Oleh Ayu Nitiraharjo, pengamat sosial-politik
Ada kejadian unik, lucu, dan menggelikan di akhir tahun 2022. Akhir Desember 2022, Anies Baswedan bertandang ke Colomadu, Karanganyar untuk jagong manten alias kondangan ke salah satu teman kuliahnya saat di Jogja. Eh di jalan menuju lokasi, ada orang mendemo Anies.
Hal ini tentu jadi kejadian luar biasa, orang mau kondangan saja sampai didemo. Siapa orang-orang tersebut dan apa motifnya? Agak sulit dijelaskan memang, sebab mereka tidak menuliskan identitas lembaga saat berdemo. Selain itu, mereka juga menutup wajah mereka dengan masker.
Bagaimana jumlahnya? Hanya segelintir saja. Paling hanya sekitar 10 orang atau belas saja. Waktu berdemo pun hanya 10 menit. Terbilang sangat acak demo tersebut. Yang perlu kita tanyakan, siapa sebenarnya para pendemo yang hanya segelintir orang tersebut? Apakah mereka berdemo murni keinginan sendiri atau ada yang menyuruh? Mari kita bahas.
Bila dilihat dari caranya berdemo dengan menutupi identitas mereka, yaitu dengan masker dan tanpa identitas lembaga atau warga dari mana, rasanya mereka hanya orang suruhan. Lantas siapa yang menyuruh? Dugaan saya, yang menyuruh pendemo ini adalah orang yang khawatir dengan popularitas Anies Baswedan yang terus meningkat.
Dalam beberapa survei, elektabilitas Anies memang konsisten meningkat. Sementara yang lain stagnan bahkan cenderung turun. Karena hal ini, orang-orang tersebut merasa ketar-ketir dengan popularitas Anies Baswedan.
Rasa khawatir dan ketar-ketir tersebut tentu saja aneh. Sebab, Anies kan terbukti berkinerja baik saat memimpin Jakarta. Bila dia mendapat amanah untuk memimpin masyarakat Indonesia secara luas, seharusnya semua orang merasa bangga dan bahagia.
Entah apa motif para penyuruh tersebut sehingga harus menggunakan rakyat kecil yang sebenarnya tidak terlalu paham politik untuk melakukan tindakan demo segala, yang sebenarnya tidak punya efek apa pun. Semakin terlihat niat buruk mereka, justru semakin meningkatkan popularitas Anies Baswedan.
Terasa janggal memang mendemo orang saat kondangan. Harusnya mereka mendemo orang yang menyalahgunakan kewenangannya sebagai pejabat publik. Misalnya memajang wajahnya di mesin ATM, baliho tempatnya menjabat, atau di bus transportasi publik. Apakah para pendemo berani melakukannya? Tentu tidak. Karena tidak ada yang membayar mereka.
Tapi demo segelintir orang tersebut memang sebaiknya diabaikan saja. Sudah jumlahnya sedikit, pesan yang disampaikan pun tak jelas. Hal ini berbeda dengan simpatisan dan massa yang menyambut Anies Baswedan saat ke luar kota.
Para simpatisan rela datang ke lokasi tanpa dibayar, selain itu pesan yang disampaikan juga jelas. Mereka ingin mengajak kepada kebaikan dan tak ingin membuat perpecahan. Jelas ya. Jadi ya, ojo dibanding-bandingke. Jangan dibanding-bandingkan. Memang beda kelas sih. [suaranasional]