Oleh: Smith Alhadar, Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDe)
Pak Jokowi yang saya hormati,
Semoga Bapak sehat jiwa raga. Surat ini saya tulis di bawah atmosfir politik nasional yang kian buram menjelang pilpres setahun lagi. Rakyat di mana-mana dengan kecemasan yang makin menggumpal terus bertanya apakah pilpres jadi dilaksanakan tepat waktu?
Pertanyaan mereka masuk akal dan beralasan. Pasalnya, hampir tiga tahun ini, para petinggi negara, ketua parpol, menteri, dan Projo, terus mewacanakan perpanjangan masa jabatan Bapak atau presiden tiga periode, seolah Bapak adalah pemimpin luar biasa yang khusus dianugerahkan Tuhan untuk rakyat Indonesia yang hidupnya selalu malang.
Bukankah ini wacana yang tidak senonoh dalam konteks kelangsungan demokrasi dan konstitusi? Lebih dari itu, rakyat ingin perubahan pasca 2024. Saya yakin Bapak juga tahu diri bahwa bukan lagi kapasitas Bapak untuk mengatasi dan menghadapi masalah dan tantangan besar di depan. Jubah yang Bapak kenakan sudah terlalu longgar untuk masa itu bukan? Artinya, sesuai hukum besi sosial atau sunnatullah, Bapak sudah menjadi manusia kadaluarsa untuk perubahan-perubahan yang akan membentuk masalah baru ke depan.
Apalagi, di tengah kemerosotan kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini dan masalah-masalah besar yang akan Bapak wariskan nanti, bangsa ini memerlukan pemimpin baru yang extraordinary untuk merestorasi kerusakan yang terjadi dan menghadirkan perubahan sesuai keinginan rakyat dan kehendak zaman.
Pak Jokowi yang saya hormati,
Rakyat senang bukan main ketika dua tahun lalu Bapak mengatakan orang-orang yang menginginkan Bapak berkuasa lebih lama adalah mereka yang mau cari muka, menampar, dan menjerumuskan Bapak. Bapak benar! Lihat, Soekarno dan Soeharto — juga banyak pemimpin otoriter sepanjang sejarah — jatuh secara hina karena terlalu asyik dengan kekuasaan. Megawati Soekarnoputri, majikan Bapak, tahu itu sehingga beliau taat pada konstitusi. Karena itu, beliau terheran-heran atas munculnya gagasan penundaan pemilu.
Belakangan ini rakyat menjadi ragu pada komitmen Bapak melaksanakan pilpres tepat waktu karena Bapak menyatakan wacana perpanjangan masa jabatan atau tiga periode masih sesuai dengan spirit demokrasi. Bagaimana mungkin upaya menabrak konstitusi masih sesuai dengan demokrasi? Demokrasi adalah mekanisme politik yang dijaga konstitusi. Bila konstitusi dilanggar, demokrasi akan masuk jurang kebinasaan dan memunculkan anarki.
Memang bila konstitusi diubah melalui amandemen, yang mungkin sedang diusahakan kekuatan-kekuatan konspiratif, tiga periode bisa saja legitimate. Tapi mengapa jalan berbahaya untuk kelangsungan hidup negara harus ditempuh ketika tidak ada situasi genting yang memaksa? Logikanya, kalau pemerintahan Bapak gagal mengatasi ekonomi apapun alasannya, harus ada pergantian pemerintahan untuk mengatasinya, bukan malah memperpanjang pemerintahan yang sudah terbukti gagal. Memang ekonomi kita masih tumbuh ketika ekonomi banyak negara di dunia ngungsep. Tapi bukankah kemiskinan di Indonesia meluas, pengangguran melejit, dan utang kita makin mengkhawatirkan?
Pak Jokowi yang saya hormati,
Kalau benar Bapak tak ingin terus berkuasa, Bapak harus tampil di tengah publik seraya secara tegas mendeklarasikan bahwa Bapak tak ingin berkuasa melebihi periode yang ditetapkan konstitusi dan bahwa pilpres akan berlangsung pada 14 Februari 2024. Lebih jauh, Bapak harus melarang para elite dan pembantu Bapak mewacanakan perpanjangan masa jabatan atau tiga periode, bukan malah diam atau, bahkan, memberi kesan kuat Bapak mendukung gagasan itu.
