Tidak disangkal bahwa dunia kita saat sejak beberapa tahun terakhir menghadapi permasalahan multi dimensional. Dari masalah keamanan (peperangan dan kekerasan), masalah sosial ekonomi, hingga kepada masalah lingkungan hidup (climate change) dan kerusakan alam (natural disaster) yang nyata mengancam kehidupan manusia.
Sesungguhnya permasalahan dunia kita bukan hanya akan terjadi di tahun 2023 ini. Bahkan sebelum merebaknya pandemi covid 19, yang boleh jadi merupakan peristiwa kelam dalam sejarah manusia itu, berbagai permasalahan kehidupan telah banyak dibicarakan. Isu lingkungan, peperangan dan ketidak amanan, hingga ke masalah ekonomi dan kemiskinan dan seterusnya.
Saya teringat Sekjen PBB ketika itu, Kofi Annan, menyampaikan laporannya pada Pertemuan Tingkat Tinggi memasuki abad 21 atau “Millennium Summit” di tahun 2000. Ketika itu beliau menyampaikan bahwa manusia memasuki abad baru (abad 21) ini menghadapi berbagai ancaman yang mengkhawatirkan.
Beliau ketika itu menekankan bahwa manusia akan memasuki abad baru ini dengan dua bentuk tekanan atau ancaman (threat). Yaitu ancaman ketakutan atau ketidak amanan (fear) dan ancaman kemiskinan atau ketidak mampuan memenuhi hajat hidup manusia secara layak. Dan karenanya menurut beliau, memasuki abad 21 ini manusia harus dibebaskan dari ketidak amanan (freedom from fear) dan dari kebutuhan atau kemiskinan (freedom from want).
Sejak Annan menyampaikan pidato itu rasanya dunia kita belum juga pernah terbebaskan dari kedua ancaman itu. Perang demi perang; Afghanistan, Irak, Suriah, Libya, dan banyak lagi. Hingga ke masalah kemiskinan dan kelaparan yang masih membebani kehidupan di berbagai belahan dunia.
Intinya adalah bahwa dengan peristiwa Covid yang menimpa sejagad dunia, ditambah lagi dengan peperangan Rusia-Ukraina yang diprediksi akan memakan waktu lama bukanlah hal baru yang harus menumbuhkan “over worried” (kekhawatiran berlebihan). Tapi sebuah fenomena kehidupan yang nampaknya bergerak secara alami.
Karenanya ada hal yang menggelitik ketika sebagian orang, apalagi jika mereka itu berada di posisi kepemimpinan, menyampaikan pidato-pidato atau statemen yang seolah menakut-nakuti masyarakat. Padahal realitanya masyarakat tetap menjalani hidupnya seperti normal apapun dinamika yang terjadi dalam kehidupan.
Dunia pernah, sedang dan akan mengalami pergerakan dan dinamika dalam segala aspeknya. Tapi semua itu menjadi bagian dari situasi biasa bahkan alami pada kehidupan. Dan setiap tempat dan masa akan ada keadaan yang unik, yang boleh jadi memang berbeda dengan tempat dan masa yang lain. Hanya saja masing-masing punya caranya untuk merespon situasi bahkan yang terburuk sekalipun.
Terkhusus bangsa Indonesia yang besar dan hebat itu takkan terjatuh ke dalam perangkap ketakutan dan “over worried” yang boleh jadi akan mematikan motivasi dan rasa percaya diri dalam menjalani kehidupan dengan warna warni dinamikanya. Tanah dan lautan negeri ini masih lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya.
Saya justeru curiga (nggak apa kan?) jika penyampaian-penyampaian yang membangun rasa takut (fear) dan kekhawatiran (worries) yang berlebihan itu memiliki tujuan dan agenda terselubung. Dan itu bisa kita lihat ketika menyampaikan kekhawatiran tapi sekaligus menyampaikan “self claim” (pengajuan) tentang keberhasilan menekan inflasi dan krisis ekonomi misalnya.
Apapun itu hentikan politisasi “emosi” rakyat. Emosi itu bisa marah atau sebaliknya senang. Bisa juga ketakutan atau sebaliknya keberanian. Hentikan mengendarai emosi rakyat untuk meraih kepentingan tertentu. Rakyat saya yakin cukup pintar dan dewasa dalam melihat berbagai febomena yang terjadi.
Hentikan menakut-nakuti rakyat!
NYC Subway, 20 Januari 2022
Shamsi Ali
* Presiden Nusantara Foundation