Nggak banget
Pemerintah mengakui membayar influencer utk mempromosikan KUHP. Orang2 ini, para influencer disuruh memposting caption tertentu. Anggaran utk hal ini digelontorkan oleh Kominfo.
Berapa jumlahnya? Pemerintah tidak mau bilang. Boleh jadi besar--karena mereka tdk berani terbuka.
Inilah era saat kantong2 beras ditempeli wajah politisi. Pejabat2 menghabiskan uang untuk membuat berita berbayar di media2. Wajah orang2 ini nongol di berita (yang dibayar pakai anggaran negara). Bansos, bantuan pemda, pemkot, dll yang jelas2 dari negara, mereka tempeli wajah2 mereka.
Inilah era saat UU pun butuh influencer, dibayar, agar mereka memuji, menyanjung betapa indahnya UU tsb.
Inilah eras saat kinerja, prestasi pejabat, proyek, kegiatan diukur dgn survey berbayar, lantas lagi2 influencer disuruh bagai TOA mengumumkan betapa hebat semuanya. Dan semua duitnya, mending pakai duit itu pejabat. Melainkan pakai duit rakyat.
Sungguh, telah lenyap rasa malu di negeri ini.
Sungguh, orang2 ini benar2 tidak paham lagi: JIKA kamu memang berprestasi, memang bekerja hebat, maka kamu TIDAK perlu membayar siapapun koar2. Prestasi kamu itu sendiri yang bagai bintang terang bersinar.
Sungguh, orang2 ini benar2 luput: JIKA UU, peraturan kamu itu memang bagus, keren, maka kamu TIDAK perlu membayar biaya sosialisasi dll, koar2. Rakyat sendiri yg teriak dengan gembira menyebarkannya.
Mau contoh? Bikin UU bahwa koruptor dihukum mati. Pegang kata2 saya, TIDAK perlu influencer apapun, hari ini itu UU disahkan, nyaris seluruh Indonesia bersorak sorai tahu semua.
Tapi karena kamu memang tidak ada prestasinya, UU yg kamu bikin kualitasnya begitulah, jadilah kamu perlu bayar. Mending kalau pakai duit kamu, eh pakai anggaran negara.
Siapa sih sebenarnya yg jadi beban di negeri ini?
Demokrasi apa yang hendak kamu bangun, saat ruang diskusi ttg proses pembuatan UU begini? Kamu pakai duit negara utk membayar influencer? Itu diskusi model apa? Gimana kamu mau mendengarkan pendapat2 rakyat banyak, saat kamu bayar influencer yg bahkan baca draft UU-nya saja belum tentu. Nggak banget.
(By Tere Liye)