TERORIS JANCUK!
Oleh: M Arief Pranoto
Isu bom bunuh diri (lone wolf) di Astana Anyar, Bandung (7/12/2022) memunculkan beragam persepsi di publik baik tafsir positif, apriori, syak wasangka, maupun tafsir yang bersifat negatif. Apa boleh buat.
Memilah persepsi liar publik dari berbagai sisi pandang dan tafsir, saya coba merangkai beberapa narasi untuk disuguhkan kembali dalam bentuk cerita pendek (cerpen) bernuansa politik praktis.
Adapun persepsi publik terkait aksi bom di Bandung, antara lain sebagai berikut:
Pertama, bahwa sel-sel tidur terorisme mulai bangun menjelang Hari Natal dan Tahun Baru siap melancarkan aksinya. Ini tafsir positif warga masyarakat. Seyogianya aparat dan warga harus waspada dan bersinergi atas geliat sel-sel (terorisme) sebagai tindak lanjut. Jangan sampai lengah. Negara tidak boleh kalah dengan terorisme.
Kedua, persepsi publik bahwa isu bom Astana hanya pengalihan isu atas berita-berita negatif di media terkait kebijakan dan rencana program pemerintah. Hal tersebut, selain ujud sikap apriori masyarakat terhadap elit kekuasaan, juga terlalu mainstream. Sebab, persepsi ini timbul-tenggelam di publik. Contohnya mana? Rencana lelang Pulau Widi misalnya, atau pengesahan RUU KUHP menjadi UU yang masih pro kontra; atau rencana pengangkatan 80-an Pj Kepala Daerah yang digugat oleh cucu Bung Hatta; rencana revisi UU IKN guna mengakomodir keinginan investor, dan banyak lagi isu lain mendera elit penguasa dan rasanya memang perlu dialihkan sebab sudah menimbulkan kegaduhan, juga terkait public trust (kepercayaan publik terhadap pemerintah).
Ketiga, kuat disinyalir bahwa isu Astana Anyar merupakan upaya penggembosan atau 'pembusukan' terhadap AB yang elektabilasnya terus meningkat. Road show-nya dinilai efektif. Dukungan dan antusias warga di setiap kunjungan cukup menggelegar. Memang AB belum memegang tiket untuk nyapres meski ia sudah dideklarasikan oleh Partai NasDem. Tak boleh dipungkiri, road show AB ke daerah membuat kompetitor kalang kabut. Maka segala langkah AB menuju 2024 dicari celahnya, lalu dieksploitir. Pemakaian jet pribadi misalnya, terus di-bully hingga kini. Juga dukungan dari ex HTI, ex FPI, dan mantan teroris terhadapnya dijadikan 'titik gembos'. Persepsi publik seperti hendak digiring bahwa lone wolf di Astana Anyar seirama dengan dukungan mantan teroris terhadap AB. Harap maklum. Itu tafsir negatif yang berkembang di publik.
Demikian beberapa tafsir serta persepsi publik yang dapat kami narasikan secara singkat, baik persepsi positif, syak wasangka, maupun tafsir buruk. Namanya saja persepsi, niscaya tak akan sesuai dengan kenyataan (realitas) oleh karena persepsi selalu dibarengi apriori, latar belakang, pendidikan, nilai-nilai yang dianut, sudut pandang dan lain-lain.
Penulis sendiri cenderung pada persepsi pertama, yaitu bangunnya sel-sel tidur terorisme menjelang natal dan tahun baru. Artinya, negara kudu hadir, masyarakat harus melawan.
Teringat dekade lalu tatkala di Jatim terjadi rentetan isu peledakan bom, arek-arek Surabaya melawan aksi terorisme melalu tagar: "Arek Surabaya tidak takut terorisme! Teroris Jancuk!"
End.
(Source: fb)