Toh, terkesan Bapak bertingkah laku seperti orang yang haus kekuasaan. Memang pasti Bapak ingin berkuasa lebih lama karena kekuasaan itu nikmat luar biasa. Tapi politik itu punya norma dan etika yang harus dihormati demi menjaga martabat bangsa. Tak salah juga kalau rakyat berasumsi orang-orang yang mewacanakan perpanjangan masa jabatan atau presiden tiga periode berlangsung atas dorongan Bapak. Ketika gagasan itu ditolak rakyat beramai-ramai, muncul gagasan alternatif: merekayasa pilpres hanya diikuti dua pasang calon, yang pemenangnya pasangan yang direstui Bapak. Rakyat tak ingin percaya pada informasi ini, tapi sumber-sumbernya sangat bisa dipercaya. Apa yang dikatakan Hasnaeni Moein atau perempuan emas — yang mengutip pernyataan Ketua KPU Hasyim Asy’ari bahwa bahwa pemenang pilpres adalah pasangan Ganjar Pranowo-Erick Thohir — juga sulit ditolak. Bukankah bukan rahasia lagi bahwa pasangan ini merupakan favorit Bapak?
Mereka akan melanjutkan program pembangunan dan kebijakan pemerintahan Bapak, seolah di bawah pemerintahan Bapak rakyat telah hidup nyaman aman sentosa sehingga perlu dilanjutkan. Ampun! Di mana-mana pemilu bertujuan menghadirkan pemimpin baru dalam segala hal untuk menjawab tantangan baru, bukan melanjutkan status quo. Enough is enough, Pak. Bukan tidak suka, tapi rakyat sudah mau muntah dengan pemerintahan Bapak. Mohon jangan diteruskan.
Pak Jokowi yang saya hormati,
Biarkan pilpres berjalan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber jurdil). Ini keinginan rakyat, sekaligus sesuai norma demokrasi. Tak usah merekayasa agar calon tertentu — yang ingin menghadirkan perubahan demi rakyat, bangsa, dan negara — disingkirkan dari arena kontestasi. Dari semua presiden sejak Soekarno, hanya Soeharto yang melakukan hal kotor semacam ini. Politik bukan tujuan menghalalkan cara seperti difahami para raja dahulu kala, melainkan sarana beradab untuk melayani kepentingan rakyat, pemilik kedaulatan itu sendiri.
Mengapa figur yang punya kapasitas, leadership, dan pikiran yang cemerlang harus dicabut hak politiknya untuk menjadi calon pemimpin? Rakyat jadi bertanya-tanya: sebenarnya pilpres bertujuan menghadirkan kemajuan dan kejayaan bangsa atau menjaga kepentingan presiden sebelumnya? Rakyat menduga berbagai tindakan institusi negara dan manuver para menteri, petinggi negara, serta ketua parpol terkait pilpres bertujuan menghalangi Anies Baswedan berpartisipasi dalam pemilu sebagai capres.
Dugaan rakyat itu masuk akal mengingat Anies adalah tokoh independen dan punya visi-misi berbeda dengan Bapak kalaupun Bapak punya visi-misi. Dia juga ditengarai tak akan tunduk pada kemauan oligarki ekonomi dan politik yang merampas hak dan kedaulatan rakyat. Lihat, ketika Bapak memihak pada para taipan yang berkuasa atas proyek belasan pulau reklamasi di Teluk Jakarta, Anies melawannya.
Bukan karena dia antipemodal, tapi karena dia berpendapat setiap kebijakan yang dikeluarkan negara harus bersendikan keadilan bagi semua sesuai cita-cita proklamasi kemerdekaan. Bukankah proyek reklamasi itu menyingkirkan nafkah nelayan kecil dan merusak lingkungan?
