OLEH: TONY ROSYID*
KITA sepakat bahwa black campaign atau fitnah itu merusak nalar dan mental bangsa. Sebagian elite masih gemar menggunakan "fitnah" sebagai upaya merusak nama baik lawan politik. Ini tidak bermoral.
Fitnah umumnya dilakukan dengan menggunakan jasa orang lain. "Nabok nyilih tangan". Melalui agen yang dibayar untuk secara sistematis menebar fitnah. Ironis dan ini sangat disayangkan masih marak di negara yang berhaluan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Lima tahun belakangan ini, fitnah massif menyasar Anies Baswedan, mantan Gubernur DKI Jakarta. Tokoh yang telah didaulat Partai Nasdem untuk nyapres. Berbagai tuduhan tak mendasar terus berupaya mendiskreditkan cucu AR. Baswedan ini.
Fitnah dalam politik itu biasa, kata sebagian orang. Ini pandangan yang amat keliru dan fatal.
Sesuatu yang jelas salah, kejam, mendhalimi orang lain dan merusak etika-moral bangsa dianggap biasa? Rusak negeri ini. Rusak demokrasi kita jika fitnah dianggap biasa dan diakomodir menjadi bagian dari budaya perpolitikan kita. Jika dibiarkan, bangsa ini tidak punya standar etika dan moral lagi dalam berpolitik.
Tuduhan yang paling sering dialamatkan kepada Anies adalah gubernur intoleran. Tuduhan ini diduga kuat digarap oleh tim khusus yang bekerja secara sistemik dan profesional. Tuduhan ini sempat berpengaruh lumayan kuat terhadap persepsi komunitas tertentu.
Seiring perkembangan politik, pengaruh tuduhan terhadap Anies mulai meredup. Ada beberapa faktor yang membuat stigma intoleran terhadap Anies tersebut reda.
Pertama, terbukanya fakta bahwa Anies peduli terhadap semua penganut agama. Anies memberi perhatian cukup serius kepada umat beragama di DKI. Datanya ada, langsung dirasakan dan bisa dilihat oleh publik.
Tidak sebatas pelayanan administratif, tetapi juga bantuan untuk kegiatan, pengembangan dan tempat ibadah.
BOTI (Bantuan Operasional Tempat Ibadah) merupakan bentuk nyata keseriusan Anies ngopeni umat beragama. Anies terbukti sangat peduli.
Kepedulian ini dirasakan oleh semua pemeluk agama. Tidak hanya berlatarbelakang agama, Anies juga menunjukkan pelayanan dan perlakukan yang setara kepada semua etnis dan golongan. Termasuk mereka yang berasal dari kelompok nonpendukung juga mendapatkan sapaan dan perlakuan yang sama. Anies merangkul lawan, tidak memukul.
Kedua, dari fakta ini, para tokoh lintas agama memberi kesaksian atas perlakuan adil dari Anies tersebut. Testimoni para tokoh ormas seperti PBNU dan elite partai seperti PKB juga ikut membuka mata publik tentang fakta toleransi di era Anies.
Ketiga, Anies diusung oleh Partai Nasdem. Partai besutan Surya Paloh ini lebih dikenal sebagai partai nasionalis sekuler.
Beda sekiranya ketika yang pertama kali deklarasi Anies adalah PKS. Boleh jadi stigma intoleran dan politik identitas akan semakin kental. Lagi-lagi ini bukan soal fakta. Tapi lebih pada persepsi publik. Sebab, dalam politik yang paling berpengaruh adalah persepsi. Perlu dipahami, bahwa tidak setiap persepsi itu benar dan punya basis fakta.
Faktor-faktor di atas ternyata sangat berpengaruh dalam meminimalisir berbagai stigma negatif terhadap Anies. Fakta ini bisa dilihat diantaranya dari hasil riset Voxpol.
Hasil riset Voxpol menunjukkan bahwa 38,2 persen umat Hindu memilih Anies; 36,8 persen umat Katolik memilih Anies; 29 persen Umat Protestan memilih Anies; 28,6 persen umat Budha memilih Anies; dan 33, 3 persen umat Islam memilih Anies.
Dari data riset Voxpol tersebut menunjukkan bahwa tuduhan Anies intoleran atau memainkan politik identitas tidak lagi banyak berpengaruh. Enggak mempan lagi. Dengan begitu, ruang kampanye bagi Anies mulai terbuka di semua segmen masyarakat.
Seiring semakin berkurangnya efek tuduhan berbau agama terhadap Anies, ini akan memulihkan kewarasan publik dalam melihat dan mempersepsi Anies sebagaimana adanya.
Anies adalah seorang akademisi, cerdas, menarik dalam bernarasi dan punya magnet dalam berkomunikasi. Rekam jejak Anies dengan semua prestasinya akan dilihat apa adanya dan semakin jelas. Publik akan semakin objektif dalam mempersepsi Anies. Walaupun, tuduhan terus saja ada dan tetap dilontarkan secara masif.
Seiring proses waktu, beban stigma negatif di pundak Anies akan semakin ringan. Dengan begitu, kesempatan Anies untuk menunjukkan jati dirinya akan semakin lapang. Di titik ini, kompetisi yang normal dengan adu prestasi dan gagasan akan mendapatkan tempat yang lebih memadai. Inilah yang selama ini terus didorong di antaranya oleh Fahri Hamzah.
Adu gagasan akan semakin lebar ruangnya jika fitnah tidak dominan dalam kampanye. Para kandidat dan timses harus mau mengerti rambu-rambu ini. Inilah yang selalu dipesankan oleh Anies Baswedan kepada para relawannya agar konsisten untuk tidak melakukan negatif campaign dan menyebar hoak.
Jika Anies mendapatkan lawan yang setara dalam jejak prestasi dan kemampuan melahirkan gagasan untuk masa depan bangsa, maka pilpres akan jauh lebih berbobot. Menurut anda, siapa lawan Anies yang punya kualifikasi itu?
Selama ini, lawan terkuat Anies adalah hoax. Kompetitor terkuat Anies adalah fitnah. Bagaimana bisa setara? Bagaimana pilpres berbobot?
*) Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa