*Foto: Teungku Daoed Beureueh (bertongkat)
Tahun 1948 Pusat Pemerintahan Indonesia di Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda. Teungku Husen Al-Mujahid dan Teungku Hasan Krueng Kalee—mereka menghadap secara terpisah—mengajak Teungku Daoed Beureueh memisahkan diri dari Indonesia yang baru berusia seumur jagung.
Husen Al-Mujahid dan Teungku Hasan Krueng Kalee melihat bahwa saat itu waktu paling tepat Aceh kembali berdiri sebagai sebuah negara, melanjutkan jejak masa lalu yang masih sangat dekat untuk disambung. Mendirikan negara Islam dengan falsafah Islam yang sesungguhnya.
Tapi Ketua Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) Teungku Daoed Bereueh menolak secara tegas. Bagi Teungku Daoed Beureueh Indonesia dan Pancasila sudah lebih dari cukup bila ingin mewujudkan mimpi yang dicita-citakan.
Sejak proklamir kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Pulau Jawa yang menjadi Pusat Pemerintahan Indonesia tidak benar-benar merdeka. Pemerintah Belanda berhasil kembali ke sana dengan gilang gemilang.
Sepanjang 1945-1949, Aceh merupakan satu-satunya daerah yang belum kembali dijamah oleh Belanda yang kembali ke Hindia Belanda. Pengalaman perang 80 tahun yang pernah Belanda lalui di Aceh, benar-benar menjadi pelajaran berharga bagi kaphee penjajah itu. (kaphee = kafir)
Pada Juli 1946 Belanda menggelar Konferensi Malino. Pertemuan itu menghasilkan pembentukan negara-negara federal yang oleh pihak pro republik menyebutnya negara boneka yaitu: Sumatera Timur, Negara Indonesia Timur, Negara Madura, Negara Jawa Timur, Negara Pasundan, Negara Sumatera Selatan, dll.
Kala itu, Gubernur Jenderal Dr. Hubertus J. Van Mook, memerintahkan Wali Negara Sumatera Timur mengadakan Muktamar Sumatera, dengan tujuan membujuk Daoed Beureuh bergabung ke dalam negara federal tersebut. Aceh masih menjadi persoalan karena belum berhasil diduduki oleh Belanda setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia 1945.
Pada 17 Maret 1949, Wali Negara Sumatera Timur mengirimkan surat kepada Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo Jenderal Mayor Teungku Muhammad Daoed Beureueh.
Surat Wali Negara Sumatera Timur dibawa oleh Daoed Beureueh ke dalam rapat yang digelar 20 Maret 1949. Dalam Sidang Dewan Pertahanan Daerah yang dipimpin langsung Jenderal Mayor (tituler) Daoed Beureueh memutuskan beberapa hal:
1. Undangan Tengku Mansur dengan Mukhtamar Sumatera dipandang sebagai babakan lanjutan dari “sandiwara Malino” Van Mook.
2. Surat Tengku Mansur tidak akan dijawab, tetapi Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo akan mengeluarkan sebuah pernyataan tentang Mukhtamar Sumatera-nya Van Mook-Tengku Mansur.
3. Pertahanan daerah dalam arti seluas-luasnya akan ditingkatkan untuk sanggup menghadapi segala kemungkinan.
4. Usaha-usaha untuk membantu perjuangan rakyat di daerah-daerah pendudukan di luar Aceh akan tambah digiatkan. Baik yang berupa senjata, bahan pakaian, bahan makanan, dan sebagainya.
5. Penyediaan devisa untuk biaya perjuangan Republik Indonesia di luar negeri akan tambah diperhebat.
6. Aceh akan tetap menjadi bahagian tidak terpisahkan dari Republik Indonesia yang diproklamirkan oleh Sukarno Hatta.
Keputusan tersebut kemudian diumumkan melalui Radio Republik Indonesia (RRI), melalui surat kabar Semangat Merdeka, dan melalui mimbar-mimbar khutbah Jumat.
Surat Kabar Semangat Merdeka menulis keputusan-keputusan tersebut sebagai berikut:
"Perasaan kedaerahan di Aceh tidak ada. Sebab itu tidak bermaksud membentuk Aceh raya sebagai Tapanuli Raya, Bengkulu Raya, Bangka raya, dll. Karena itu di sini adalah semangat Republiken."
Jauh hari sebelumnya, Daoed Bereueh telah membuktikan—berkali-kali—kecintaannya terhadap Indonesia yang masih berusia seumur jagung. Perang Medan Area yang fenomenal merupakan pertempuran antara rakyat Aceh yang turun ke gelanggang setelah rakyat dan militer Indonesia di Sumatera Utara tidak dapat mempertahankan diri dari serangan tentara Sekutu dan NICA. Divisi X Gadjah Putih memegang peranan besar dalam perang tersebut. Bahkan kendaraan lapis baja tank yang bermarkas di Juli, Bireuen ikut dibawa ke Medan Area.
Daoed Bereueh juga berhasil mengajak rakyat Aceh menyumbang harta benda, demi memberikan dua unit pesawat terbang kepada Indonesia yang saat itu baru lahir dan kondisi miskin.
Bahkan, dalam kedudukannya sebagai Gubernur Militer, Daoed Beureueh merupakan petinggi militer pertama di Indonesia yang berhasil menyatukan laskar rakyat ke dalam TNI tanpa kendala berarti.
Tuba untuk Daoed Beureueh
Sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo, Daoed Beureueh bertambah besar sebagai tokoh politik, agama, dan militer. Namanya dielu-elukan di berbagai penjuru. Konon lagi setelah seluruh pengaruh kaum uleebalang berhasil ia redam lewat revolusi penuh darah. Nama Teungku Daoed agung sebagai sosok utama; tanpa saingan.
Namun, pengorbanannya kepada Indonesia, ketulusannya membela Indonesia, kebanggaannya diberikan jabatan besar, harus pudar dalam tempo tidak lama. Pertengahan 1950, Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) yang dipimpin oleh Kolonel Abdul Haris Nasution membubarkan Divisi X Komandemen Sumatera. Di Aceh hanya ditempatkan satu brigade, yang tunduk di bawah Divisi Bukit Barisan di Medan.
Panglima Divisi X Kolonel Husen Yusuf menghadap KSAD di Jakarta. Sayangnya, pihak MBAD justru memberikan jawaban “Kalian orang militer yang wajib mematuhi segala titah dan mentaati segala perintah dan taatilah perintah ini tanpa embel-embel.” Maka hari itu sahlah Divisi X dibubarkan.
Karena tidak lagi menjabat sebagai Panglima Divisi, pangkat Husen Jusuf diturunkan menjadi Letnan Kolonel.Pun demikian, Husen Yusuf belum menerima pembubaran Divisi X.
Panglima Divisi Bukit Barisan Alex Kawilarang datang ke Aceh, dan berpesan supaya Husen Yusuf menemuinya. Namun karena masih merasa bahwa dirinya panglima dan belum menerima keputusan pembubaran Divisi X, Husen Yusuf menolak perintah menghadap. Ia memilih pulang ke Bireuen.
Penolakan Husen Yusuf dipandang oleh Alex Kawilarang sebagai tindakan indisipliner. Ia segera memecat Husen Yusuf melalui secarik kertas, kala sang Panglima Divisi masih berada di Lapangan Udara Blang Bintang.
Pembubaran Divisi X, secara otomatis juga penarikan persenjataan dan aset ke Medan. Sebagai brigade, tak mungkin Aceh mengelola banyak alat tempur. Kesatuan artileri di Ule Lheu dipindahkan ke Medan, demikian juga grup musik yang dipimpin Oom Pangky Wim Tamawai. Batalion-batalion Aceh dipindahkan ke luar Serambi Mekkah. Sebagai pengganti batalion lama, dikirimkan batalion-batalion dari luar Aceh, yang banyak di antaranya non muslim; dan dalam prakteknya di Aceh, mereka sangat arogan, membabi buta, tak tahu adab, tak menghargai Islam.
