[PORTAL-ISLAM.ID] Rencana perpanjangan masa jabatan kepala desa menuai tanda tanya. Pasalnya, tak sedikit kepala desa yang justru terjerat kasus korupsi.
Data KPK dari 2012 sampai dengan 2021, tercatat ada 601 kasus korupsi dana desa di Indonesia. Dari jumlah kasus tersebut, sebanyak 686 kades di tanah air terjerat.
Artinya, tak sedikit desa yang berkinerja buruk. Meskipun banyak juga desa yang berhasil membangun kemandirian dan mensejahterakan rakyatnya.
Sekretaris Program Studi Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga, Gugun El Guyanie mengatakan penambahan masa jabatan menabrak semangat otonomi desa.
Ia pun menganggap debat berapa tahun dan periode jabatan kepala desa terkesan pragmatis.
"Tampak nafsu berkuasa tanpa batas melupakan filosofi Pancasila yang mensyaratkan nilai-nilai kepemimpinan yang penuh hikmah, kebijaksanaan (wisdom), musyawarah (syuro), keterwakilan," kata Gugun, belum lama ini.
Gugun mengingatkan agar penambahan masa jabatan kepada-kepada desa dipertimbangkan secara holistik dari banyak aspek.
Mulai dari historis, aspek filosofis sampai aspek konstitusional.
Terlebih, kata ia, usulan ini datang pada saat menjelang wakil-wakil rakyat di Senayan sedang butuh simpatik dukungan dari lurah atau kades. Hal itu, dianggap bisa menjadi pendulang suara parpol dalam Pemilu 2024 mendatang.
"Jangan ada transaksi politik atau barter kepentingan yang membunuh masa depan desa," ujar Gugun
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusional Universitas Islam Indonesia (PSHK UII), Mazdan Maftukha Assyayuti menambahkan masa jabatan kades telah diatur Pasal 39 UU Desa.
Kades dapat menjabat enam tahun paling banyak tiga periode.
Artinya, kades dapat menjabat maksimal 18 tahun. Bila diperpanjang jadi 9 tahun, maka kepala desa dapat menjabat paling lama 27 tahun.
Padahal, pembatasan masa jabatan merupakan perwujudan prinsip demokrasi dan semangat yang dihendaki UUD 1945.
"Sehingga, penyimpangan atas prinsip pembatasan masa jabatan kepala desa ini merupakan penyimpangan terhadap amanat konstitusi," kata Mazdan, Kamis (19/1).
Kemudian, kekhawatiran polarisasi akibat persaingan politik di tingkat desa dan eektivitas pemerintah desa sejatinya dapat dicegah dengan pendidikan politik.
Lalu, perbaikan kultur politik dan pemenuhan asas pemerintahan yang baik.
"Bukan memperpanjang masa jabatan kepada desa," ujar Mazdan.
Sebelumnya, perangkat-perangkat desa menggelar aksi unjuk rasa secara nasional, termasuk di depan Gedung DPR RI Jakarta, Selasa (17/1).
Mereka menuntut agar dilakukan revisi terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Beberapa tuntutan dalam revisi UU Desa itu antara lain terkait masa jabatan kepada desa yang diinginkan sembilan tahun selama tiga periode.
Kemudian, soal moratorium pemilihan kepala desa, pejabat pelaksana dan persoalan dana desa.
Ketua Banggar DPR RI, Said Abdullah, mendukung tuntutan kades-kades tersebut.
Pilkades dengan masa jabatan enam tahun, kata ia, kerap menimbulkan pembelahan sosial yang berlangsung cukup lama.
Hal ini memudahkan pembelahan sosial yang belum kunjung pulih karena waktu jabatan yang dinilai singkat.
"Saya mendukung aspirasi kepala desa untuk direvisi dari semula enam tahun menjadi 9 tahun agar jarak kontestasi pilkades lebih lama, agar tidak menguras energi sosial warga desa akibat dampak pembelahan sosial karena pilkades," kata Said.
Said menuturkan, sesuai UU Desa pelaksanaan pilkades dilakukan secara serentak menimbulkan beban penganggaran yang cukup besar.
Ia merasa, dengan mengubah masa jabatan kepala desa dari enam tahun jadi 9 tahun akan semakin meringankan pemda.
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar.
Ia berharap revisi UU Desa ihwal gagasan penambahan masa jabatan Kepala Desa segera ditindaklanjuti dan dibahas dalam agenda program legislasi nasional (prolegnas) tahun 2023.
Gus Halim mengaku menemukan fakta bahwa konflik polarisasi pascapilkades nyaris terjadi di seluruh desa.
Konflik tersebut di beberapa daerah terus berlarut-larut hingga berdampak pembangunan desa tersendat dan beragam aktifitas di desa juga terbengkalai.
“Artinya apa yang dirasakan kepala desa sudah saya rasakan bahkan sebelum saya jd ketua DPRD. Saya mengikuti tahapan politik di pilkades. Saya mencermati bagaimana kampanye yang waktu itu,” ujarnya.
Sementara itu, Sarjan, kades Desa Pranan, Kecamatan Polokarto, Sukoharjo ketika dihubungi, Jumat (20/1/2023), mengaku senang jika masa jabatannya bakal ditambah.
"Kalau saya pribadi ya sembilan tahun seneng, wong ngirit biaya. Kalau misalnya saya mau jago lagi harus tarung lagi, kan biayanya tinggi," ungkapnya.
Ia tak menampiik masalah horizontal menjal masalah lain, di luar dari tingginya biaya politik.
Namun ia tak menampik ada poin negatif dengan masa jabatan yang hampir satu dekade tersebut.
"Terlalu lama itu kalau kadesnya tidak baik, tapi kalau kadesnya baik ya itu bagus. Kalau kadesnya tidak baik kan kasihan desanya nunggu lama untuk pilihan lagi," terangnya. [republika]