Sangat mungkin, bila nanti jadi presiden, Anies juga akan menguatkan kembali KPK sesuai semangat reformasi untuk memberantas korupsi, menilik ulang Perppu Cipta Kerja yang merugikan buruh dan merusak tatanan demokrasi serta sistem negara hukum yang menjadi keprihatinan banyak pihak, tidak melindungi karir politik anak, menantu, dan ipar Bapak, serta memulihkan mekanisme hukum terkait penggantian hakim Mahkamah Konstitusi.
Pak Jokowi yang saya hormati,
Tentu masih akan ada banyak hal yang akan direstorasi Anies sesuai aspirasi rakyat dan amanat konstitusi. Saya maklumi kecemasan Bapak terkait fenomena Anies. Tapi bukankah ini baik untuk rakyat, bangsa, dan negara? Dalam kedudukan Bapak sebagai manusia, saya juga faham akan keinginan Bapak melihat legacy Bapak dijaga, bahkan diteruskan pengganti Bapak. Tapi haruskah kita pertahankan hal-hal yang menjadi keprihatinan rakyat banyak? Mungkin hanya manusia sombong dan pongah yang punya kerangka pikiran seperti ini. Maaf kalau saya terlalu menohok tapi, sebagaimana sabda Nabi, kebenaran harus disampaikan meskipun pahit.
Dulu, rakyat memilih Bapak karena Bapak nampak sederhana, polos, jujur, dan menjanjikan banyak hal — termasuk revolusi mental — yang akan menghadirkan kemakmuran rakyat dan kemajuan bangsa. Sayang, imajinasi rakyat itu bubar setelah melihat Bapak bukan datang dari kalangan mereka. Yang masih mengatakan Bapak adalah satu dari mereka adalah buzzer yang dibayar istana. Artinya, Bapak tak seperti yang mereka kira. Maaf, rakyat melihat ambisi pribadi dan kepentingan keluarga, pro-oligarki, dan ambisius terhadap kekuasaan lebih melekat pada diri Bapak. Setidaknya, itu yang berkesan pada rakyat. Maaf kalau saya salah.
Bagaimanapun, Bapak masih akan dihargai kalau tidak ikut mencampuri urusan pilpres sebagaimana para pemimpin di negeri beradab. Bapak hanya perlu melakukan yang terbaik untuk rakyat sesuai kapasitas Bapak di sisa pemerintahan Bapak. Siapa tahu secara ajaib Bapak berhasil meskipun saya pribadi pesimis. Memang Bapak tak akan mungkin mampu menyelesaikan masalah bangsa yang terus bermunculan dan membesar seperti bola salju, tapi setidaknya Bapak tak menambah masalah baru dengan terus berkuasa atau menciptakan pemimpin baru yang sepikiran dengan Bapak dan terbukti gagal menyejahterakan rakyat di Jawa Tengah.
Selain kesalahan kebijakan Bapak dalam delapan tahun terakhir, isu perubahan iklim, kemunduran di segala lini negara disebabkan hantaman pandemi covid-19, dan resesi dunia akibat perang Ukraina, merupakan masalah berat yang dihadapi bangsa saat ini dan ke depan, yang berada di luar kapasitas Bapak untuk mengatasinya.
Maka akan sangat bijaksana bila Bapak ikut mendorong bagi munculnya pengganti Bapak yang berpikir out of the box, berkomitmen pada demokrasi dan negara hukum, pemberantasan korupsi, penegakan HAM, dan keadilan sosial bagi semua, demi kemaslahan kita bersama. Ibarat kapal, kita sedang di tengah laut bergelombang tinggi disertai badai. Bahtera Nabi Nuh sedang oleng sementara kapten tak cukup cakap. Yang menyedihkan, dalam situasi gawat ini, kapten ingin mengganti dirinya dengan kapten yang sama kapasitasnya dengan dirinya. Naufzubillah min zalik. Akhirnya, saya berterima kasih kalau Bapak menghargai surat ini. Maaf, kalau ada yang tak berkenan di hati Bapak.
Tangsel, 5 Des 2023
Sumber : suaranasional