Setelah pembubaran Divisi X, lahir pula Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1950 tentang pembubaran Provinsi Aceh. Kemudian diikuti PP Nomor 21 Tahun 1950 tanggal 20 Agustus 1950 yang menetapkan bahwa di Sumatera hanya ada tiga provinsi yaitu Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Sumatera Tengah.
Bertambah luka hati Daoed Beureueh dan segenap rakyat Aceh. Aceh yang memberikan susu supaya bayi Indonesia bisa hidup, justru Indonesia meniadakan Aceh. Di mana Sumatera Utara ketika kedaulatan Indonesia hanya tersisa di Aceh? di mana daerah lainnya ketika Indonesia nyaris tinggal nama? Di mana daerah lain, ketika hanya di Aceh laskar dan militer bersatu padu melawan masuknya kembali Belanda?
Pembubaran Provinsi Aceh tidak diterima begitu saja oleh Teungku Daoed Beureueh dan petinggi-petinggi lainnya. Mereka melakukan sejumlah komunikasi ke Pusat. Tapi hasilnya selalu saja gagal. Pada 14 November 1950, secara administrasi Provinsi Aceh dibubarkan. Seluruh belanja dan gaji pegawai di Aceh hanya baru dapat diberikan setelah ada persetujuan acting Gubernur Sumatera Utara.
Di tengah kegalauan rakyat dan pemimpin Aceh yang berduka karena Provinsi Aceh dibubarkan, tindakan-tindakan pejabat Sumatera Utara juga menambah sakit hati. Pejabat sipil dan militer Sumatera Utara berlagak seperti penjajah. Dalam bingkai negara kesatuan, mereka menghina Aceh, mencela pemimpin Aceh, dan menghinadinakan rakyat dan pemimpinnya.
Para perwira militer Divisi Bukit Barisan menangkapi pemimpin-pemimpin Aceh tanpa jelas kesalahannya apa. Dengan alasan menjaga ketertiban, mereka menangkap siapa saja yang dicurigai.
Setelah tokoh-tokoh 45 ditangkapi, tentara Batak—demikian orang Aceh menjuluki batalion-batalion baru yang ditempatkan di Aceh—yang berasal dari batalion Manaf Lubis dan Boyke Nainggolan, melakukan penggeledahan kediaman Teungku Daoed Beureueh. Mereka tanpa melepas sepatu memasuki kediaman sang ulama tersebut. Mengacak-acak seisi rumah, melemparkan peluru ke dalam halaman rumahnya, dan tindakan-tindakan biadap lainnya.
Perilaku tentara batak yang mengacak-acak kediaman Teungku Daoed Beureueh menyakiti hati orang Aceh. Perasaan mereka tercabik-cabik.
Dengan alasan mencari senjata api gelap, mereka mengacak-acak Alquran, melemparkan ke sana kemari perabotan rumah. Betapa perilaku tentara batak tersebut telah mencoreng harkat dan martabat Teungku Daoed Beureueh sebagai ulama, sekaligus mantan Gubernur Militer, dan ayah yang memberikan susu kepada Indonesia, kala negara baru saja menyatakan kemerdekaan, namun bahkan belum punya satu celana dalam pun.
[Oleh: Muhajir Juli]
*Rujukan tulisan:
Mengapa Aceh Bergolak, Aceh Dalam Perang mempertahankan Proklamasi kemerdekaan 1945-1949, H. Abubakar bin Ibrahim bin Salem Bey, Bunga Rampai Revolusi dari Tanah Aceh, Revolusi di Serambi Mekkah, Pemberontakan Kaum Republik, Peristiwa Cumbok di Aceh.