Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
Saya melangkah masuk pesawat. Sempat salah belok ketika mencari nomor tempat duduk saya, tetapi saya segera menyadari kekeliruan itu.
Begitu sampai, letakkan satu tas, kemudian di kursi tengah yang sedang kosong untuk meletakkan tas yang satu ke kabin. Selanjutnya, saya akan mengambil tas tentengan kecil itu untuk disimpan juga di kabin.
Tetapi sebelum saya meletakkan tas pertama ke kabin, tiba-tiba saya dikejutkan oleh suara seorang laki-laki. Mungkin seusia saya atau sedikit lebih tua. Penampilannya mengesankan berpendidikan dan agak perlente, tetapi ucapannya yang membuat saya terkejut.
“Singkirkan saja (tas) itu! Bukan tempat duduk dia,” katanya sambil menunjukkan ke tas saya.
Tanpa perlu menunggu disingkirkan, saya mengambil tas, sementara laki-laki yang masuk bersama anaknya itu bahkan belum belok ke baris kursi tempat saya duduk. Dan bahkan seandainya dia sangat sopan pun, biasanya saya tetap meminta maaf sekaligus meminta izin meletakkan tas beberapa saat, meskipun dia belum sampai ke tempat duduknya. Tetapi lelaki ini memberi pelajaran berharga tentang pendidikan adab dari seorang ayah kepada anaknya.
Saya marah? Tidak. Sebab kursi itu memang haknya. Saya hanya sedih mendengar seorang Bapak mengajarkan adab yang buruk kepada dua anak laki-lakinya, sepertinya sudah pada kuliah.
Saya pun kemudian memandang ke arah lelaki itu, tersenyum kepadanya dengan senyuman paling manis yang saya bisa, meskipun saya sadar sepenuhnya bahwa saya tidak manis (yang bilang manis, mungkin hanya istri saya). Lelaki itu kemudian menunjukkan perilaku salah tingkah, meskipun awalnya menengok ke arah saya.
Sejenak saya menunggu. Ketika lelaki itu kembali menengok, saya kembali tersenyum kepadanya dengan senyum manis yang paling lebar dan paling lama. Saya arahkan pandangan saya, hingga gerak kepala dan wajah saya kepadanya, dengan tetap tersenyum lebar tanpa kata. Lelaki itu celingukan. Lalu memalingkan pandangan. Mudah-mudahan dengan senyuman itu dia tidak terlalu gersang jiwanya.
Pesawat pun melaju. Saya duduk sambil berusaha istirahat. Ketika pramugari berkeliling membagikan makanan dan air mineral, saya hanya membuka meja karena saya merasa perlu istirahat. Kali ini saya merasa lebih memerlukan air mineral dibandingkan minuman lain. Tetapi air terlalu dingin. Karena itu saya biarkan agar suhunya berangsur normal.
Beberapa saat setelah makan malam, pramugari kembali berkeliling menawarkan minuman panas. Dua di sebelah kanan saya, anak dari lelaki yang saya beri senyuman terbaik itu, memesan teh panas. Ketika dia seruput, mungkin dia merasa terlalu panas. Dia buru-buru mengarahkan tangannya hendak mengambil air mineral yang terletak di meja saya bagian kiri. Tanpa izin (emmm…. Mungkin ini hasil pendidikan salah adab dari Bapaknya juga).
Segera saya cegah tangannya. Tetapi dia masih bersikeras mau mengambil air itu. Saya pun memegang botol air mineral yang memang punya saya.
Dia kemudian menyampaikan dalam bahasa yang keminggris sekaligus sok orang asing (sok Inggris, tetapi bahasanya nggak pas meskipun untuk bahasa slank). Saya tanya asalnya dari mana. Saya kasih tahu, itu air minum punya saya, apa yang dia mau? Dia kemudian minta dikasih air sambil berusaha mengambil air itu. Dia bilang perlu air karena tehnya terlalu panas.
Ya Allah…. Sebenarnya tanpa perlu drama pun mudah bagi saya untuk memberikan. Dalam kondisi ketika saya sedang memerlukan air dengan suhu normal, bisa saja saya mintakan ke pramugari sebagaimana kadang terjadi ketika ada penumpang yang tampak sangat awam. Tetapi anak muda itu tidak tampak awam. Tidak tampak kurang berpengetahuan. Ia kurang adab.
Saya kemudian menuangkan air dingin itu ke gelasnya. Ya, gelas dari anaknya lelaki yang saya beri senyum terindah tadi itu.
Saya tengok sejenak, berusaha menelisik. Rupanya mereka baru pulang umrah. Entah pakai travel apa. Ini tentu saja bukan salah travel. Tetapi pihak travel dapat membekali jama’ah agar menjaga adab demi meraih maqbul dan barakahnya umrah.
𝙏𝙚𝙧𝙣𝙮𝙖𝙩𝙖, 𝙥𝙚𝙣𝙙𝙞𝙙𝙞𝙠𝙖𝙣 𝙖𝙙𝙖𝙗 𝙞𝙩𝙪 𝙨𝙖𝙣𝙜𝙖𝙩 𝙥𝙚𝙣𝙩𝙞𝙣𝙜.
(fb 10/01/2023)