[Editorial Media Indonesia]
Untung Buntung Qatar
Oleh: Abdul Kohar | Dewan Redaksi Media Group
UNTUNG atau buntungkah Qatar menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022? Kalau pertanyaan itu diajukan kepada cowok atau cewek matre, jawabnya jelas: buntung. Superbuntung malah. Itu karena sang penjawab hanya memandang capaian perhelatan itu secara finansial dan jangka pendek.
Bagaimana tidak superbuntung. Qatar menggelar hajatan sepak bola terbesar sejagat itu dengan menggelontorkan dana superjumbo. Negara kaya minyak tersebut menggerojokkan fulus lebih dari US$200 miliar atau Rp3.140 triliun. Duit itu setara dengan satu setengah kali lipat APBN kita.
Perhelatan Piala Dunia 2022 pun jadi penyelenggaraan sepak bola empat tahunan termahal sepanjang sejarah. Tidak cuma itu, berdasarkan beberapa perkiraan, biaya Piala Dunia kali ini bahkan lebih besar daripada gabungan biaya 21 hajatan Piala Dunia sebelumnya, yang digelar pertama kali pada 1930.
Menurut berbagai laporan, diperkirakan biaya Piala Dunia termahal sebelumnya ialah turnamen 2014 di Brasil dan edisi 2018 di Rusia. Padahal, keduanya masing-masing 'cuma' menghabiskan biaya kurang dari US$15 miliar. Berarti, biaya Piala Dunia di Brasil, juga di Rusia, hanya seperempat belasnya jika dibandingkan dengan modal yang digerojokkan Qatar.
Negara berpenduduk 4 juta jiwa itu memang ingin menunjukkan kepada dunia bahwa mereka mampu. Mereka ingin menjawab keraguan, cibiran, pengerdilan atas mereka dari berbagai kalangan dengan bukti keras. Dengan dana melimpah, mereka menyulap semuanya dengan fasilitas superwah. Sebanyak tujuh stadion baru yang megah dan mewah dibangun. Satu stadion lama dirombak total.
Hampir seluruh stadion itu diberi pendingin udara di sekujur sudut tiap-tiap stadion. Itu untuk menepis kekhawatiran bahwa pemain dan penonton bakal tidak nyaman karena hawa panas gurun. Begitu pendingin udara berkapasitas besar berfungsi sempurna, malah ada sebagian pemain yang merasa kedinginan.
Bukan hanya stadion. Qatar juga membangun sekitar 100 hotel baru, beberapa bandara baru, jalan baru, stasiun, dan selter-selter bus baru. Pokoknya, bukan cuma stadion, bahkan 'kota baru' pun mereka buat. Dengan uang lebih dari US$200 miliar, tentu itu bukan perkara sulit. Beda dengan pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara, misalnya, yang butuh uang US$30 miliar, tapi anggarannya memang belum ada 100%.
Jika dilihat dalam hitung-hitungan materi dan jangka pendek, mustahil uang lebih dari Rp3.100 triliun itu bisa kembali dalam satu bulan penyelenggaraan Piala Dunia. Namun, Qatar telah berinvestasi untuk berpuluh-puluh tahun, bahkan mungkin lebih dari satu abad ke depan, untuk memahatkan diri dalam sejarah penting peradaban.
Qatar, secara tidak langsung, juga sukses mengubah citra negara-negara teluk yang ditaburi kisah konflik, menjadi wilayah nyaman. Negara gurun itu telah mempromosikan kepada dunia bahwa dengan inovasi teknologi, alam bisa ditaklukkan. Stadion yang sejuk merupakan salah satu pembuktiannya.
Khristo Ayad, konsultan di Instrat (sebuah platform penelitian dan penasihat independen di Doha) mengatakan turnamen dengan visibilitas tinggi tentu akan menjadi tonggak penting dalam perjalanan diversifikasi negara menuju ekonomi modern berbasis pengetahuan.
Piala Dunia 2022, kata dia, dapat meningkatkan soft power Doha dan menambah pengaruh politik, terutama karena semakin banyak acara serupa yang akan dilakukan. "Qatar telah mempromosikan kampanye Piala Dunia sebagai pertunjukan persatuan Arab sejak awal, memosisikan Piala Dunia sebagai kesempatan untuk membangun jembatan antara dunia Arab dan Barat," ungkap dia.
Qatar telah membuktikan FIFA tidak salah memilih negara pemilik cadangan minyak terbesar keenam di dunia itu sebagai tuan rumah. Berkat promosi besar-besaran dari tuan rumah, perputaran uang yang terjadi selama Piala Dunia 2022 menjadi sangat besar. Berdasarkan laporan dari Aljazeera belum lama ini, lembaga sepak bola dunia FIFA menyampaikan laporan bahwa Piala Dunia Qatar mendatangkan keuntungan US$7,5 miliar atau sekitar Rp117,75 triliun.
Angka itu US$1 miliar lebih banyak ketimbang yang dihasilkan organisasi tersebut dari Piala Dunia sebelumnya di Rusia. 'Penghasilan tambahan' yang diterima FIFA berasal dari kesepakatan komersial dengan tuan rumah tahun ini.
Lalu, seberapa besar cuan yang diterima Qatar selain soal perbaikan citra? Menurut penelitian PwC (Pricewaterhouse Coopers), secara ekonomi sektor pariwisata menjanjikan pertumbuhan sebesar 8,7% dalam tiga hingga lima tahun ke depan. Kepala Program Power Vacuums di Newlines Institute di Washington, Caroline Rose, memandang perhelatan itu akan memberikan keuntungan ekonomi tersendiri bagi Qatar.
Keuntungan itu utamanya datang dari sektor pariwisata secara umum dan khususnya untuk bisnis akomodasi atau penginapan. Itu akan memberikan dorongan bagi ekonomi Qatar dengan perkiraan keuntungan US$17 miliar (setara Rp266,9 triliun).
Saya jadi paham, mengapa Indonesia sangat serius mempersiapkan Piala Dunia U-20 tahun 2023. Kita tentu tidak ingin perhelatan yang waktunya berdekatan dengan Piala Dunia Qatar itu antiklimaks.
Walau tidak perlu menggerojokkan uang sedahsyat Qatar, spirit Qatar kiranya layak untuk kita tiru. Apalagi, Piala Dunia U-20 merupakan jembatan emas bagi pemain muda untuk menuju Piala Dunia 'sesungguhnya'.
(Sumber: MI)