turki pada pertengahan tahun depan.
Karena presiden Erdogan dianggap lebih memiliki kebijakan independen dari NATO, dan “menjaga jarak” dari strategi AS di Ukraina untuk mengalahkan Rusia.
Presiden Erdogan juga memiliki kesepahaman dengan Rusia dan Iran di negara-negara Asia Tengah dan dalam krisis Nagorno-Karabakh antara Armenia dan Azerbaijan, serta Astana Process dalam konflik Suriah, serta tidak terlalu patuh terhadap sanksi yang dijatuhkan oleh Barat pada Iran.
Dalam hal ini, Moskow, serta Teheran, mungkin sedikit khawatir apabila oposisi pro-Barat yang menang dalam Pilpres Turki akan membawa Turki kembali loyal pada kebijakan AS dan strategi NATO.
Bagi Moskow dan Teheran, memilih mendukung Presiden RTE adalah pilihan atas dasar prinsip “akhaffu dhararain” atau lesser of two evils (memilih mudorat yang lebih ringan 😀).
Kembali ke pertemuan trilateral di Moskow dua hari lalu, baik Turki, Rusia ataupun Suriah mengomentari sebagai “pertemuan yang positif”. Namun menariknya, tak satu poto pun leaked ke publik yang mengumpulkan 3 pejabat negara itu. Besar kemungkinan, isi pembicaraan pun yang disebarkan hanya sedikit saja, tidak semuanya. Pertemuan tersebut membahas 3 poin utama:
Pertama: Koordinasi penanggulangan kelompok teroris
Bagi Ankara, kelompok teroris adalah Syrian Democratic Forces (SDF), sementara bagi Damaskus kelompok teroris adalah pasukan oposisi bersenjata (baca: Mujahidin Suriah) yang dilindungi oleh Turki di Suriah bagian utara. Damaskus tidak menganggap SDF sebagai kelompok teroris, meskipun SDF bersifat separatis dan bekerjasama dengan AS serta menguasai seluruh ladang minyak Suriah yang seharusnya digunakan oleh rakyat Suriah. Ankara pun demikian, tidak menganggap kelompok oposisi bersenjata di Utara Suriah sebagai kelompok teroris, justru menganggapnya sebagai sekutu dan “proxy” untuk memerangi kelompok SDF.
Tidak mungkin untuk mencapai kesepahaman antara Damaskus dan Ankara terkait dengan masa depan wilayah Timur Laut Suriah yang dikuasai oleh SDF tanpa mengatasi kendala kehadiran Amerika, yang menjadikan wilayah Timur Laut Suriah sebagai wilayah pengaruh Amerika. Penempatan pasukan Amerika di wilayah tersebut dan di perbatasan Suriah-Irak-Yordania sangat penting bagi Washington karena, pertama, menjaga keseimbangan dengan kehadiran Rusia dan Iran, dan kedua, memutus jalur komunikasi darat antara Iran, Irak, dan Suriah, sampai ke Lebanon.
Adapun utara Suriah, di mana terdapat kelompok ekstremis yang dilindungi Turki, seperti kelompok Haiat Tahrir Sham (HTS) yang dikategorikan sebagai kelompok teroris oleh PBB, itu juga menjadi masalah baru bagi Turki. Presiden Erdogan sekarang tidak dapat memasukkan mereka dalam kategori teroris, dan berkoordinasi dengan Damaskus untuk melenyapkan mereka. Karena dia tahu bahwa jika dia melakukannya, dia akan kehilangan suara dari segmen penting basis elektoral Islamis garis kerasnya, yang bersimpati kepada mereka. Oleh karena itu, sepertinya presiden Erdogan tidak akan melakukan perubahan apapun dalam mekanisme penanganan kelompok-kelompok tersebut saat ini, setidaknya sebelum hasil pemilu presiden selesai.
Kedua, Penarikan pasukan Turki dari Suriah
Sepertinya, Presiden Erdogan tidak akan melakukan penarikan apa pun dari wilayah mana pun yang ditempati oleh pasukannya di Suriah sebelum pemilihan presiden. Alternatifnya adalah membuat pledge dan janji ke pihak Suriah dengan jaminan bersama Rusia-Iran.
Bagaimanapun, penarikan pasukan Turki akan membutuhkan jalan dan waktu panjang, karena penarikan ini akan menyangkut dengan pembahasan nasib kelompok bersenjata dan Interim Government oposisi yang dibentuk dan didukung oleh Ankara yang menguasai beberapa wilayah di utara Suriah.
Ketiga, Pemulangan para pengungsi Suriah di Turki
Poin ini adalah yang terpenting bagi Turki, dan merupakan kartu presiden Erdogan untuk memperkuat posisi dan elektabilitasnya dalam Pilpres. Apalagi sejauh ini Turki dianggap telah gagal untuk membangun buffer zone di dalam wilayah Suriah untuk menempatkan para pengungsi.
Jalan pintas adalah dengan cincai-cincai dengan Presiden Assad dan mengembalikan para pengungsi ke kota dan desa mereka masing-masing tidak dengan membangun rumah bagi mereka di perbatasan.
Kembalinya satu juta atau lebih pengungsi Suriah ke Suriah akan meningkatkan dan memperburuk krisis ekonomi dan kehidupan rakyat Suriah karena blockade Amerika dan sanksi Barat. Oleh karena itu, Ankara perlu mengambil keputusan untuk menghentikan blockade dan membuka jalur perdagangan dari Turki melalui Suriah menuju negara-negara Arab, dan meningkatkan kerja sama perdagangan.
Suriah berkepentingan untuk membangun hubungan terbaik dengan Turki selaku tetangga, terlepas siapapun pemerintahnya.
Semoga tahun 2023, sebagaimana the most anticipated years bagi Turki, bisa lebih baik juga bagi Suriah. Biarlah waktu yang menjawab....
(Saief Alemdar)