Negeri Kontradiksi
[Editorial Media Indonesia]
Oleh: Jaka Budi Santosa
PADA 1 September 2020, negeri ini dihebohkan oleh sebuah buku berjudul Man of Contradictions: Joko Widodo and the Struggle to Remake Indonesia. Penulisnya Ben Bland, analis dari Lowy Institute Australia dan eks jurnalis Financial Times di Indonesia.
Sebagai penganalisis dan mantan wartawan, Bland tentu tak serampangan merangkai kata per kata, kalimat per kalimat. Dia juga tak asal menuangkan pikiran. Dia berusaha melacak perjalanan hidup Jokowi dari awal kehidupan hingga sukses menjadi pengusaha mebel, dan selanjutnya moncer di dunia politik.
Banyak sisi positif yang coba dituangkan Bland. Namun, tak sedikit pula sisi negatif, atau paling tidak dipandang sebagai kekurangan, seorang Jokowi. Jokowi, misalnya, dianggap hebat dalam pembangunan infrastruktur, tapi beberapa gambaran ideal soal tipe kepemimpinan yang dilekatkan di awal dinilai berlawanan ketika di akhir. Dia dianggap 'sosok penuh kontradiksi'. Man of contradictions.
Tak hanya 10 pemuda seperti kata Bung Karno, buku juga bisa mengguncang dunia. Buku karangan Bland pun mengguncang Indonesia. Banyak pro dan kontra. Istana, tentu saja, membantah mentah-mentah.
Benarkah Jokowi sebangun dengan kontradiksi? Betulkah pemerintahan yang dia pimpin identik dengan kebijakan yang berlawanan? Untuk sampai kesimpulan seperti itu tentu tak bisa buru-buru, pantang kesusu. Harus ada kajian kuat, sangat kuat, mesti ada analisis akurat, amat akurat, untuk menuju ke sana.
Akan tetapi, kiranya sulit diingkari bahwa inkonsistensi, kontradiksi, sering terjadi di era Jokowi. Kontradiksi mulai soal yang ringan-ringan hingga kebijakan yang berat-berat. Untuk yang ringan, yang cukup membuat kening sedikit berkerut, misalnya, Jokowi mengimbau agar masyarakat tidak makan dan minum saat halalbihalal Lebaran 2022. Namun, tatkala dikunjungi seorang menteri di Gedung Agung Yogyakarta, dia malah menyuguhi opor ayam dan tempe bacem yang tentu saja untuk dimakan.
Untuk yang berat, yang berdampak besar pada rakyat, umpamanya terkait dengan proyek raksasa Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) Jakarta-Bandung. Awalnya, pemerintah percaya diri proyek itu tak akan menggunakan dana APBN. Presiden bahkan meneken Perpres Nomor 107/2015 yang menggariskan tak akan ada pembiayaan langsung dari uang negara.
Namun, konsistensi tergerus erosi. Melalui Perpres Nomor 93/2021, pemerintah kemudian mengatur proyek kereta cepat Jakarta-Bandung akan didukung APBN. Duit negara, uang rakyat, diambil untuk menambal biaya proyek yang abuh gila-gilaan itu. Begitulah, ada inkonsistensi, ada kontradiksi.
Proyek Ibu Kota Negara Nusantara (IKN) mirip-mirip. Mulanya, pemerintah berjanji proyek di Kalimantan Timur berbiaya ratusan triliun rupiah itu tak akan memberatkan APBN. Namun, lagi-lagi yang terjadi setelahnya ialah inkonsistensi, kontradiksi. IKN yang disebut-sebut kurang memikat investor akhirnya mengambil sumber dana dari APBN.
Masih ada contoh lain, yakni rencana pemerintah untuk mematok tarif lebih mahal buat penumpang KRL Commuter Line dari kalangan berpunya. Dalih mereka agar subsidi lebih tepat sasaran karena selama ini 'si kaya' dan 'si miskin' sama-sama menikmati ongkos murah. Tarif asli KRL katanya Rp10 ribu-Rp15 ribu, tetapi para roker (rombongan kereta) dan anker (anak kereta) hanya perlu membayar Rp3.000 untuk 25 kilometer pertama dan Rp1.000 setiap 10 km berikutnya.
Rencana itu tak hanya akan membuat rumit penerapan, menimbulkan kasta sosial di kereta, tetapi juga kontradiksi dengan kebijakan terkait dengan mobilitas warga. Bukankah pemerintah pengin rakyat beralih dan setia pada transportasi umum? Bukankah kalau tarif KRL untuk 'si kaya' lebih mahal akan memicu mereka kembali menggunakan mobil atau motor pribadi?
Lalu, kalau pemerintah mengotak-atik subsidi penumpang KRL, kenapa akan jorjoran menyubsidi pembeli mobil dan motor listrik? Tak tanggung, dari skema yang sedang digodok, konsumen mobil listrik yang pasti orang kaya konon bisa mendapatkan subsidi hingga Rp80 juta, sedangkan untuk motor listrik Rp8 juta.
Bau-bau kontradiksi juga menyengat di kebijakan besar terkini pemerintah, yakni penerbitan Perppu Nomor 2/2022 tentang Cipta Kerja pada 30 Desember 2022. Disebut kontradiksi karena di satu sisi pemerintah dipenuhi keyakinan bahwa perekonomian kita punya ketangguhan menghadapi resesi global, tetapi di lain sisi menilai ada kegentingan yang memaksa.
Kata mereka, kondisi geopolitik dan ekonomi dunia perlu diantisipasi sehingga perlu dibuat perppu. Tak peduli meski perppu itu disebut janggal, hanya akal-akalan, melanggar prinsip negara hukum, bahkan berbahaya bagi demokrasi.
Tidak ada satu pun pemerintahan yang sempurna di kolong langit ini. Sebagus apa pun rezim pasti pernah membuat kesalahan, pernah inkonsisten, pernah kontradiksi. Akan tetapi, andai inkonsistensi, kalau kontradiksi terjadi lagi, lagi, dan lagi, berarti memang ada yang salah.
Saya tidak ingin buku Bland mendapatkan pembenaran. Akan tetapi, jika kontradiksi terus saja diulang dengan penuh kesadaran, sulit kiranya menepis penilaian bahwa negeri ini kini memang negeri kontradiksi.
06/1/2023