Oleh: Abrar Rifai
Saya termasuk yang tidak setuju Mbah Nun meminta maaf, atas sebutan beliau terhadap Jokowi sebagai Fir'aun, Luhut sebagai Haman dan para cukong politik itu sebagai Qarun.
Sebab pada setiap masa di punggung bumi ini, memang akan selalu ada personifikasi buruk dari para manusia tersebut. Dengan skala dan dimensi yang berbeda.
Banyak yang belingsatan, karena junjungannya diserang, “Fir'aun tidak mungkin masuk Ka'bah!” dengan menampilkan Jokowi sedang mendapatkan pengawalan ketat memasuki Ka'bah.
Ada lagi celoteh, “Fir'aun tidak mungkin membangun jalal tol!” Lah apa hubungannya kelaliman dengan jalan tol dan berbagai proyek lainnya?
Bahkan kalau kita jeli, justru banyak mega proyek, yang sebenarnya bagian dari upaya untuk menjadikan diri seorang penguasa benar-benar menjelma Fir'aun.
“Sejak Cak Nun berubah, aku wes ora sudi ngerungokne ceramahe!” ini satu celoteh lagi.
Jadi Mbah Nun dianggap berubah, hanya karena beliau menyerang Jokowi. Padahal tak berlalu satu Pemerintahan siapapun di Negeri ini, melainkan tak lepas dari kritikan dan serangan Mbah Nun.
Mbah Nun akhirnya meminta maaf, muncul celoteh baru, “Dasar Kadrun, ngomong dulu gak dipikir. Salah baru minta maaf!”
Banyak yang menjadikan permintaan maaf Mbah Nun sebagai justifikasi atas kesalahan Mbah Nun, serta kebenaran bahwa yang dimaksud Mbah Nun sebagai Fir'aun bukanlah Fir'aun.
Padahal, terlepas ada atau tidaknya orang yang berkata Fir'aun kepada Fir'aun, Fir'aun tetaplah Fir'aun.
Sebaliknya, orang satu dunia sekalipun mendiamkan Fir'aun, sekali-kali ia tidak akan pernah berubah menjadi Musa atau orang-orang baik lainnya. Walau yang bersangkutan seringkali tampil menyerupai Musa, hadir di berbagai majelis, bagi-bagi Sembako dan bahkan masuk Ka'bah sekalipun.
Baiklah, lupakan Fir'aun dengan segala perangai, beserta Haman yang selalu setia menyertai dan para Qarun yang akan terus membina kolaborasi, sampai kelak mereka semua berpindah dari punggung bumi ke perut bumi.
Kita fokus pada Mbah Nun saja. Beliau adalah satu di antara orang Indonesia yang tidak pernah berubah kepalanya.
Mbah Nun tetap tegak, di hadapan para pemimpin Negeri yang dianggapnya terpesong. Sejak jaman Pak Harto, Cak Nun sudah tampil ke hadapan untuk menyoal presiden otoriter itu. Saat banyak orang masih pada bersembunyi di kolong ranjang.
Megawati, SBY dan Jokowi, pun mendapatkan bagiannya masing-masing dikritik dan diserang Mbah Nun.
Kita skip Gus Dur dan Pak Habibie, sebab pada dua orang ini mungkin Mbah Nun tak mendapatkan cela untuk membantainya.
Gus Dur dan Habibi juga berkuasa tak lebih dari dua tahun. Kekuasaan yang seumur pohon sengon, biasanya tak akan sempat menjelma menjadi Fir'aun.
Sekali lagi, saya tidak setuju Mbah Nun meminta maaf atas ucapannya tersebut. Karena bagi saya, memang tidak ada yang salah dan tidak ada yang perlu dimintai maaf.
Tapi Mbah Nun dengan segenap keterpujiannya, telah dengan suka rela meminta maaf. Bukan karena desakan orang, bukan bula karena intimidasi atau serangan dari para penyokong Jokowi, Luhut dan para Cukong.
Tapi Mbah Nun memenuhi permintaan keluarga. Keluarga yang sangat disayanginya. Keluarga yang dicintai dan menjadi pagar hidup beliau yang utama.
Mbah Nun meminta maaf bukan karena takut. Ketakutan sudah tertanggal dari urat nadi beliau.
Mbah Nun sudah tujuh puluh tahun lebih hidup selalu berhadapan dengan segenap pernik kepongahan, kelaliman.
Mbah Nun tak pernah bergeser, ia selalu bersama para jelata. Menjaga dan melindungi orang-orang pinggiran. Bukan sekedar nyanyian, tapi Mbah Nun memang mempersembahkan jiwa dan raganya untuk orang-orang yang terpinggirkan di Negeri ini.
Mbah Nun menyerang Pemerintah pada setiap masanya, bukan untuk menaikkan nilai tawar sebagai politisi. Sehingga dengannya bisa mendapatkan tawaran. No! Sekali-kali bukan karena itu!
Kalaupun ada kebaikan pada Pemerintah yang harus diapresiasi, tidak ditujukan untuk mencari muka, atau sekedar meloloskan partainya agar bisa menjadi peserta Pemilu.
Mbah Nun bukan politisi, bukan pengusaha, bukan pula kiai atau tokoh yang akan memberikan dukungan politik untuk kepentingan-kepentingan tertentu.
Mbah Nun adalah pejalan yang terus berjalan bersama (maiyyah) orang-orang yang sudi berjalan dengannya.
Dalam perjalanannya, sesekali Mbah Nun bersila. Saat itulah Mbah Nun bertutur, menyemprot, menyerang. Namun sesekali juga membelai.
Pitutur Mbah Nun mengalir begitu saja, tanpa dipengaruhi kepentingan orang perorang, atau kelompok-kelompok tertentu.
Sebagai manusia, Mbah Nun tentu ada cela dan salah. Tapi sebutan beliau tentang Fir'aun, itu bukan kesalahan. Melainkan sambetan (kesambet) yang memang harus diutarakan.
Untuk menegaskan pada Bangsa ini, bahwa sosok Fir'aun itu memang ada bersama dengan kita sekarang. Dengan skala dan dimensi yang berbeda dari Fir'aun-fir'aun sebelumnya.
(*)